Thursday, June 16, 2016
Saturday, March 12, 2016
Politek Teknik Tamiang
"Wak Ngah hari ni, kelihatan kurang semangat. Apa hal wak?" Tanya Kulok, teman sepermainan dan seperjuangannya.
"Cade yang sepesial, hanya awak bingung, dah sekian tahun, itu izin sekolah, belum keluar juga. Tapi saban tahun, anggaran dihabiskan juga".
"Sekolah mana wak?" Tanya Kulok.
"Itulah, yang dekat Tualang Cut, politek teknik". Jelas Wak Ngah.
"Kalau tu, Wak jangan heran, di Temieng ni banyak yang terkesan, nafsu besar, tenaga kurang". Ujar Kulok menimpali.
"Apa kau cakap tu, ada nafsu-nafsu nya". Protes Wak Ngah.
"Coba wak keleh, jalan lingkar tak siap-siap. Setadion maen bola, ntah kapan berdirinya. Mesjid Agung tempat kita ibadahpun, tak jelas ujung pangkalnya. Mau ambil minyak, berebut. Mau buat pabrek semen, investor cade jelas. Mau buat pabrik lestrek, ntah dari mana sumber bahan bakunya". Kali ini Kulok menjelaskan dengan semangat 45.
"Semua itu wak politek... politek teknik ala Temieng. Jadi, ya macam politeknik Temieng tu lah ceritenye. Jadi wak jangan lemah semangat macam ni ye...". Pinta Kulok ke Wak Ngah.
"Lantak kau lah situ, kita bise buat ape?" Kali ini, Wak Ngah menyalakan sebatang rokok.
"Nah, macam ni lah yang buat negeri tambah kacau wak. Dah yang kuase cade paham, yang paham cade kuase, ditambah lagi, rakyat tak mau peduli, macam wak ni lah" . Kata Kulok menceramahi Wak Ngah.
"Jadi, menurut engkau yang segala tahu ni, apa yang sebaiknya kita buat?" Tanya Wak Ngah lagi.
"Kalau ditanya ma ambe, jawabnya sederhana wak. Yang penteng, chapnye jelas. Semua bisa diatur". Jawab Kulok sambil menerawang dan memperhatikan dua ekor cicak kejar-kejaran, di dinding.
"Apa pulak tu, Lok? Chap Chap?" Tanya Wak Ngah.
"Ah macam betul aja, jangan seperti kura-kura didalam paya, dah tahu, tanya pula..." Ujar Kulok.
"Hahaha... tapi mana bisa uang dibawa mati"
"Itu kata Wak, kata orang lain, uang tu dah jadi tuhan mereka. Tiada peduli lagi ke akherat. Jika orang peduli azab, mana ada yang berani mencuri. Begitu dapat chap, hati dan mata menjadi gelap...."
"Tapi Lok, hari ni cade chap ke ambe"?
"Wak mau? Ayo kita keleh politek teknik tu, siape tau kita masih dapat chap, karena banyak kali yang dapat chap dari politek teknik".
Kulok dan Wak Ngah pun beranjak pergi. Meninggalkan dua ekor cicak yang masih kejar-kejaran di dinding. Temieng punye cerite.
Politik Kemunafikan
Sebutan apa yang paling pas, untuk mengatakan tingkah polah individu, baik yang berstatus anggota legislatif maupun menduduki jabatan elit birokrasi (eksekutif), yang kerap kali "mengelabui" dalam hal tindak-tanduk, janji dan kepercayaan publik yang dimandatkan kepadanya?
Munafik. Ya, munafik. Dimana jika berjanji sering ingkar, jika berkata penuh dengan kedustaan, dan jika diberikan kepercayaan akan berkhianat. Tiga serangkai ciri kemunafikan itu, menurut saya bukan "kumulatif", tetapi cukup salah satu terpenuhi saja (alternatif), maka sudah bisa dikategorikan sebagai "orang yang munafik".
Perilaku kemunafikan ini, kini setiap hari dipertontonkan kepada publik. Lihat saja tayangan " tabung gambar" alias televisi. Bagaimana elit birokrasi dan politik, memainkan peran "kemunafikan berpolitik". Kemarin berteman akrab, hari ini musuh, besoknya " berselingkuh" kembali. Hari ini berkata "benci", esok lusa sudah tertawa-tawa, dan esoknya lagi, saling mencaci. Sebelum "jadi" penuh janji dan mimpi-mimpi, setelah "jadi" lupa diri dan mengingkari.
Politik kemunafikan ini yang kemudian "ditangkap" secara "bulat-bulat" oleh publik, dan meyakininya dalam suatu frasa sederhana. "Jika elit politik dan birokrat mengatakan hal yang positif, maka sesungguhnya yang terjadi adalah hal yang negatif". Demikian juga sebaliknya, jika mereka berkata "tidak", maka sesungguhnya yang terjadi adalah "benar". Jadi, seperti lagunya Ahmad Albar, semua orang bermain peran dalam sebuah panggung sandiwara dengan judul "kemunafikan".
Daya Rusak Politik Kemunafikan
Politik yang penuh dengan kemunafikan ini, tentu bukan perbuatan yang terpuji, apalagi patut ditiru. Akan tetapi, karena hampir setiap saat dipertontonkan, masyarakat, politikus serta aparat birokrat yang " masih baik" pun akhirnya terbawa kedalam pusaran permainan politik kemunafikan ini.
Level pertama dari daya rusak politik kemunafikan ini adalah hilangnya rasa percaya atau distrust. Masyarakat tidak percaya dengan wakilnya di legislatif. Warga negara tidak percaya dengan pemimpinnya yang menjalankan roda pemerintahan. Demikian juga sesama alat lembaga negara.
Kepercayaan menjadi sesuatu yang "sangat mahal". Apalagi dalam dunia politik. Dunia yang sering diartikan sebagai "siapa dapat apa, kapan dan bagaimana?". Konsensus yang ingin dibangun sesama pemain politik pun, jadi terganjal akibat "rasa ketidakpercayaan ini". Jika sapi bisa dipegang talinya, nah kalau manusia, apa perkataannya bisa dipegang? Apalagi perilaku "cakap tak serupa buat" acap kali diperlihatkan, membuat "kepercayaan" adalah barang langka dengan label limited edition.
Level selanjutnya dari daya rusak "politik kemunafikan" adalah "disorientasi". Disorientasi dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai " kekacauan kiblat atau kesamaran arah tujuan". Publik, yang kemudian ingin aktif sebagai elit politik atau elit birokrasi, muncul "orientasi baru" yakni, harus menjadi "golongan orang munafik. Sehingga adalah "lumrah" jika telah menjadi pejabat politik atau penguasa birokrasi, berdusta, ingkar janji dan berkhianat".
Tujuan awak berpolitik dan bertugas sebagai pejabat pelayan publik, berubah arah menjadi praktek "kong kali kong" untuk merampok rame-rame (pok ame-ame) hak publik atas pelayanan yang baik, melalui kue pembangunan, yaitu anggaran.
Akibatnya adalah, munculnya kelompok "pok ame-ame" baik dalam struktur aparat birokrasi pemerintahan dan legislatif. Kelompok ini juga terafiliasi dengan pemain lain yang berwujud pengusaha atau elit ekonomi. Lantas apa yang dilakukan oleh rakyat? Rakyat kehilangan orientasinya juga. Lihat, dalam perhelatan ajang demokrasi, rakyat secara terang-terangan akan "memilih mereka yang bayar". Ajang pemilihan kepala daerah atau pemilihan wakil rakyat, berubah menjadi ajang "pesta bagi-bagi uang".
Kalau dua level diatas sudah terjadi, maka level akhir adalah timbulnya "disintegrasi" atau perpecahan bagi bangsa ini. Jika kondisi ini yang terjadi, maka bagi pihak manapun yang ingin "menghancurkan", pintu sudah terbuka lebar.
Beberapa gejala "disintegrasi" ini sudah muncul tanda-tandanya. Masyarakat sangat mudah diprovokasi melalui isu tertentu untuk melakukan perilaku yang dulunya sangat-sangat jarang terjadi. Perkelahian antar kampung atau antar warga karena hal-hal sepele, adalah salah satunya. Demikian juga dengan munculnya pengikut kelompok atau organisasi dengan ajaran atau kepercayaan yang aneh-aneh, mendapat tempat di hati masyarakat.
Jika ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka tidak tertutup kemungkinan, riwayat negara ini akan tamat. Tetapi, sebelum terlambat, daya rusak "politik kemunafikan" ini masih bisa dicarikan obat penawarnya. Tinggal pertanyaannya, saya, anda, dan kita semua, mau atau tidak melakukannya?
Stop Politik Kemunafikan
Menghentikan agar praktek politik kemunafikan ini stop total, sebenarnya gampang. Yaitu, "berhentilah menjadi orang munafik. Berhentilah berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Jadilah pribadi yang jujur, amanah dan setia".
Jika anda saat ini adalah kepala daerah atau anggota legislatif, "buatlah seperti yang anda cakap dulu, pada saat kampanye". Jika anda berposisi sebagai rakyat, jadilah rakyat dan warga yang baik. Jangan memilih pemimpin atau wakil anda, yang masuk kedalam golongan orang munafik. Jika anda pengelola partai politik, tanamkan sifat-sifat jujur, amanah dan setia kepada kader. Usunglah calon pemimpin dan calon legislatif yang bukan termasuk kaum munafik.
Bagi anda yang saat ini masuk atau menjadi aktor politik kemunafikan, segeralah bertobat dan meminta maaf kepada korban kebohongan, penipuan dan penghianatan anda. Rubahlah cara hidup, bermasyarakat, berpolitik, berbangsa dan bernegara, menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan setia.
Terakhir, jika anda bukan termasuk kedalam golongan atau pendukung setia "politik kemunafikan", pertahankan dan tularkanlah "semangat anti politik kemunafikan" ini, kepada teman, kolega, kerabat, keluarga dan masyarakat secara luas. Ingat, perilaku "politik kemunafikan", sudah terjadi dengan "terstruktur, tersistem dan massif". Sehingga, untuk melawannya, diperlukan juga pendekatan yang sama, dan tentunya harus berkesinambungan.
Friday, March 4, 2016
Berebut Sumur Minyak Pertamina
Semangat untuk mengelola minyak patut kita berikan apresiasi. Karena, sekitar bulan Desember 2014 lalu, Bupati Aceh Tamiang telah melantik jajaran direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh Tamiang. Diantaranya adalah PT Petro Tamiang Raya dan PT Kwala Simpang Petroleum.
Nah ini yang menggelikan dan membuat jajaran elit Pertamina di Jakarta penuh tanda tanya. Tadinya, yang disetting mengelola "sumur minyak tidak tua" adalah PT Petro Tamiang Raya. Sedangkan PT Kwala Simpang Petroleum mengelola "sumur minyak tua".
Thursday, February 25, 2016
Bupati Gila dan Gila Bupati
Sunday, February 21, 2016
Jalan Nasional dan Desentralisasi Setengah Hati
Thursday, February 18, 2016
Aroma Kemang Di Mutasi Pejabat Tamiang
Wednesday, February 17, 2016
Tak Ada Tap-Tap, Kecuali Chap
Diskusi ala warung kopi, sore tadi "cukup panas" rupanya. Seorang teman, sebut saja namanya "Jack", protes. " Sekarang tidak ada yang namanya, tap tap tap baru chap. Iya kalau tap-nya sukses. Kalo gagal, chap-pun good bye, alias selamat tinggal". Menurutnya, yang betul itu "chap, chap, chap, chap..... jangan sampai tap". Maksud loh....? ya itu, tap terakhir itu kena OTT-nya kapeka. Hahahaha... Ada-ada aja si Jack ini.
Bagi yang masih bingung, kata " tap" disini dimaksudkan mewakili ungkapan proses, perbuatan, atau bisa juga prolog/pembukaan dalam melakukan kesepakatan. Kesepakatan itu macam-macam, bisa dalam ranah bisnis, urusan pangkat jabatan, proyek, hingga deal politik.
Sedangkan "chap" bisa dimaknai sebagai uang kontan (cash money), barang, atau jasa. Istilah chap ini dulunya berasal dari masa Aceh tempo doeloe, dimana Sultan Aceh menggunakan segel kerajaan (stempel), yang didalamnya termuat nama-nama sembilan (sikureung) sultan Aceh yang pernah memerintah.
Bagi wilayah kerajaan lain yang telah ditaklukan oleh kerajaan Aceh, oleh Sultan Aceh, sang raja taklukan, diberikan hak untuk memerintah wilayahnya dan mengutip pajak guna membayar upeti ke Kuta Raja. Wujud desentralisasi tersebut, diberikan dalam bentuk replika "Chap Sikureung". Jadi chap itu identik dengan upeti, pajak atau uang.
Tebar Chap, Tabur Pesona
Akhirnya, musim pilkada tiba juga. Secara nasional, perhelatan ini akan digelar tanggal 15 Februari 2017. Demikan juga di Aceh Tamiang. Jadi, bila dihitung, tak sampai 365 hari lagi.
Meski ajang pencoblosan masih setahun lagi, beberapa kandidat yang bakal tampil-pun sudah mulai melakukan siasat " tebar chap, tabur pesona". Paling tidak, setiap mampir di warung kopi, "chap" berupa traktir minum kopi, juice, mie Aceh, hingga rokok, "terkoyak" juga dari saku celana.
Chap yang diberikan itu, tentu bukan "gratis" sifatnya. Dibalik itu semua, terkandung harapan besar untuk mendukung dirinya, bilamana tampil sebagai kontestan dalam pilkada yang akan datang.
Chap ini akan terus meningkat intervalnya, seiring makin dekat hari-H. Apalagi pilkada kali ini hanya satu ronde saja. Masyarakat (pemilih) yang saban kali dijadikan "objek" demokrasi yang keblabasan, akan mengambil kesempatan. "Tak ada chap, tak ada suara". Hubungan yang dibangunpun hanya sebatas patron-klien. Jadi, siapa yang kuat tebar chap, plus tabur pesona di khalayak, kemungkinan bisa tampil sebagai juara. Juara chap maksudnya. :-)
Chap = Money Politic?
Pertanyaannya adalah apakah strategi chap yang dilakukan bakal calon kepala atau wakil kepala daerah ini, bisa disebut sebagai politik uang atau money politic? Menurut saya, chap ini tidak serta merta dipersamakan dengan money politic.
Jika chap tersebut masih dalam " batas-batas" yang normal seperti traktir makan, minum, atau rokok di warung kopi, kepada teman atau warga, adalah sah-sah saja. Tetapi jika telah memberikan rumah makan beserta isinya, pabrik air minum atau pabrik rokok, tentu sudah keterlaluan. Keterlaluan mahal maksudnya. Kalau kita sih pasti menerima dengan lapang dada. Yang memberi pasti sesak napasnya.
Kalau money politic, merujuk kepada Pasal 73 ayat (1) UU No. 1/2015, disebutkan: "calon dan/atau tim kampanye dilarang memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih".
Beberapa kasus sengketa pilkada di emka (baca: Mahkamah Konstitusi) terkait money politik memang ada. Si Pemohon harus bisa membuktikan jika money politic ini memenuhi unsur TSM alias terstruktur, sistematis dan massif. Selain itu harus dibuktikan, bahwa dengan chap atau money politic itu si pemilih benar-benar terpengaruh dan memilih calon yang melakukan chap tadi. Pembuktiannya pun, meski secara kuantitatif dan kualitatif. Jika tidak, akan diabaikan oleh majelis hakim emka.
Tetapi, pada kasus " Chap Akil Mochtar", urusan chap-menchap inipun sampai juga kepada hakim konstitusi. Sayangnya tertangkap KPK. Inilah yang disampaikan oleh si Jack teman saya tadi "chap, chap, chap, chap...........TAP!"... Ada-ada saja, dan ini Temieng punye cerite.
Saturday, February 13, 2016
Jejak Sejarah Majapahit di Aceh Tamiang
Sumber:
- http://id.m.wikipidia.org/wiki/Kakawin_Negarakretagama, diakses pada 12 Januari 2016.
- H.M. Zaenuddin. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda. Medan.
- Slamet Muljana. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Nusantara. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.