Thursday, June 16, 2016

Kopertis XIII

Dropped Pin https://goo.gl/maps/vb2Yo5qht7w

Saturday, March 12, 2016

Politek Teknik Tamiang

"Wak Ngah hari ni, kelihatan kurang semangat. Apa hal wak?" Tanya Kulok, teman sepermainan dan seperjuangannya.

"Cade yang sepesial, hanya awak bingung, dah sekian tahun, itu  izin sekolah, belum keluar juga. Tapi saban tahun, anggaran dihabiskan juga".

"Sekolah mana wak?" Tanya Kulok.
"Itulah, yang dekat Tualang Cut, politek teknik". Jelas Wak Ngah.

"Kalau tu, Wak jangan heran, di Temieng ni banyak yang terkesan, nafsu besar, tenaga kurang". Ujar Kulok menimpali.

"Apa kau cakap tu, ada nafsu-nafsu nya". Protes Wak Ngah.

"Coba wak keleh, jalan lingkar tak siap-siap. Setadion maen bola, ntah kapan berdirinya. Mesjid Agung tempat kita ibadahpun, tak jelas ujung pangkalnya. Mau ambil minyak, berebut. Mau buat pabrek semen, investor cade jelas. Mau buat pabrik lestrek, ntah dari mana sumber bahan bakunya". Kali ini Kulok menjelaskan dengan semangat 45.

"Semua itu wak politek... politek teknik ala Temieng. Jadi, ya macam politeknik Temieng tu lah ceritenye. Jadi wak jangan lemah semangat macam ni ye...". Pinta Kulok ke Wak Ngah.

"Lantak kau lah situ, kita bise buat ape?" Kali ini, Wak Ngah menyalakan sebatang rokok.

"Nah, macam ni lah yang buat negeri tambah kacau wak. Dah yang kuase cade paham, yang paham cade kuase, ditambah lagi, rakyat tak mau peduli, macam wak ni lah" . Kata Kulok menceramahi Wak Ngah.

"Jadi, menurut engkau yang segala tahu ni, apa yang sebaiknya kita buat?" Tanya Wak Ngah lagi.

"Kalau ditanya ma ambe, jawabnya sederhana wak. Yang penteng, chapnye jelas. Semua bisa diatur". Jawab Kulok sambil menerawang dan memperhatikan dua ekor cicak kejar-kejaran, di dinding.

"Apa pulak tu, Lok? Chap Chap?" Tanya Wak Ngah.

"Ah macam betul aja, jangan seperti kura-kura didalam paya, dah tahu, tanya pula..." Ujar Kulok.

"Hahaha... tapi mana bisa uang dibawa mati"

"Itu kata Wak, kata orang lain, uang tu dah jadi tuhan mereka. Tiada peduli lagi ke akherat. Jika orang peduli azab, mana ada yang berani mencuri. Begitu dapat chap, hati dan mata menjadi gelap...."

"Tapi Lok, hari ni cade chap ke ambe"?

"Wak mau? Ayo kita keleh politek teknik tu, siape tau kita masih dapat chap, karena banyak kali yang dapat chap dari politek teknik".

Kulok dan Wak Ngah pun beranjak pergi. Meninggalkan dua ekor cicak yang masih kejar-kejaran di dinding. Temieng punye cerite.

Politik Kemunafikan

Sebutan apa yang paling pas, untuk mengatakan tingkah polah individu, baik yang berstatus anggota legislatif maupun menduduki jabatan elit birokrasi (eksekutif), yang kerap kali "mengelabui" dalam hal tindak-tanduk, janji dan kepercayaan publik yang dimandatkan kepadanya?

Munafik. Ya, munafik. Dimana jika berjanji sering ingkar, jika berkata penuh dengan kedustaan, dan jika diberikan kepercayaan akan berkhianat. Tiga serangkai ciri kemunafikan itu, menurut saya bukan "kumulatif",  tetapi cukup salah satu terpenuhi saja (alternatif), maka sudah bisa dikategorikan sebagai "orang yang munafik".

Perilaku kemunafikan ini, kini setiap hari dipertontonkan kepada publik. Lihat saja tayangan " tabung gambar" alias televisi. Bagaimana elit birokrasi dan politik, memainkan peran "kemunafikan berpolitik". Kemarin berteman akrab, hari ini musuh, besoknya " berselingkuh" kembali. Hari ini berkata "benci", esok lusa sudah tertawa-tawa, dan esoknya lagi, saling mencaci. Sebelum "jadi" penuh janji dan mimpi-mimpi, setelah "jadi" lupa diri dan mengingkari.

Politik kemunafikan ini yang kemudian "ditangkap" secara "bulat-bulat" oleh publik, dan meyakininya dalam suatu frasa sederhana. "Jika elit politik dan birokrat mengatakan hal yang positif, maka sesungguhnya yang terjadi adalah hal yang negatif". Demikian juga sebaliknya, jika mereka berkata "tidak", maka sesungguhnya yang terjadi adalah "benar". Jadi, seperti lagunya Ahmad Albar, semua orang bermain peran dalam sebuah panggung sandiwara dengan judul "kemunafikan".

Daya Rusak Politik Kemunafikan
Politik yang penuh dengan kemunafikan ini, tentu bukan perbuatan yang terpuji, apalagi patut ditiru. Akan tetapi, karena hampir setiap saat dipertontonkan, masyarakat, politikus serta aparat birokrat yang " masih baik" pun akhirnya terbawa kedalam pusaran permainan politik kemunafikan ini.

Level pertama dari daya rusak politik kemunafikan ini adalah hilangnya rasa percaya atau distrust. Masyarakat tidak percaya dengan wakilnya di legislatif. Warga negara tidak percaya dengan pemimpinnya yang menjalankan roda  pemerintahan. Demikian juga sesama alat lembaga negara.

Kepercayaan menjadi sesuatu yang "sangat mahal". Apalagi dalam dunia politik. Dunia yang sering diartikan sebagai "siapa dapat apa, kapan dan bagaimana?". Konsensus yang ingin dibangun sesama pemain politik pun, jadi terganjal akibat "rasa ketidakpercayaan ini". Jika sapi bisa dipegang talinya, nah kalau manusia, apa perkataannya bisa dipegang? Apalagi perilaku "cakap tak serupa buat" acap kali diperlihatkan, membuat "kepercayaan" adalah barang langka dengan label limited edition.

Level selanjutnya dari daya rusak "politik kemunafikan" adalah "disorientasi". Disorientasi dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai " kekacauan kiblat atau kesamaran arah tujuan". Publik, yang kemudian ingin aktif sebagai elit politik atau elit birokrasi,  muncul "orientasi baru" yakni, harus menjadi "golongan orang munafik. Sehingga adalah "lumrah" jika telah menjadi pejabat politik atau penguasa birokrasi, berdusta, ingkar janji dan berkhianat".

Tujuan awak berpolitik dan bertugas sebagai pejabat pelayan publik, berubah arah menjadi praktek "kong kali kong" untuk merampok rame-rame (pok ame-ame) hak publik atas pelayanan yang baik,  melalui kue pembangunan, yaitu anggaran.

Akibatnya adalah, munculnya kelompok "pok ame-ame" baik dalam struktur aparat birokrasi pemerintahan dan legislatif. Kelompok ini juga terafiliasi dengan pemain lain yang berwujud pengusaha atau elit ekonomi. Lantas apa yang dilakukan oleh rakyat? Rakyat kehilangan orientasinya juga. Lihat, dalam perhelatan ajang demokrasi, rakyat secara terang-terangan akan "memilih mereka yang bayar". Ajang pemilihan kepala daerah atau pemilihan wakil rakyat, berubah menjadi ajang "pesta bagi-bagi uang".

Kalau dua level diatas sudah terjadi, maka level akhir adalah timbulnya "disintegrasi" atau perpecahan bagi bangsa ini. Jika kondisi ini yang terjadi, maka bagi pihak manapun yang ingin "menghancurkan", pintu sudah terbuka lebar.

Beberapa gejala "disintegrasi" ini sudah muncul tanda-tandanya. Masyarakat sangat mudah diprovokasi melalui isu tertentu untuk melakukan perilaku yang dulunya sangat-sangat jarang terjadi. Perkelahian antar kampung atau antar warga karena hal-hal sepele, adalah salah satunya. Demikian juga dengan munculnya pengikut kelompok atau organisasi dengan ajaran atau kepercayaan yang aneh-aneh, mendapat tempat di hati masyarakat.

Jika ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka tidak tertutup kemungkinan, riwayat negara ini akan tamat. Tetapi, sebelum terlambat, daya rusak "politik kemunafikan" ini masih bisa dicarikan obat penawarnya. Tinggal pertanyaannya, saya, anda, dan kita semua, mau atau tidak melakukannya?

Stop Politik Kemunafikan
Menghentikan agar praktek politik kemunafikan ini stop total, sebenarnya gampang. Yaitu, "berhentilah menjadi orang munafik. Berhentilah berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Jadilah pribadi yang jujur, amanah dan setia".

Jika anda saat ini adalah kepala daerah  atau anggota legislatif, "buatlah seperti yang anda cakap dulu, pada saat kampanye". Jika anda berposisi sebagai rakyat, jadilah rakyat dan warga yang baik. Jangan memilih pemimpin atau wakil anda, yang masuk kedalam golongan orang munafik. Jika anda pengelola partai politik, tanamkan sifat-sifat jujur, amanah dan setia kepada kader. Usunglah calon pemimpin dan calon legislatif yang bukan termasuk kaum munafik.

Bagi anda yang saat ini masuk atau menjadi aktor politik kemunafikan, segeralah bertobat dan meminta maaf kepada korban kebohongan, penipuan dan penghianatan anda. Rubahlah cara hidup, bermasyarakat, berpolitik, berbangsa dan bernegara, menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan setia.

Terakhir, jika anda bukan termasuk kedalam golongan atau pendukung setia "politik kemunafikan", pertahankan dan tularkanlah "semangat anti politik kemunafikan" ini, kepada teman, kolega, kerabat, keluarga dan masyarakat secara luas. Ingat, perilaku "politik kemunafikan", sudah terjadi dengan "terstruktur, tersistem dan massif". Sehingga, untuk melawannya, diperlukan juga pendekatan yang sama, dan tentunya harus berkesinambungan.

Friday, March 4, 2016

Berebut Sumur Minyak Pertamina

Beberapa waktu lalu, ada demo masyarakat yang katanya "menggoyang" kantor Bupati dan DPRK Aceh Tamiang. Isu yang dinaikkan adalah, seputaran rencana Kerja Sama Operasi (KSO) pengelolaan minyak oleh BUMD Tamiang dengan PT Pertamina EP.

Tuntutan pendemo adalah, agar KSO tersebut dapat segera terealisasi, sehingga terbukalah kesempatan kerja bagi putra-putri Tamiang, dibidang gali-gali minyak ini. Sempat juga disinggung-singgung mengenai "sumur tua" warisan Belanda agar dikelola juga.

Demo yang menghadirkan lebih kurang 600-an massa ini, bisa dikatakan "cukup sukses". Terlihat dari massa yang hadir, orator yang sangat bersemangat, dan fasilitas pendukung aksi demo, seperti sound system, makan siang dan tentu saja " transportasi".

Tetapi, demo tidak merambah hingga ke PT Pertamina EP. Padahal, tak jauh dari kegiatan demo kemarin, di Rantau masih berdiri kokoh komplek perkantoran, perumahan, dan fasilitas produksi minyak, yang dikelola oleh PT Pertamina EP Asset I, Rantau Field. Jadi, serasa ada yang kurang. Ibarat sayur tanpa garam. Mungkin para pendemo "lupa" memperhitungkan, atau akan menjadikan Pertamina EP sebagai lokasi demo berikutnya. Siapa tahu?

Nafsu Besar Tenaga Kurang
Semangat untuk mengelola minyak patut kita berikan apresiasi. Karena, sekitar bulan Desember 2014 lalu, Bupati Aceh Tamiang telah melantik jajaran direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh Tamiang. Diantaranya adalah PT Petro Tamiang Raya dan PT Kwala Simpang Petroleum.
 
Dua BUMD ini dipersiapkan untuk bekerjasama dengan Pertamina EP, dalam pengelolaan minyak. PT Kwala Simpang Petroleum bakal mengelola sumur minyak tua warisan Belanda, dan PT Petro Tamiang Raya untuk mengelola "sumur muda" yang ada di blok Kuala Simpang Barat dan Kuala Simpang Timur.

Seperti tuntutan para pendemo, memang dua BUMD minyak ini, dibentuk dengan tujuan utama mendulang rupiah bagi pendapatan asli daerah, serta menciptakan lapangan kerja. Tetapi, bisnis minyak bukan bisnis "ecek-ecek". Bisnis jutaan dollar.  Bisnis ini memerlukan modal yang fantastis.
Penyertaan modal pada tahun pertama BUMD yakni Rp. 250 juta, ibarat "menggarami lautan". Jika ditukar dengan dollar, kurs sepuluh ribu, jumlahnya hanya US $ 25.000. Dana " sebesar" inipun dalam beberapa bulan saja sudah "tewas". Operasional kerja, gaji direksi, komisaris dan pegawai BUMD, dibayar dari penyertaan modal tersebut.

Tahun kedua, hanya BUMD PT Petro Tamiang Raya yang mendapat tambahan penyertaan modal. Jumlahnya pun masih "ecek-ecek", yakni Rp. 200 juta saja. PT Kwala Simpang Petroleum tidak disetujui tambahan modalnya. Alasannya sederhana, seperti lagu Ayu Ting-Ting "Alamat Palsu", alias alamat kantor tak jelas dimana. Baru, setelah penyertaan modal tak dikucurkan, ada plang nama BUMD ini di salah satu ruko, dekat pertigaan rumah sakit, Kampung Kesehatan.

Jadinya, ya seperti sub judul di atas. "Nafsu besar tenaga kurang". Disatu sisi BUMD dituntut untuk terjun dalam bisnis jutaan dollar, tetapi modal yang dikucurkan sangat tidak sebanding dengan kinerja yang diharapkan. Hal ini belum ditambah lagi dengan masalah kemampuan manajerial dan teknis di bidang minyak. Wajar jika muncul rasa "pesimistis" ketimbang "optimistis".

Hal tersebut akan berbeda jika memang secara hukum, lapangan minyak yang ada di Tamiang, memang sudah menjadi milik Kabupaten Aceh Tamiang. Nah ini, lapangan minyak yang ada, termasuk sumur minyak tua, masih dikuasakan pengelolaannya oleh Pertamina EP. Tentu, jika BUMD ingin masuk kedalam permainan, ya ikut aturan main " joint operation body-nya Pertamina.

Berebut Sumur
Nah ini yang menggelikan dan membuat jajaran elit Pertamina di Jakarta penuh tanda tanya. Tadinya, yang disetting mengelola "sumur minyak tidak tua" adalah PT Petro Tamiang Raya. Sedangkan PT Kwala Simpang Petroleum mengelola "sumur minyak tua".

Akan tetapi, dalam perjalannya, cerita berubah 360 derajat. PT Kwala Simpang Petroleum-lah yang mendapat full support untuk meneruskan pengelolaan blok minyak di Tamiang. PT Petro Tamiang Raya, di " black list", meski masih saudara sekandung BUMD minyak, dan terhitung sebagai "anak kandung" Bupati Tamiang.

Kesan yang timbul di jajaran elit Pertamina EP adalah,  telah terjadi "saling rebut sumur minyak, oleh sesama BUMD Aceh Tamiang". Mengapa skenario bisa berubah dibagian akhir cerita? Ini yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Bagi yang tahu ujung pangkal cerita, hanya senyum-senyum saja. Bagi yang tidak, tentu masih meraba-raba, apa kira hal gerangan, dengan minyak di bumi Muda Sedia.

Demo "isu minyak" tempo hari di Tamiang, bagi yang jeli, bisa menyimpulkan perebutan sumur minyak oleh BUMD Aceh Tamiang sudah demikian hebatnya. Jika ingin dibelokkan isunya, tentu "video aksi demo", setelah di edit, bisa diserahkan ke Pertamina, untuk " menakut-nakuti" atau mengatakan bahwa, "masyarakat Tamiang mendukung kerja sama operasi antara BUMD dan Pertamina. Lihat masyarakat sudah tak sabar".

Solusi bagi masalah "perebutan sumur minyak ini", sebenarnya tidaklah begitu sulit. Tinggal keberanian dan ketegasan dari Bupati Aceh Tamiang, selaku pemegang saham mayoritas di BUMD. Pilihannya adalah, melebur dua BUMD minyak ini menjadi satu, atau bubarkan saja salah satunya. Jajaran direksi atau komisaris yang " keras kepala", tinggal di ganti dengan orang yang berkualitas dan bisa diajak bekerja sama.

Jika tidak? Perebutan sesama BUMD minyak ini, akan berujung kepada kondisi "ketidakpastian". Pertamina EP akan bermain aman dengan alasan " tunggu saja hingga Badan Pengelola Migas Aceh terbentuk". Jika ini akhir ceritanya, seluruh proses akan mulai dari awal lagi. Stakeholders akan bertambah, dan inilah Temieng punye cerite.

Thursday, February 25, 2016

Bupati Gila dan Gila Bupati


Membaca status teman dilaman FBnya, bunyinya kira-kira seperti ini, “Sekarang jamannya gilak bupati di Tamiang. Tiap hari orang-orang di warung kopi, membicarakan tentang bupati. Banyak kali orang yang mau jadi bupati. Sudah gilak bupati, semua orang di Tamiang ini”.

Respon yang datang bermacam ragam. Ada yang sekedar me-like status, mengirim  meme, berkomentar sinis, berpendapat dengan nada pro, hingga komentar yang tidak ada kaitannya dengan status si teman.

Komentar yang sependapat dengan status si teman mengatakan, orang yang gila bupati tak taudirilah, besar pasak dari tianglah, mimpi disiang hari, hingga mempertanyakan “ada cermin nggak dirumahnya, kalau tidak ada, biar saya belikan?”. Lebih sinis lagi, mengatakan, “kalau gila bupati tak makan gaji, bupati gila masih ada gajinya”.

Pendapat yang kontra dengan si teman, menuliskan: “ini memang lagi musimnya, Itu adalah hak orang untuk mencalonkan diri sebagai bupati”. Ada yang bilang “itu adalah demokrasi dan hak asasi manusia”. Ada juga yang menulis pesan “itu adalah hak konstitusional warga, dijamin dalam UUD”. Yang menarik adalah tulisan “awalnya gila bupati, begitu tak terpilih jadi gila beneran…”

Bupati dan Gila
Sebenarnya, apa beda antara bupati gila dan gila bupati? Sebelum menjawabnya, kita lihat masing-masing pengertian. Pasal 1 angka 9 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mendefinisikan, “Bupati adalah kepala pemerintah daerah kabupaten yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Gila, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, adalah: 1) sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal); 2) tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal); 3) terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif); ungkapan kagum (hebat); 4) terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, kasih sayang); dan 5) tidak masuk akal (www.kbbi.web.id).

Jadi, kalau bupati gila bisa diartikan bupati yang sakit ingatan (kurang beres ingatannya) atau sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tida normal).  Sedangkan gila bupati adalah orang yang dilanda perasaan sangat suka (gemar) akan posisi sebagai bupati atau orang yang tidak masuk akal untuk menjadi bupati.

Lantas apa bedanya antara bupati gila dengan gila bupati? Salah satu jawabannya seperti komentar di status sang teman, yaitu “bupati gila masih dapat gaji, tetapi gila bupati tidak makan gaji”. Tetapi, jika bupati gila, tandatangannya tidak berlaku. Karena dianggap sebagai orang yang tidak cakap (tidak mampu) melakukan perbuatan hukum. Sedangkan orang yang gila bupati, tandatangannya masih bisa dipakai untuk melakukan perbuatan hukum, seperti membuat surat atau perjanjian.

Lebih lanjut adalah, bupati gila selain dianggap tidak mampu lagi melakukan perbuatan hukum, dikategorikan dalam status “sakit dan tidak dapat melakukan kewajibannya”. Jika ini terjadi terus menerus selama enam bulan berturut-turut, maka bupati gila ini akan digantikan posisinya oleh sang wakil bupati. Sedangkan orang yang gila bupati, tetap bisa menyandang predikat “gila bupati” dan dijamin tidak akan tergantikan oleh orang lain.  

Terakhir adalah, jika bupati gila berarti sang bupati benar-benar telah sakit ingatan atau terganggu jiwanya, orang yang gila bupati sebaliknya. Dianggap sehat wal afiat, pikirannya masih oke, hanya orang lain saja yang mengatakannya “gila”.

Jika ditanya, mana yang lebih baik “bupati gila atau gila bupati?”, menurut saya dua-duanya sama buruknya. Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah, bupati yang waras, yang sehat, yang tidak lupa ingatan, terutama ingatan akan janji-janji pada saat kampanye sebelum menjabat sebagai bupati. Jika bupati lupa akan janji-janjinya, berarti bupati tersebut dapat dikategorikan sudah sakit ingatan (kurang beres ingatannya), artinya sudah gila.

Sunday, February 21, 2016

Jalan Nasional dan Desentralisasi Setengah Hati

Jika anda melintas via darat, dari Medan menuju Banda Aceh, tepatnya setelah memasuki gerbang perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dengan Provinsi Aceh, itu berarti, anda telah tiba di Kabupaten Aceh Tamiang. Disebelah kiri dan kanan jalan, anda akan menjumpai hamparan perkebunan kelapa sawit, barisan pertokoan yang masih sepi penjual plus pembelinya, pos polisi, mesjid, komplek pesantren dan jembatan timbang milik pemerintah Provinsi Aceh.

Setelah itu, anda akan memasuki Kampung Seumadam. Jangan terkejut jika anda akan disuguhkan kondisi "jalan yang bergelombang". Tenang, kondisi jalan ini masih terus dijumpai hingga tiba di Kota Kualasimpang. Setelah melewati jembatan Kualasimpang, anda jangan kaget. Kondisi jalan yang bakal anda temukan, keadaannya lebih parah lagi. Yaitu, jalan dua jalur yang belum kelar pengerjaannya, berlubang, berantakan, berdebu, dan becek paska turunnya  hujan, akan menemani perjalanan anda.

Ketidaknyamanan akan kondisi jalan yang kupak-kapik tersebut, akan anda rasakan hingga melewati persimpangan Kampung Kesehatan, Istana Karang, Kompi A Batalyon 111/Raider, hingga depan kantor Bupati dan DPRK Aceh Tamiang. Terhadap kondisi jalan yang awut-awutan tersebut, warga juga pernah melakukan aksi unjuk rasa, hingga tanam pohon pisang di badan jalan. Media juga pernah mengungkapkannya. Tetapi ya itu, sampai tulisan ini dibuat, kondisi jalannya memang demikian. Tak ada yang dilebih-lebihkan.

Tentu anda akan bertanya, menggerutu, memaki mungkin, atau berdoa dengan pasrah, akan kondisi jalan tersebut. Mengapa begini, mengapa begitu? Mengapa pemerintah terkesan tak berdaya? Mengapa hukum tidak bertindak? Mengapa kontraktor pelaksana bisa melakukan hal ini? Bla bla bla bla...

Jalan Nasional Urusan Pusat
Memang, secara subtansi hukum, jalan umum dengan status Jalan nasional, menjadi kewenangan pemerintah pusat. Demikian diatur dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Kewenangannya meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. 

Urusan pemerintah dibidang pekerjaan umum ini pun, kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana urusan tersebut, menjadi urusan pemerintah yang bersifat konkuren. Artinya, urusan yang dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Implementasinya adalah, jalan umum yang statusnya jalan nasional menjadi urusan pemerintah pusat. Jalan umum berstatus jalan provinsi menjadi urusan pemerintah provinsi. Sedangkan pemerintah kabupaten, kebagian urusan jalan umum yang berstatus jalan kabupaten dan jalan desa.

Nah, untuk melaksanakan kewenangan pengelolaan jalan nasional tersebut, pemerintah pusat menerapkannya melalui mekanisme dekonsentrasi. Yaitu, pelimpahan sebagian urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sehingga, untuk mengurusi jalan nasional yang berada dan melintas di kabupaten Aceh Tamiang, rentang kendali birokrasinya mulai dari UPT di Langsa, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional di Medan, hingga Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta.

Demikian juga dengan jalan dua jalur yang kupak-kapik seperti disebut di atas, merupakan proyek APBN tahun 2015. Judul proyeknya adalah "Pelebaran Jalan Batas Kota Langsa-Batas Sumut (2 Jalur Kota Tamiang)". Tanggal kontrak adalah 18 Februari 2015, dengan nilai kontrak (termasuk PPN) sebesar Rp. 28.099.264.000,_ Masa pelaksanaan pekerjaan selama 270 hari kalender, dan masa pemeliharaan adalah 730 hari kalender. Kontraktor pelaksana PT. Tamitana, dan konsultan pengawas PT Eskapindo Matra.

Kena Getah Nangka
Lantas, jika rupa jalan nasional yang melintas di Aceh Tamiang sedemikian buruknya, seperti jalan dua jalur antara jembatan Kualasimpang hingga kantor bupati dan DPRK Aceh Tamiang, pihak mana yang paling bertanggungjawab? Jika merunut kepada kewenangannya, jelas hal tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Lantas dimana posisi pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten?

Bagi masyarakat awam, melihat "parahnya" kondisi jalan dua jalur yang tak kunjung selesai, dan berada didepan perkantoran eksekutif dan legislatif Aceh Tamiang, berpendapat betapa tidak berdayanya pemerintah dan aparat penegak hukum di Aceh Tamiang. Apalagi, yang menikmati "jalan buruk rupa dua jalur" tersebut bukan hanya rakyat biasa saja. Dipastikan mulai dari bupati, wakil bupati, sekda, para kepala dinas, pimpinan DPRK dan anggota DPRK Tamiang, pernah menikmati bagaimana kualitas jalan tersebut. Demikian juga dengan aparat penegak hukum, mulai dari Kapolres hingga Kajari, pasti mengetahui kondisi jalan dua jalur tersebut.

Tetapi, ya itu tadi. Meski dilalui oleh para petinggi negeri, nasib jalan dua jalur yang berada di daerah strategis pusat pemerintahan Aceh Tamiang, makin tak jelas. Seperti pepatah yang mengatakan "tak tentu hilir mudiknya" alias tak jelas. Protes oleh pemerintah daerah dan DPRK Tamiang-pun dianggap angin lalu saja. Tak jelas kapan finishing-nya, dan tak jelas juga proses hukumnya. Yang pasti, masyarakat yang tinggal disekitar ruas jalan ini menikmati "debu gratis" setiap harinya, jalan berlubang, dan full becek-becek jikala hujan. Sedangkan kontraktor pelaksana yang bernama PT. Tamitana berubah menjadi "tamita hana", yang artinya "dicari tak ada" alias "lari malam". Ungkapan yang mungkin sepadan adalah "orang lain yang makan nangka, warga Tamiang yang kena getahnya".

Desentralisasi Setengah Hati vs Tugas Pembantuan
Apa yang terjadi dengan nasib jalan dua jalur di Tamiang ini, serta kondisi jalan nasional yang ada di Tamiang, dapat dikatakan sebagai "desentralisasi setengah hati". Mengapa setengah hati? Jika melihat kembali makna desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk menjadi urusannya, dapat dimaknai bahwa "urusan jalan nasional ini semestinya juga diserahkan juga kepada daerah". 

Akan tetapi, dengan adanya dekonsentrasi dibidang pekerjaan umum, termasuk mengurusi jalan nasional lewat instansi vertikal yang ada di daerah, pemerintah pusat dapat dikatakan "setengah hati" dalam melaksanakan politik desentralisasi. Apalagi jika melihat kondisi real jalan nasional yang berada di kabupaten. Instansi yang mengurusinya, terkesan "lamban" bahkan "tak peduli" terhadap  pemeliharaan dan perawatannya.

Mengapa harus diserahkan ke daerah? Karena daerahlah yang paling tahu, apa dan bagaimana kondisi jalan nasional yang berada dan melintasi wilayahnya. Selain itu, guna memperpendek rentang birokrasi yang panjang, serta efisensi dalam merespon kondisi jalan nasional di lapangan, penyerahan urusan jalan nasional kepada kabupaten adalah mutlak dibutuhkan.

Pertanyaan selanjutnya pasti, apakah daerah mampu untuk membiayai urusan jalan nasional jika diserahkan kepada kabupaten? Salah satu solusinya adalah melalui mekanisme "Tugas Pembantuan". Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah, untuk melaksanakan sebagian dari urusan pemerintah pusat. Penugasan ini artinya bahwa kewenangan tersebut masih berada di tangan pemerintah pusat, tetapi ditugaskan kepada daerah untuk melaksanakannya, tentunya disertai dengan anggaran.

Jadi, paling tidak, melalui mekanisme tugas pembantuan ini dapat dijadikan "pengantar" (bridging phase) kepada desentralisasi pengelolaan jalan nasional oleh daerah. Tentu untuk mewujudkan hal ini dapat terealisasi, bukan perkara mudah. Instansi yang selama ini "basah" oleh proyek-proyek pembangunan, perawatan dan pemeliharaan jalan nasional, tidak rela begitu saja, jika "sumber rupiahnya" dialihkan kepada pihak lain. 

Kabupaten/kota yang ada di seluruh nusantara harus berani dan bersatu. Sudah saatnya, asosiasi pemerintah kabupaten/kota yang sudah di bentuk, mengagendakan perubahan subtansi hukum, yang menjadikan pelaksanaan "desentralisasi setengah hati" oleh pemerintah pusat. Subtansi peraturan dalam hal jalan nasional menjadi urusannya pusat, meski di tinjau ulang, dan diserahkan kepada kabupaten/kota, minimal melalui mekanisme tugas pembantuan.

Thursday, February 18, 2016

Aroma Kemang Di Mutasi Pejabat Tamiang

Salah satu topik yang menggelitik Saya minggu ini adalah, terkait isu pergantian pejabat dijajaran elit birokrasi Aceh Tamiang. Isu ini, tidak hanya marak diperbincangkan di dunia "tak nyata" alias dunia maya, tetapi jadi bahan bisik-bisik  di warung kopi, termasuk pula lingkungan perkantoran pemerintah daerah.

Bukankah setiap pergantian atau rotasi pejabat di pemerintahan adalah hal yang biasa? Bagi sebagian orang memang biasa, tetapi bagi seseorang yang menapak karier sebagai birokrat,  pangkat dan jabatan adalah bukti, bahwa karirnya memang naik ke atas, bukan datar, atau malah turun ke bawah. Selain itu, semakin jabatan naik ke atas, maka semakin dekat dirinya dengan pemegang elit kekuasaan.

Beberapa dinas yang dianggap "basah" pun menjadi incaran para birokrat yang telah cukup pangkat dan syarat. Persaingan diantara mereka juga cukup ketat. Maklum jumlah kursi yang tersedia terbatas, sedangkan peminat, banyak yang antusias. Belum lagi ditambah birokrat yang duduk dikursi panjang dan ingin aktif kembali, tentu menambah "seru" isu mutasi pejabat, di kabinet eksekutif bumi Muda Sedia.

Jumat "Keramat"
Merujuk kebiasaan pergantian pejabat yang sudah-sudah, maka hari Jumat adalah hari "keramat" bagi birokrat Aceh Tamiang. Pada hari Jumat, biasanya diumumkan siapa saja pejabat yang bakal dilantik. Sehingga, hari Jumat-pun diistilahkan sebagai "Jumat Keramat".

Mengapa dipilih hari Jumat? Saya hanya bisa menduga-duga saja. Mungkin hari Jumat dipilih karena merupakan hari yang istimewa bagi umat Muslim. Karena dihari Jumat yang ada sholat Jumat-nya, di hari lain tidak. Atau dipilih hari Jumat, karena esoknya adalah hari Sabtu dan lusanya hari Minggu, sehingga bagi pejabat yang baru dilantik, bisa "refreshing" dan memikirkan langkah serta program kerja selama libur dua hari.

Siapa yang menentukan hari-H adalah hari Jumat? Tentu saja Bupati yang memutuskan, setelah mempertimbangan saran pendapat para pembantu-pembantunya. Jika Bupati memilih hari kerja yang lain, maka tak salah juga. Paling-paling istilah "Jumat Keramat" berganti dengan sebutan lain.

Aroma "Kemang"
Ini yang lebih menggelitik. Apa kaitan antara Kemang dan mutasi pejabat di Tamiang? Kemang disini adalah nama suatu daerah yang berada di Jakarta Selatan. Kawasan Kemang dikenal sebagai permukiman elit, bisnis dan tempat kongkow-kongkow plus hiburan malam. Konon, para pejabat yang hadir pada "pertemuan Kemang" guna memuluskan salah satu rencana investasi berupa industri di hulu Tamiang, maka dijamin aman tetap duduk di dinas terkait.

Mengapa bisa demikian? Investasi dari Kemang menuju Tamiang adalah pertaruhan antara dunia mimpi dan kenyataan. Mimpi untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi geng Kemang dan Tamiang, serta mimpi memperkerjakan ribuan orang, adalah suatu pertaruhan yang harus tetap dilanjutkan permainannya. Jika permainan ini tiba-tiba terhenti tengah jalan, banyak pihak yang kecewa tentunya. Ini tidak baik bagi reputasi dan usaha untuk mempertahankan kekuasaan di Tamiang. 

Nah, guna menjamin keberlangsungan hubungan baik Kemang-Tamiang, para birokrat yang duduk sebagai kepala SKPK terkait, dan "kebetulan" juga ikut dalam pertemuan Kemang, "dijamin" aman dari mutasi jabatan. Mandatnya jelas, selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagaimana diatur dalam undang-undang, misi tambahan adalah "mengamankan" kepentingan Kemang-Tamiang.

Jika saja skenario pertemuan Kemang ini diketahui bisa menjamin pangkat dan jabatan,  pasti sudah beramai-ramai para pejabat Tamiang berangkat ke Kemang. Tetapi jika berangkatnya sekarang, sudah terlambat. Karena besok adalah hari Jumat. Hari "keramat" bagi birokrat Tamiang. Tapi, jika besok tak jadi mutasi? Makin bertambahlah jumlah pejabat Tamiang yang galau, apalagi ada yang sudah terlanjur memesan papan kembang (bunga) segala. Ada-ada saja. Ini Temieng punye cerite.



Wednesday, February 17, 2016

Tak Ada Tap-Tap, Kecuali Chap

Diskusi ala warung kopi, sore tadi "cukup panas" rupanya. Seorang teman, sebut saja namanya "Jack", protes. " Sekarang tidak ada yang namanya, tap tap tap baru chap. Iya kalau tap-nya sukses. Kalo gagal, chap-pun good bye, alias selamat tinggal". Menurutnya, yang betul itu "chap, chap, chap, chap..... jangan sampai tap". Maksud loh....? ya itu, tap terakhir itu kena OTT-nya kapeka. Hahahaha... Ada-ada aja si Jack ini.

Bagi yang masih bingung, kata " tap" disini dimaksudkan mewakili ungkapan proses, perbuatan, atau bisa juga prolog/pembukaan dalam melakukan kesepakatan. Kesepakatan itu macam-macam, bisa dalam ranah bisnis, urusan pangkat jabatan, proyek, hingga deal politik.

Sedangkan "chap" bisa dimaknai sebagai  uang kontan (cash money), barang, atau jasa. Istilah chap ini dulunya berasal dari masa Aceh tempo doeloe, dimana Sultan Aceh menggunakan segel kerajaan (stempel), yang didalamnya termuat nama-nama sembilan (sikureung) sultan Aceh yang pernah memerintah.

Bagi wilayah kerajaan lain yang telah ditaklukan oleh kerajaan Aceh, oleh Sultan Aceh, sang raja taklukan, diberikan hak untuk memerintah wilayahnya dan mengutip pajak guna membayar upeti ke Kuta Raja. Wujud desentralisasi tersebut, diberikan dalam bentuk replika "Chap Sikureung". Jadi chap itu identik dengan upeti, pajak atau uang.

Tebar Chap, Tabur Pesona
Akhirnya, musim pilkada tiba juga. Secara nasional, perhelatan ini akan digelar tanggal 15 Februari 2017. Demikan juga di Aceh Tamiang. Jadi, bila dihitung, tak sampai 365 hari lagi.

Meski ajang pencoblosan masih setahun lagi, beberapa kandidat yang bakal tampil-pun sudah mulai melakukan siasat " tebar chap, tabur pesona". Paling tidak, setiap mampir di warung kopi, "chap" berupa traktir minum kopi, juice, mie Aceh, hingga rokok, "terkoyak" juga dari saku celana.

Chap yang diberikan itu, tentu bukan "gratis" sifatnya. Dibalik itu semua, terkandung harapan besar untuk mendukung dirinya, bilamana tampil sebagai kontestan dalam pilkada yang akan datang.

Chap ini akan terus meningkat intervalnya, seiring makin dekat hari-H. Apalagi pilkada kali ini hanya satu ronde saja. Masyarakat (pemilih) yang saban kali dijadikan "objek" demokrasi yang keblabasan, akan mengambil kesempatan. "Tak ada chap, tak ada suara". Hubungan yang dibangunpun hanya sebatas patron-klien. Jadi, siapa yang kuat tebar chap, plus tabur pesona di khalayak, kemungkinan bisa tampil sebagai juara. Juara chap maksudnya. :-)

Chap = Money Politic?
Pertanyaannya adalah apakah strategi chap yang dilakukan bakal calon kepala atau wakil kepala daerah ini, bisa disebut sebagai politik uang atau money politic? Menurut saya, chap ini tidak serta merta dipersamakan dengan money politic.

Jika chap tersebut masih dalam " batas-batas" yang normal seperti traktir makan, minum, atau rokok di warung kopi, kepada teman atau warga, adalah sah-sah saja. Tetapi jika telah memberikan rumah makan beserta isinya, pabrik air minum atau pabrik rokok, tentu sudah keterlaluan. Keterlaluan mahal  maksudnya. Kalau kita sih pasti menerima dengan lapang dada. Yang memberi pasti sesak napasnya.

Kalau money politic, merujuk kepada Pasal 73 ayat (1) UU No. 1/2015, disebutkan: "calon dan/atau tim kampanye dilarang memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih".

Beberapa kasus sengketa pilkada di emka (baca: Mahkamah Konstitusi) terkait money politik memang ada. Si Pemohon harus bisa membuktikan jika money politic ini memenuhi unsur TSM alias terstruktur, sistematis dan massif. Selain itu harus dibuktikan, bahwa dengan chap atau money politic itu si pemilih benar-benar terpengaruh dan memilih calon yang melakukan chap tadi. Pembuktiannya pun, meski secara kuantitatif dan kualitatif. Jika tidak, akan diabaikan oleh majelis hakim emka.

Tetapi, pada kasus " Chap Akil Mochtar", urusan chap-menchap inipun sampai juga kepada hakim konstitusi. Sayangnya tertangkap KPK. Inilah yang disampaikan oleh si Jack teman saya tadi "chap, chap, chap, chap...........TAP!"... Ada-ada saja, dan ini Temieng punye cerite.

Saturday, February 13, 2016

Jejak Sejarah Majapahit di Aceh Tamiang

Aceh Tamiang, adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Aceh, berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara. Saat ini, wilayah Kabupaten Aceh Tamiang terdiri atas 12 kecamatan, 27 kemukiman, dan 213 kampung. Salah satu kecamatan yang ada di Aceh Tamiang bernama Kecamatan Manyak Payed. Kecamatan ini, sudah ada sejak Aceh Tamiang sebelum dimekarkan, yakni pada saat masih  bergabung dengan Kabupaten Aceh Timur.

Nama Manyak Payed diyakini oleh banyak pihak berasal dari istilah Majapahit.  Sebuah kerajaan Hindu Nusantara pada abad XIII, dengan rajanya yang terkenal yakni Hayam Wuruk, serta Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya. Kemiripan istilah  Manyak Payed dengan Majapahit  ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar Manyak Payed yang saat ini berada di Kabupaten Aceh Tamiang, berasal dari istilah Majapahit serta bagaimana keterkaitannya? Tujuan penulisan ini adalah langkah awal untuk dilakukannya riset lanjutan yang lebih mendalam tentang jejak sejarah Majapahit di Kabupaten Aceh Tamiang.

Tamiang Dalam Kitab Negarakretagama
Kitab Negarakretagama (Negara dengan Tradisi/Agama yang Suci), yang dikarang oleh Mpu Prapanca, bercerita tentang keadaan di Keraton Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, yang bertahta dari tahun 1350-1389. Mpu Prapanca menulis kitab ini pada bulan Aswina tahun Saka 1287 atau sekitar bulan September-Oktober 1365. Dalam kitab ini, nama Tamihang atau Tamiang merupakan salah satu negara Melayu yang berada di pulau Sumatera yang berhasil ditaklukkan oleh Majapahit.

Pada bab ke XIII Kitab Negarakretagama, disebutkan secara terperinci pulau negara bawahan, terdiri dari Melayu, Jambi, Pelembang, Toba dan Darmasraya. Ikut juga disebut Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe (Pulau Kampai), Haru (Aru), Mandailing, Tamihang (Tamiang), Perlak (Peureulak), Padang Lwas (Padang Lawas), Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus. Itulah negara-negara Melayu yang berhasil ditaklukan. Termasuk juga negara-negara di Pulau Tanjungnegara (Kalimantan) yaitu: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, dan Lawai.

Ekspansi Majapahit ke Tamiang
Asal muasal nama Manyak Payed, menurut H.M. Zaenuddin, terjadi pada saat bala tentara kerajaan Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Maha Patih Gajah Mada, menyerang kerajaan Samudra Pasai sekitar tahun 1350. Akan tetapi, karena kuatnya pertahanan Samudra Pasai, pasukan Gajah Mada hanya bisa sampai disekitar wilayah Sungai Raya, Peureulak dan Kuala Jambo Aye. Akhirnya Gajah Mada-pun memutuskan untuk menaklukan Tamiang saja, karena didapat informasi ada seorang puteri raja nan cantik jelita, bernama Puteri Meuga Gema. Tujuan ekspansi yang semula akan mengalahkan Samudra Pasai, beralih kepada misi penaklukan Tamiang serta mempersembahkan Puteri Meuga Gema kepada Prabu Hayam Wuruk.

Berdasarkan perintah Gajah Mada tersebut, maka pasukan Majapahit mencari lokasi di wilayah kerajaan Tamiang untuk mendirikan benteng pertahanan. Didapatilah suatu tempat yang strategis, letaknya dekat dengan kota Langsa sekarang. Lokasi pasukan Majapahit mendirikan benteng tersebut, oleh masyarakat Aceh disebut dengan kata Manyak Pahit, yang berasal dari Majapahit. Kemudian, Manyak Pahit berubah menjadi Manyak Payed.   

Pasukan Majapahit yang menduduki wilayah Manyak Payed ini, juga menjalankan kegiatan administrasi pemerintahan. Beberapa wilayah di sekitarnya seperti Telaga Tujoh (Langsa), Aramiah, Bayeun, Damar Tutong, dipaksa untuk mengakui kedaulatan kerajaan Majapahit yang berada di Manyak Payed. Akan tetapi, karena perbedaan adat serta agama, maka pemerintahan Majapahit di Manyak Payed ini tidak berjalan dengan lancar.

Kembali kepada tujuan penaklukan Tamiang, diperintahkan oleh Gajah Mada utusannya untuk pergi ke pusat pemerintahan kerajaan Tamiang di Benua untuk menghadap Raja Muda Sedia dengan misi utama meminang Puteri Meuga Gema, mengakui kedaulatan Majapahit, sehingga upeti yang selama ini dibayar kepada kerajaan Samudra Pasai beralih kepada Majapahit. Misi terakhir adalah mengajak Raja Tamiang dan rakyatnya, untuk bersama-sama dengan pasukan Majapahit menyerang kerajaan Samudra Pasai.

Permintaan utusan Gajah Mada ditolak oleh Raja Muda Sedia. Penolakan tersebut disikapi oleh Gajah Mada dengan menyerang kerajaan Tamiang melalui jalur laut, yakni melalui Kuala Besar disekitar daerah Kuala Peunaga. Penyerangan via laut ini mendapat perlawanan dari angkatan laut Tamiang yang dipimpin Laksamana Kantommana dibantu oleh tentara kerajaan Samudra Pasai. Hasilnya, pasukan Majapahit berhasil dipukul mundur, dan mendirikan pertahanan di sebuah pulau dekat Teluk Aru (Pangkalan Susu). Kuala dimana kekalahan pasukan Majapahit, dinamakan Kuala Raja Ulak. Ulak artinya “termundur”.

Kegagalan gelombang pertama penyerangan Gajah Mada kepada Raja Muda Sedia, tidak menjadikan pasukan Majapahit patah semangat. Mengingat pertahanan laut kerajaan Tamiang cukup kuat disekitar Kuala Peunaga, maka serangan kedua dilancarkan dari alur-alur kecil yang sangat banyak di hilir Tamiang. Guna memuluskan pergerakan kapal perang pasukan Majapahit, salah satu alur sungai dilakukan pengerukan untuk membuat terusan, hingga menembus ke Sungai Tamiang. Sungai atau terusan yang dibuat tersebut, dinamakan Sungai Kurok Dalam. Kurok dalam bahasa Indonesia artinya keruk atau menggali.

Akibat dibuatnya terusan tersebut, maka kapal-kapal pasukan Majapahit bisa mendekati pusat kerajaan Tamiang di Benua, tanpa diketahui oleh angkatan laut Tamiang. Pasukan Gajahmada-pun didaratkan di suatu wilayah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Benua, yakni di Kampung Durian, guna melakukan penyerbuan dari darat. Pada saat perjalanan darat menuju Benua, sebuah pembuluh madat (alat hisap candu) yang terbuat dari emas milik Gajah Mada jatuh disebuah lubuk dan tidak dapat ditemukan kembali. Lubuk tempat jatuhnya suling candu Gajah Mada itu, kemudian dinamakan Lubuk Bukit Batu Suling. Sekarang, nama wilayah tersebut dikenal dengan nama Bukit Suling.

Kemudian terjadilah peperangan antara pasukan Majapahit dengan pasukan kerajaan Tamiang di sekitar kampung Landoh (Landok). Panglima Perang Lela dari Landoh memberikan laporan kepada Raja Muda Sedia bahwa pasukan Majapahit sudah mendekati pusat kerajaan Tamiang di Benua. Laporan Panglima Perang Lela ini diacuhkan oleh Raja Muda Sedia dengan logika pertahanan angkatan laut Tamiang yang sangat kuat di Kuala Tamiang, dan sebelumnya telah terbukti berhasil memukul mundur armada Majapahit.

Akhirnya istana kerajaan Tamiang di Benua dikuasai oleh pasukan Majapahit. Raja Muda Sedia dan permaisuri, berhasil meninggalkan istana sebelum diduduki oleh pasukan Majapahit. Akan tetapi, Putri Meuga Gema yang bersembunyi didalam sebuah Gong Besar Kerajaan berhasil ditawan oleh prajurit Gajah Mada. Setelah membakar istana, dibawalah Puteri Meuga Gema kedalam kapal Majapahit. Dalam perjalanan, kapal yang membawa Puteri Meuga Gema mengalamai kerusakan (kebocoran), sehingga terpaksa berlabuh untuk diperbaiki. Peristiwa ini diketahui oleh tunangan Puteri Meuga Gema yang berasal dari kerajaan Samudra Pasai, bernama Tuanku Ampon Tuan. Dengan siasatnya, Putri Meuga Gema berhasil dibebaskan dari tawanan Majapahit. Lokasi tempat pembebasan Puteri Meuga Geuma tersebut, saat ini dinamakan Bukit Selamat.

Peristiwa Serang Jaya
Informasi pendudukan pasukan Majapahit di istana Benua, akhirnya sampai juga kepada Laksamana Kantommana. Pada saat kapal Majapahit kembali ke hilir melewati Sungai Kurok, dengan maksud mencari Puteri Meuga Gema, diserang oleh angkatan laut Tamiang dan sekutunya. Sisa kapal perang Majapahit yang selamat mundur ke laut. Akan tetapi, oleh pasukan Kantommana dan Samudra Pasai, tidak dilakukan pengejaran dengan asumsi kapal perang Majapahit akan terus pulang ke Jawa.

Ternyata, di darat masih ada sepasukan Majapahit yang terus melakukan pencarian akan keberadaan Puteri Meuga Gema. Pasukan ini terus bergerak, dan membuat pertahanan didaerah yang berbukit-bukit didekat Bukit Selamat. Sisa pasukan Tamiang yang ada di darat, oleh Mangkuraja Muda Sidinu, dikonsolidasikan untuk melakukan pengejaran tehadap pasukan Majapahit yang ada di darat. Terjadilah pertempuran antara pasukan Tamiang dengan Majapahit, yang kemudian tempat tersebut dinamakan Serang Jaya, yang artinya arena pertempuran yang mendapat kemenangan yang jaya. Serang Jaya bermakna juga, bahwa pasukan Tamiang yang dibantu Samudra Pasai dan Aru tidak mundur, sehingga menimbulkan korban nyawa di kedua belah pihak.

Peristiwa Serang Jaya ini bukan akhir dari peperangan Tamiang dan Majapahit. Karena, masih ada sisa pasukan Majapahit di markas yang didirikan untuk mencari Puteri Meuga Geuma. Demikian juga dengan tentara laut Majapahit, masih ada yang bertahan di sekitar Teluk Aru. Sisa pasukan Majapahit ini, kemudian mendapat bantuan pasukan yang datang dari Majapahit setelah peristiwa Serang Jaya. Pasukan Majapahit yang baru tiba ini, dibekali dengan peralatan lengkap, dan prajuritnya memakai baju besi. Tempat pendaratan pasukan Majapahit kemudian dinamakan Pangkalan Susor. Pangkalan Susor ini, kemudian disebut sebagai Pangkalan Susu saja. Pasukan Majapahit yang berbaju besi ini kemudian mendirikan tempat pertahanan di suatu daerah, yang kemudian dinamakan Besitang, yang artinya “tentara berbaju besi datang”.

Akhir Ekspansi Majapahit di Tamiang
Pasukan bantuan Majapahit yang didaratkan di Pangkalan Susu dan membuat pertahanan di Besitang, akhirnya diserang oleh tentara gabungan Tamiang, Samudra Pasai dan Aru. Pertempuran ini mengakibatkan korban jiwa yang tak sedikit. Konon korban yang tewas tidak lagi dikuburkan, hanya ditumpuk atau dikumpulkan saja seperti tumpukan kayu. Daerah atau lokasi  timbunan atau tumpukan korban tewas ini kemudian dinamakan “Kampung Tambun Tulang”, yang artinya  bekas timbunan tulang orang yang tewas pada zaman dahulu.

Melihat perlawanan yang diberikan oleh kerajaan Tamiang dengan sekutunya, ditambah kegagalan pemerintahan Majapahit di Manyak Payed yang tidak mendapat dukungan dari wilayah sekitarnya, Gajah Mada-pun memutuskan untuk kembali pulang ke Majapahit di Jawa. Guna menutupi kegagalan ekspedisi penaklukan Samudra dan Tamiang, cukup banyak dibawa orang-orang yang berasal dari Tamiang dan Aru sebagai tawanan. Satu ciri khas yang menandakan keturunan Tamiang yang ada di Jawa, yaitu jika ada perempuan Jawa yang memakai Subang (kerabu) Tanduk yang bertahtakan perak, emas atau batu mulia, diyakini sebagai keturunan Tamiang yang ada di Jawa, yang dulunya ditawan oleh pasukan Gajah Mada.

Penutup
Paling tidak, dari uraian di atas tersedia informasi ikhwal adanya wilayah yang bernama Manyak Payed di Kabupaten Aceh Tamiang berkaitan dengan ekspansi Majapahit ke Samudra Pasai dan Tamiang pada abad ke XIV. Secara gramatikal, sebutan Manyak Payed identik dengan Majapahit. Jejak sejarah Majapahit di Aceh Tamiang ini, jika dilakukan penelitian lanjutan secara serius, dipastikan akan menjawab teka-teki, bagaimana korelasi antara Tamiang dan Majapahit. Jika nantinya memang terbukti bahwa jejak sejarah Majapahit memang diakui secara keilmuan adalah benar adanya, maka situs-situs sejarah Majapahit yang ada di Aceh Tamiang dan sekitarnya, dapat dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata sejarah. Selain itu, tentu saja akan memperkaya khazanah pengetahuan dibidang sejarah, bahwa jejak Majapahit, ada di Aceh Tamiang.

*Tulisan ini pernah dimuat pada Tabloid Berita Merdeka, Banda Aceh, Edisi 010, 1-7 Februari 2016.

Sumber:
  • http://id.m.wikipidia.org/wiki/Kakawin_Negarakretagama, diakses pada 12 Januari 2016.
  • H.M. Zaenuddin. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda. Medan.
  • Slamet Muljana. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Nusantara. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta. 

Friday, February 12, 2016

Pok Ame-Ame di Tamiang, Menangguk Fulus Jalan Dua Jalur Tak Mulus

Siapa yang tak kenal lagu "Pok Ame-Ame". Lagu yang kerap dinyanyikan semasa kecil, sambil bertepuk tangan. Lagu ini dinamakan juga lagu sajak berirama untuk anak-anak (liriklaguanak.com). Mengenai siapa pencipta lagu pok ame-ame, sampai saat ini saya belum mengetahuinya. Menurut saya, pok ame-ame bisa juga "tepuk tangan beramai-ramai atau bersama-sama".

Tetapi, pok ame-ame kali ini adalah ungkapan untuk menggambarkan prilaku "rampok rame-rame atau berjamaah" yang terjadi di bumi Muda Sedia atau Aceh Tamiang. Ya, rampok kali ini memang sudah sangat keterlaluan, dilakukan dengan benar-benar sistematis, terstruktur dan masif, sehingga merusak "sendi-sendi kehidupan" warga Tamiang.

Terstruktur artinya bahwa pok ame-ame, selain dilakukan oleh pelaku non aparatur negara, juga dilakukan dengan melibatkan aparat pemerintah. Termasuk juga dalam hal ini adalah, dengan sengaja melakukan pembiaran atau menutup mata atas kejahatan pok ame-ame yang dilakukan (impunity). 

Sistematis artinya, bahwa kejahatan pok ame-ame ini disusun secara sengaja dan direncanakan oleh pelaku. Sedangkan massif diartikan pok ame-ame dilakukan secara massal atau berjamaah terhadap hampir seluruh hak, layanan atau fasilitas yang semestinya diterima oleh warga, yang salah satu wujud nyatanya adalah anggaran negara.

Merujuk istilahnya saja, pok ame-ame sudah mendeskripsikan jika pelaku kejahatan ini lebih dari satu pelakunya (deelneming).  Akan tetapi, meski dilakukan beramai-ramai, belum tentu para pelaku merupakan satu kelompokPelaku bisa saja pemain tunggal tetapi melakukan aktivitas multi rampok (concursus). 

Korban Pok Ame-Ame
Selain negara, rakyat sudah tentu menjadi korban kejahatan pok ame-ame ini. Lihat saja kasus kupak-kapik ruas jalan dua jalur yang berada di depan kantor Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang. Proyek yang menggunakan uang negara ini, sampai berakhirnya masa kontrak hingga perpanjangan, jalan yang dinantikan tak kunjung selesai. Yang tersisa adalah  jalan yang berlubang, berbatu penuh debu. Jika hujan turun, banjir genangan plus becek dipastikan datang. PT Tamitana sebagai pelaksana sudah tak tampak lagi batang hidungnya. 

Warga yang melintas pun harus ekstra hati-hati. Lengah sedikit, bisa-bisa celaka tiba. Rakyat yang seharusnya bisa menikmati kenyamanan berkendara dan berlalu lintas, telah menjadi korban pok ame-ame jalan dua jalur. Hak atas udara bersih, bebas debu, jalan yang mulus dan tidak becek,  dirampok oleh penjahat pok ame-ame ini. Ungkapan yang pas adalah "Jalan mulus tak tercipta, fulus negara hilang percuma, rakyat yang merana".

Meski yang melintas dijalan tersebut bukan hanya warga saja, tetapi termasuk aparatur penyelenggara pemerintahan. Tetapi, ya itu tadi, hukum tak berdaya. Hukum yang diharap tajam, terlihat sangat tumpul. Bukankah seharusnya negara bertindak represif terhadap penjahat pok ame-ame ini?  Padahal, mulai dari aparat penegak hukum, birokrat pemerintahan, termasuk bupati, wakil bupati, anggota DPRK, hingga tentara, dipastikan pernah menikmati betapa buruknya tampilan dan kualitas ruas jalan dua jalur ini. Akhirnya, rakyat Tamianglah yang menjadi korban langsung.

Melawan Pok Ame-Ame
Sebagaimana disebut di atas, kejahatan pok ame-ame ini merupakan kejahatan berjamaah. Oleh karenanya, untuk melawannya-pun mesti dilakukan secara berjamaah pula, plus dukungan sistem "yang benar". 

Meminjam teori sistem-nya Lawrence M. Friedmann, yang mengatakan bahwa sistem itu ibarat segitiga yang terdiri  dari sub-sistem yang notabene adalah satu kesatuan, yakni: subtansi, struktur dan kultur, maka melawan pok ame-ame, dapat menggunakan pendekatan sistem tersebut. Subtansi adalah produk hukum (peraturan perundang-undangan). Struktur adalah aparatur negara. Sedangkan kultur adalah masyarakat yang berhukum. 

Jadi, pok ame-ame ini baru bisa diberangus jika secara subtansi yang telah mengatur tentang kejahatan dilaksanakan oleh aparatur negara, dan didukung oleh mayarakat yang sadar dan peduli akan hukum. Jika peraturan bagus, tetapi aparatur penegak hukum lemot, plus masyarakat yang tidak peduli, maka dipastikan pok ame-ame ini akan kekal abadi. Demikian pula sebaliknya, jika hukum jelek, tetapi aparat dan masyarakat baik, maka pok ame-ame masih bisa dilenyapkan. Intinya, ketiga sub sistem ini mesti saling mendukung dan sama porsinya untuk dilaksanakan.

Pada kasus pok ame-ame jalan dua jalur, sub sistem subtansi (peraturan) tentang pelaksanaan proyek pemerintah sudah jelas aturan mainnya. Masyarakat Tamiang juga sudah bagus kesadaran berhukumnya, terbukti beberapa aksi  protes warga pada saat proses pembangunan ruas jalan dua jalur ini. Tetapi, rentang birokrasi yang panjang, ditambah status jalan nasional yang masih menjadi urusan pusat, menjadi kesempatan kejahatan pok ame-ame ini terjadi. Kontraktor pelaksana jalan sebagai bagian dari masyarakat juga "nakal" dan ambil kesempatan. Dan yang paling parah adalah pengawasan dan penegakan hukum dari aparatur negara yang "tumpul" untuk mencegah serta menangani kejahatan pok ame-ame jalan dua jalur di Tamiang ini.

Dari mana memulainya? Jika masalahnya pada subtansi, maka peraturannya yang dievaluasi dan diperbaiki. Jika aparatur penegak hukumnya yang lemot, maka fungsi pengawasan dan pengendalian internal yang mesti ditingkatkan. Jika masalahnya ada pada masyarakatnya, maka strategi untuk meningkatkan daya kritis dan pemahaman berhukum yang baik, yang mesti diadakan. 







Saturday, February 6, 2016

Videotron Yang Tak Asyik Ditonton

Jika anda sekali waktu melintas antara Langsa ke Kualasimpang, pada saat melewati pertigaan Kantor Bupati Aceh Tamiang, tepatnya diseberang warkop Corner, berdiri tegak sebuah layar monitor berwarna hitam, dibingkai material metal berwarna putih, dengan ukuran kurang lebih tiga kali empat meter. Ada satu lagi kembarannya yang terpacak di dekat lampu merah, tak jauh dari posisi bank Mandiri, setelah jembatan Kualasimpang.

Ternyata, kedua layar monitor tersebut bernama "videotron". Hasil pencarian di laman mbah gugel, ditemukan satu tautan yang menjelaskan videotron atau led display billboard adalah bentuk dari reklame digital dengan visual gambar bergerak, sehingga materi iklan dapat terlihat lebih menarik (www.videotronindonesia.com). 

Oo.. ternyata videotron itu menggantikan iklan di billboard atau papan reklame yang bersifat statis alias tak bergerak. Pada videotron, bisa ditampilkan visual gambar yang bergerak, sehingga lebih dinamis, atraktif dan selalu up to date. Harapannya, jika gambarnya menarik, maka yang melihatpun tidak cepat bosan, dan berfungsi juga sebagai sarana hiburan mata.

Hidup Segan Mati Tak Mau
Kurang lebih demikian perumpaan terhadap kondisi "si kembar videotron" yang kelahirannya didanai uang rakyat, yang tinggal ditambah dua juta empat ratus tiga puluh ribu perak lagi angkanya menjadi 1,2 milyar rupiah. Karena, sepanjang riwayat pemasangannya lebih banyak posisi off-nya ketimbang on-nya.

Kondisi yang sering padam inilah, yang oleh teman-teman di laman fb sering dijadikan bahan olok-olok. Ada seorang teman mentamsilkan, gelapnya layar monitor videotron "segelap" suasana sarang burung walet. Tak salah memang, saya juga mencatat beberapa kali yang muncul  pada layar videotron adalah gambaran malam yang gelap gulita. Beberapa teman juga sengaja memotret videotron yang gelap tersebut, dan diupload pada laman media sosial mereka.

Gelapnya layar monitor di videotron, tentu membuat penonton seperti saya dan beberapa warga kecewa. Berharap sambil menikmati segelas kopi pancung dan menyaksikan visual gratis, ternyata tidak demikian adanya. Apalagi jika tahu harga yang lumayan mahal, yakni hampir mendekati angka 600 juta per unit, membuat sejumlah syak wasangka muncul di kepala, hmmm ada apa dengan "si kembar videotron" ini?

Ataukah kesengajaan untuk menyetel lebih banyak padamnya dari pada hidupnya videotron ini, dalam rangka strategi "memperpanjang umur" videotron. Namanya saja barang elektronik, videotron juga ada "nyawa" pakainya. Diperkirakan satu unit videotron ini akan berumur 100.000 ribu jam atau 8 sampai dengan 10 tahun. Jadi kalau bisa dihemat jam tayangnya, maka umur videotron ini akan bertambah lama daya tahannya. 

Kemungkinan lainnya adalah dalam rangka penghematan biaya. Hasil penulusuran di dunia maya, 1 meter perseginya membutuhkan daya listrik sekitarnya 750 watt. Kalikan saja dengan luas screen videotronnya, makin luas screen-nya, maka makin besar pula daya listriknya. Makin besar daya listriknya, tentu makin besar  pulsa PLN yang mesti dibayarkan.

Jika boleh menerka-nerka, bisa jadi dua alasan di atas menjadi penyebab utama, sering padamnya "si kembar videotron" di Aceh Tamiang. Tetapi jika lebih banyak gelapnya daripada terangnya, cocok juga disebut "hidup segan mati tak mau". Saya meyakini, sejak dari perencanaan awal sudah dipikirkan tujuan pengadaaan videotron ini bukan untuk "memamerkan sisi gelapnya", saya yakin akan hal itu.

Kebetulan Yang Aneh
Pengadaan "si kembar videotron" ini terjadi di tahun 2015 lalu. Satuan kerja perangkat daerah yang empunya proyek adalah Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Aceh Tamiang. Dana pengadaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tamiang tahun anggaran 2015. 

Pagu yang disediakan awalnya adalah Rp. 1,2 milyar. Setelah dilelang, pemenangnya adalah CV Artha Kharisma Perkasa, dan harga dua unit videotron plus pajak menjadi Rp. 1.197.570.000. CV Artha Kharisma Perkasa, adalah perusahaan swasta yang beralamat di Jl. T. Hamzah Bendahara No. 89, Kuta Alam, Banda Aceh. Sebagai direktur perusahaan adalah T.M. Ikhsan Saladin, ST.

Nah, inilah awal dari "kebetulan yang aneh" pada saat bertanya, siapa sebenarnya direktur CV Artha Kharisma Perkasa yang bernama T.M. Ikhsan Saladin, ST? Karena ditemukan beberapa fakta yang secara kebetulan adalah "aneh", dan semoga hanya "kesamaan" nama semata, dan beda fisiknya.

Informasi dari seorang teman di Banda Aceh, T.M. Ikhsan Saladin adalah alumni Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, angkatan 1999. Kelahiran  tanggal 12 April 1981. Kemudian, pada tahun 2013 lalu lulus menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilingkungan Kementerian Perhubungan. Ia diangkat dan ditugaskan pertama kali sebagai Petugas Kepelabuhan di Belawan, Sumatera Utara.

Aneh yang pertama adalah, apakah seorang PNS aktif dibenarkan untuk duduk sebagai direktur perusahaan? Lantas aneh yang kedua ialah, mengingat pekerjaan si direktur adalah sebagai PNS Kementerian Perhubungan, dan yang punya proyek adalah Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, apakah ada "benang merah" kerjasama pertemanan sesama Korps Perhubungan? 

Aneh selanjutnya ialah, bila melihat kondisi fisik videotron yang tidak rapi dan kualitas visual yang "kurang nendang", apa ini barang hasil rakitan yang serampangan? Sekedar tips dan trik memilih dan membeli videotron, bisa diklik tautan berikut: http://www.videotronindonesia.com/2015/05/tipstrick-dan-rahasia-dalam-memilih.html#.VrXCWfBXerU.

Aneh seterusnya adalah, bila membandingkan antara harga dengan barang serupa yang beredar di pasaran, apakah pantas harga Rp. 1.197.570.000 untuk 2 unit videotron ini? Kebetulan dibeberapa laman perusahaan penyedia videotron, bisa dilihat spesifikasi dan harga videotron yang ditawarkan, yakni mulai dari Rp. 18 juta  hingga Rp. 29 juta permeter perseginya. Kalau harga Rp. 18 juta, maka untuk videotron ukuran 12 meter persegi hanya cukup membayar Rp. 216 juta saja. Jika yang dipilih harga Rp. 29 juta, maka harganya menjadi Rp. 348 juta. Tentu, makin mahal harganya, semakin bagus kualitasnya.

Semoga kebetulan yang aneh di atas, hanya kebetulan semata. Jadi teringat tulisan di film atau sinetron tv lokal. Bunyi tulisannya seperti ini "Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan cerita dan tokoh adalah kebetulan semata". Tetapi hubungan antara videotron dan fakta yang terjadi, menurut saya adalah suatu kebetulan yang aneh. Ada-ada saja.