Friday, February 5, 2016

Diantara Produk Gagal, Sales Gagal dan Agen Gagal

Ada seorang teman diskusi plus teman ngopi yang selalu memunculkan istilah "produk gagal" dilingkaran elit kekuasaan Aceh Tamiang. Istilah "produk gagal" ini yang menimbulkan rasa keingintahuan lebih lanjut, apa, mengapa, bagaimana dan siapa yang dimaksud oleh teman saya itu, dengan istilah "produk gagal" tersebut.

Kata produk, berasal dari bahasa Inggris yakni product yang berarti "sesuatu yang diproduksi oleh tenaga kerja atau sejenisnya". Dalam penggunaan yang lebih luas, produk dapat merujuk pada sesuatu barang atau unit, sekelompok produk yang sama, sekelompok barang dan jasa, atau sebuah pengelompokan industri untuk barang dan jasa (id.m.wikipedia.org).

Jadi, merujuk definisi di atas, berarti produk merupakan suatu hasil dari proses produksi yang dilakukan oleh tenaga kerja atau yang dipersamakan dengan itu, dan hasil akhir dari produk dapat berupa barang dan jasa.

Nah, jika maksud pernyataan teman saya yang mengatakan "produk gagal" ditujukan untuk mewakili ungkapan kepada individu atau sekelompok orang "yang dianggap gagal" dalam mewujudkan visi dan misi jagoan mereka yang terpilih sebagai kepala daerah di Aceh Tamiang, menurut saya istilah tersebut kurang tepat. Karena, individu atau sekelompok orang tersebut, yang berada dalam lingkaran elit kekuasaan, bukanlah "produk" dari kerja-kerja politik atau birokrasi. Peran yang dimainkan dari awal oleh mereka ini adalah sebagai tim pemenangan, hingga berproses dalam dinamika pemilihan kepala daerah. "Kegagalan" tersebut baru terjadi paska keberhasilan memasarkan produk atau terpilihnya bupati jagoan mereka.

Apa yang disebut dengan "kegagalan" itu pun masih berupa pendapat subyektif, berdasarkan gejala (symptoms) yang terlihat. Bukan berdasarkan riset ilmiah. Tetapi, terkait kebebasan berpendapat, sah-sah saja seorang warga untuk menilai kinerja pemimpinnya. Sepanjang dilakukan dalam koridor kritik yang solutif, bukan kritik yang destruktif.

Sales Gagal vs Produk Gagal
Sales adalah penjual atau yang memasarkan produk. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, calon bupati dan calon wakilnya diibaratkan sebagai produk. Individu atau sekelompok orang dalam tim pemenangan adalah sebagai sales atau penjual dari produk, yang memasarkannya kepada calon pembeli yaitu masyarakat pemilih. Keberhasilan "penjualan" produk oleh sales, sangat tergantung kepada strategi dan kinerja sales tersebut. Kesemua itu dibuktikan pada hari H dimana akan terlihat hasil kerja para sales untuk memenangkan "produknya" sehingga tampil sebagai pemegang suara mayoritas.

Beberapa hari lalu, teman sosial media di dunia maya menampilkan status, yang katanya meminjam dari status temannya. Kira-kira bunyi statusnya seperti ini, "Jika penjual ikan disenangi pembeli, ikan gembung pecah perutpun bisa laku dan habis terjual. Apalagi jika ikannya masih baru dan segar. Tetapi jika penjualnya dibenci oleh pembeli, sekalipun yang dijual ikan baru dan segar, maka tidak akan laku, apalagi habis terjual".

Status teman tersebut mengingatkan saya kepada sebutan "sales gagal". Bagaimana ia akan melakukan penjualan, sedangkan dirinya dibenci oleh pembeli? Sekalipun produk yang dipasarkannya top quality alias top markotop, karena sudah dibenci khalayak ramai, maka jangan diharap produk akan laku terjual. Mampir ke warung penjualpun ogah dilakoni pembeli.

Sebaliknya, jika pembeli  suka atau senang dengan sang sales, maka apapun yang dijual olehnya, mau produk asli ber-SNI atau tiruan alias kawe-kawean, tidak ada masalah. Ini yang dinamakan sales yang sukses. Jadi terngiang lagu yang dilantunkan oleh Ari Lasso, "....Sentuhlah dia tepat di hatinya, dia kan jadi milikmu selamanya..." Kalau urusan hati sudah klop, maka si pembeli pun akan tergiur, termakan bujuk rayu sang sales.

Artinya, dalam memilih sales untuk memasarkan produk, apalagi memilih kendaraan politik plus tim pemenangan bagi pemilihan bupati dan wakil bupati akan datang, harus dilakukan dengan cermat, cerdas dan insting yang kuat. Jangan sampai yang dipilih adalah kendaraan politik atau tim pemenangan yang masuk dalam kategori sales gagal. 

Masih mendingan produk gagal ketimbang sales gagal. Mengapa? Karena produk gagal masih bisa diolah dan diperbaiki lagi di service center. Setelah barangnya benar, masih laku dijual meski berstatus produk refurbished. Tak percaya? Lihat saja dibeberapa situs jualan online, produk refurbished seperti barang elektronik, tetap diburu masyarakat untuk membelinya. Nah kalo sales gagal? Selain produk yang tak laku dijual, masih harus mengeluarkan cost untuk gaji, transportasi, komunikasi, asuransi, hingga konsumsi untuk si sales. Apa tidak bertambah rugi?

Agen Gagal atau Produk Gagal?
Begitu peran sebagai sales berhasil dimainkan oleh tim pemenangan, dimana produk yang ditawarkan ke masyarakat laku keras, maka atas jasanya yang telah memenangkan kepala daerah, para sales mendapat peran lanjutan sebagai imbal jasa balas budi. Tidak hanya sebagai balas budi semata, peran baru yang diemban ini ibaratnya sebagai seorang agen yang nota bene perwakilan dari "sang terpilih" atau bisa juga disebut kaki tangan atau wakil informal dengan tugas khusus, yakni memuluskan realisasi visi dan misi kepala daerah yang bersangkutan.

Agen ini perannya pun bervariasi, dari yang hanya mengumpulkan informasi (mata-mata), terjun langsung melaksanakan kegiatan pembangunan daerah, hingga sekedar  menumpang untuk menikmati fasilitas negara secara gratis. Ada pula yang mengambil jalan pintas dengan berperan seperti "agen benaran" yakni menjadi calo atau makelar proyek daerah.

Para agen tersebut dalam melakoni perannya, ada yang berhasil dengan memuaskan serta ada yang mengecewakan. Kepada agen yang berhasil, tentu posisinya dipertahankan plus fasilitas tetap diberikan. Bagi agen yang kurang beruntung atau membuat ulah sehingga pemangku  kepentingan utama kecewa, "disapih" hak keagenannya dan terpental dari pusaran elit kekuasaan. Akibatnya, jumlah agen disekitar lingkaran elit penguasa pun menjadi semakin berkurang. 

Para  "agen gagal" inilah yang mungkin dimaksud oleh teman saya, dan disebutnya sebagai  "produk gagal". Atau bisa juga, mereka ini merupakan "produk" yang lahir dari peristiwa kemenangan, yang kemudian tidak dikendalikan dengan baik, sehingga terkesan bukan lagi sebagai hubungan mutualis, tetapi sudah menjadi semacam parasit yang menggerogoti dari lingkaran dalam.

Akan tetapi, guna memastikan persepsi teman saya itu, bila bertemu lagi dengannya, saya akan bertanya secara langsung mengenai definisi "produk gagal" di lingkaran elit kekuasaan Aceh Tamiang, yang kerap dia ucapkan. Mudah-mudahan persepsi kami tidak jauh berbeda, dan meski nanti berbeda, bukankah perbedaan itu juga rahmat yang patut kita syukuri.

No comments:

Post a Comment