Sunday, January 31, 2016

Penyelesaian Konflik Pertanahan dan Keberpihakan Negara

Kamis kemarin, tanggal  28 Januari 2016, Pengadilan Negeri Kuala Simpang, yang memeriksa dan mengadili 12 warga kampung Paya Reuhat dan sekitarnya, telah menjatuhkan vonis kurungan penjara, antara 12 hingga 22 bulan kepada para terdakwa. Kasus yang sebenarnya adalah, konflik tanah antara warga dengan perusahaan pemegang HGU PT Rapala (dulunya PT Parasawita). Tetapi kemudian berubah menjadi "kejahatan oleh warga terhadap negara".

Konflik tanah antara warga kampung Paya Reuhat dan sekitarnya ini, sudah terjadi sejak 1980-an. Saat itu pemegang HGU adalah PT Parasawita. Perjuangan untuk menuntut keadilan tersebut, dilakukan  kembali setelah Soeharto lengser. Menjelang berakhirnya HGU pada 31 Desember 2014, warga telah meminta, agar izin HGU tidak diperpanjang, dan tanah warga yang dulunya dicaplok, untuk dikembalikan.

Apa hendak dikata, negara lewat kaki tangannya bermaksud beda. Izin HGU malah diberikan kepada pemodal baru, bernama PT Rapala. Yakni, partikelir swasta yang selama ini dikenal berkebun di provinsi tetangga, Sumatera Utara. Masa HGU diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk jangka waktu selama seperempat abad, alias 25 tahun.

Warga Paya Reuhat tentu kecewa. Mengapa negara yang katanya didirikan untuk wahana mensejahterakan rakyat, tetapi lebih berpihak kepada pemodal? Mengapa tanah warga yang dulunya "dirampok" pada masa rezim Soeharto, hingga berganti  rezim Joko Widodo, masih bernasib sama. Padahal, jauh hari sebelum HGU PT Parasawita expired, warga telah mengirimkan noted kepada Pemerintah. Inilah yang kemudian disikapi oleh warga melalui "aktifitas protes" yang kemudian oleh  negara dianggap sebagai "kejahatan". Tuntutan warga yang tadinya masalah keadilan, berubah menjadi "kejahatan" yang menghadapkan warga Paya Reuhat versus aparatur negara, mulai dari Polda Aceh, Jaksa dan terakhir Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kuala Simpang.

Negara Berpihak Kepada Siapa?
Apa yang menjadi tuntutan warga Paya Reuhat adalah sederhana. Tanah, yang merupakan sumber kehidupan mereka, dikembalikan. Tanah tersebut akan diusahakan, sehingga warga mampu memperoleh pendapatan ekonomi. Pendapatan ini yang akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga membayar "upeti" kepada negara. Apalah artinya tanah seluas 144 hektar dibandingkan 46.817 hektar lahan HGU yang telah diberikan negara kepada pemegang HGU di Aceh Tamiang? Apalagi perusahaan HGU yang menguasai tanah puluhan ribu hektar di Tamiang,  tidak lebih dari 27 perusahaan yang hanya dimiliki oleh segelintir elit manusia saja.

Lantas, kondisi yang menimpa warga Paya Reuhat saat ini, dimana akar masalah utamanya  adalah konflik tanah, yang berubah menjadi konflik warga melawan negara, merupakan tanda-tanda yang dapat dibaca, kepada siapa negara berpihak. Mengapa negara begitu aktif dan represif pada kasus kriminal antara warga dengan PT Rapala? Mengapa negara menutup mata atas kasus perampokan tanah warga oleh pemegang HGU?

Jika pada dunia kenyataan negara lebih berpihak kepada satu kaum saja, maka hal tersebut membuktikan,  bahwa paham negara Marxis tengah dipraktekkan di negara ini. Pada sistem negara kapitalis, maka negara menjadi alat kaum borjuis atau pemodal untuk membela kepentingannya. Negara dengan sistem feodal, maka negara dijadikan alat dari kaum bangsawan atau para tuan tanah. Jika negara dikendalikan  dan semata-mata berpihak kepada kaum buruh, maka sistem sosialis yang tengah berlaku.

Tentu saja Indonesia bukan negara penganut paham Marxis. Indonesia memiliki ideologi kebangsaan sendiri yang sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist), yakni Pancasila. Merunut kepada teori Hierarkhi Peraturan Perundang-Undangan oleh Hans Kelsen yang kemudian disempurnakan oleh Hans Nawiasky, dan oleh Hamid Atamimi diaplikasikan kedalam struktur tata hukum Indonesia, maka Pancasila merupakan staatsfundamental norm atau norma fundamental negara.

Artinya, Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan norma tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi norma dibawahnya. Demikian juga dengan sistem tata nilai, pemerintahan, politik, hingga sosial, ekonomi dan budaya, mengacu kepada Pancasila sebagai sumber tertinggi dan pedoman hidup bangsa ini. Nilai-nilai ketuhanan, hak asasi manusia, persatuan, demokrasi dan keadilan, yang termakna pada sila-sila dalam Pancasila, menjadi acuan dalam berhukum, berbangsa dan bernegara.

Apa yang terjadi di Paya Reuhat dan Putusan Pengadilan Negeri Kuala Simpang, yang memutus bersalah 12 orang warga yang memperjuangkan hak-hak mereka, adalah praktek negara yang memihak kepada kaum pemodal, dan tentu jauh dari aplikasi nilai-nilai Pancasila sebagai norma fundamental di negara ini.

Penyelesaian Berbasis Kepastian, Kemanfaatan dan Keadilan
Hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai kepastian. Hukum juga bertujuan guna menciptakan kemanfaatan dan keadilan. Kepastian akan hak atas tanah warga Paya Reuhat sudah mereka tempuh sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, negara yang dikuasai oleh rezim Soeharto membungkam warga melalui intimidasi, penyiksaan dan teror. Demi kepastian akan hak atas tanah mereka, menjelang berakhirnya HGU PT Parasawita, warga telah mengingatkan pemerintah untuk tidak memperpanjang HGU dan mengembalikan tanah kepada warga. Bukannya kepastian hak atas tanah warga yang diterima, akan tetapi kepastian hukum dalam bentuk izin HGU kepada pemegang izin baru yakni PT Rapala yang diberi oleh negara.

Kepastian terhadap hak atas tanah warga inilah yang dinanti-nanti oleh warga kampung Paya Reuhat. Bukan kepastian hukum terhadap pemegang izin HGU baru yang lagi-lagi memasukkan tanah yang diklaim oleh warga. Kepastian yang diperoleh PT Rapala, menjadi "ketidakpastian" bagi warga. Hendaknya, negara dalam menerbitkan izin HGU mengakomodir kepentingan semua pihak, sehingga tidak ada pihak yang diistimewakan hak-haknya. Apalagi negara kita bukan negara dengan sistem kapitalis yang berpaham Marxis.

Perpanjangan izin HGU kepada PT Rapala, sudah pasti mendatangkan manfaat kepada pemilik, manajemen, pekerja dan mitra bisnisnya. Tetapi, bagi warga kampung Paya Reuhat, izin HGU tersebut mendatangkan kemudharatan. Tanah yang dituntut untuk dikembalikan, tetap dikuasai oleh pihak lain yang diberikan hak istimewa oleh negara. Kemudharatan ini makin bertambah, mana kala warga yang memperjuangkan hak-haknya menjadi terdakwa. Tentu saja, ketidakpastian serta kemudharatan akibat terbitnya HGU tersebut, telah menciptakan ketidakadilan bagi warga Paya Reuhat. 

Guna menciptakan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hak atas tanah warga Paya Reuhat, izin HGU yang sudah terlanjur diberikan wajib ditinjau ulang. Pemerintah daerah beserta legislatif, harus menunjukkan keberanian dan keberpihakan kepada rakyatnya, dan berdiri digarda depan untuk menyuarakan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi warga kampung Paya Reuhat. Jika hal ini tidak dilakukan, bukan hanya praktek negara yang berpihak kepada pemodal saja yang dipertontonkan, lebih jauh lagi negara telah meninggalkan "bom waktu" yang akan meledak disuatu saat nanti. Tentu hal tersebut tidak kita harapkan. Kita lebih setuju jika warga Paya Reuhat yang dipidana dapat dikembalikan hak-haknya seperti semula, dan kepastian, kemanfaatan serta keadilan bagi warga Paya Reuhat atas tanahnya dapat segera terlaksana.

Thursday, January 28, 2016

Pusaran Elit Kekuasaan

C. Wright Mills, seorang sosiolog asal Amerika, melakukan penelitian tentang adanya suatu kelompok elit penguasa, yang ternyata, terjadi dinegaranya.  Amerika Serikat yang digadang-gadang sebagai negara pelopor nilai-nilai kebebasan demokrasi, apa dinyana, secara “tidak sengaja” telah melahirkan kelompok ini.
 
Penelitian Mills membuktikan, meskipun dilakukan pemilihan umum yang demokratis, ternyata kelompok elit penguasa, selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini, yang merupakan kelompok elit di daerah tersebut, menguasai jabatan negara, jabatan militer dan posisi-posisi kunci dalam perekonomian. Kelompok ini berasal dari keluarga-keluarga kaya di daerah itu, yang mengirimkan anak-anak-mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama, yang kemudian berkarir didunia politik, ekonomi dan militer. Semua ini teriadi secara alamiah, tidak ada yang mengaturnya secara terencana.
 
Tidak saja di Amerika, berkaca kepada Indonesia, pusaran elit kekuasaan ini dapat terlihat secara kasat mata. Dalam dunia perekonomian, beberapa tokoh kunci yang saat ini menguasai jalur bisnis produksi dan jasa, adalah mereka-mereka yang berasal dari keluarga atau kelompok yang sama. Dunia politik pun demikian adanya. Dapat ditarik secara garis keturunan, beberapa elit politik berasal dari keturunan yang telah menguasai atau tampil sebagai penguasa, baik dimasa lalu atau saat sekarang. Bagaimana dengan militer? Terjadi juga hal yang serupa.
 
Buktinya? Lihat saja bagaimana kelompok bisnis keluarga Kalla, Bakrie, atau Paloh atau Hari Tanu atau keturunan Soeharto. Politik? Bisa dilihat tampilnya keturunan Soekarno, mulai dari Megawati hingga Puan Maharani. Atau SBY yang estafetnya di Demokrat diteruskan oleh Ibas Yudhoyono. Bisa dilacak juga anggota legislatif yang nota bene adalah keturunan dari penguasa atau pebisnis nasional atau daerah. Militer? Meşki jenjang karier di militer termasuk kepolisian ada proses didalamnya, dapat dilacak, jabatan elit di kemiliteran dan kepolisian akan lebih mulus jika yang tampil sebagai top leader, berasal dari kelompok elit penguasa. Bahkan tokoh-tokoh kunci yang menguasai ekonomi, berupaya juga menguasai politik. Mereka yang telah berkuasa secara politik, menempatkan kelompok mereka pada jabatan strategis di militer.
  
Desentralisasi Elit Kekuasaan
Pusaran elit kekuasaan tidak hanya terjadi pada level nasional. Turun satu tangga ke wilayah provinsi, fenomena pusaran elit kekuasaan telah dibuktikan keberadaannya. Tentu masih ingat Gubernur Banten, Ratu Atut. Selain terkenal karena perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, Ratu Atut dikenal sukses membangun pusaran elit kekuasaan di Provinsi Banten. Pada wilayah dibawahnya, yaitu kabupaten/kota, beberapa wilayah kabupaten/kota dalam Provinsi Banten dikuasai oleh keluarga besar Ratu Atut. Jika saja tidak keburu ditangkap KPK, diyakini pusaran elit kekuasaan Ratu Atut akan meluas diseluruh Provinsi Banten.
 
Bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia? Apakah fenomena pusaran elit kekuasaan ini terjadi juga? Untuk menjawab secara ilmiah, tentu diperlukan riset khusus mengenai hal tersebut. Menarik, jika melihat seorang Zumi Zola, mantan Bupati Tanjung Jabung Timur, sebuah kabupaten di Provinsi Jambi, yang kemudian terpilih menjadi Gubernur Jambi pada pilkada 9 Desember 2015 lalu. Selain mantan pemain sinetron dan kegantengannya, ternyata Zumi adalah putra dari mantan Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin dua periode (1999-2004 dan 2005-2010). Apa yang terjadi di Jambi dan Banten, paling tidak, secara sederhana dapat dikatakan,  pusaran elit kekuasaan, tidak hanya terpusat di Jakarta, tetapi ibarat “desentralisasi”, juga terjadi di daerah.

Elit Kekuasaan di Aceh Tamiang  
Mengutip hasil penelitian Mills mengenai elit kekuasaan, yaitu jabatan elit pada bidang ekonomi, politik dan militer yang berasal dari kelompok yang sama, maka dalam konteks Aceh Tamiang sebagai kabupaten yang baru menginjak usia ke-14 (empat belas) ditahun 2016 ini, terhadap elit kekuasaan yang terafiliasi pada militer akan sulit terlacak. Lain halnya jika berbicara pada bidang ekonomi dan politik, maka pusaran elit kekuasaan tersebut, sedikit demi sedikit mulai menampakkan eksistensinya.
 
Sebut saja beberapa pengusaha dibidang perkebunan, perdagangan dan jasa, atau yang terafiliasi secara kepentingan bisnis atau berdasarkan hubungan keluarga, berhasil mendudukkan anggota kelompoknya sebagai Bupati dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang. Jika menggunakan “Teori Elit Kekuasaan” yang dikemukakan  oleh C. Wright Mills, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa tokoh-tokoh kunci pada elit ekonomi dan elit kekuasaan di Aceh Tamiang, berasal dari kelompok yang sama, yakni kelompok yang memang menguasai perekonomian di Aceh Tamiang.
 
Kelompok-kelompok ini secara fisik masih terkotak-kotak. Tetapi meminjam istilah “kelas” dari Teori Kelas-nya Karl Marx, berasal dari kelas yang sama, yakni “Pemilik Modal”. Secara kuantitas jumlahnya sedikit, tetapi mengontrol “Kelas Pekerja” yang mayoritas.  Jika kelompok ini kemudian bersatu, dan mengorganisir dirinya seperti apa yang dilakukan oleh Ratu Atut di Banten, maka dipastikan menjadi kekuatan yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik di Aceh Tamiang.
 
Tetapi, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan RI di Aceh, yang kemudian melahirkan Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA), memunculkan satu kelompok lain yang menambah dinamika dalam pusaran elit kekuasaan di Aceh, termasuk Aceh Tamiang. Jika dulunya pemain hanya mereka yang berada dikelompok elit ekonomi dan politik, untuk konteks Aceh Tamiang, KPA dan PA merupakan kelompok yang mesti diperhitungkan.
 
Hal ini akan terlihat pada pemilhan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang pada 2017 yang akan datang. Apalagi dinamika pada Pilkada Aceh Tamiang sebelumnya, KPA dan PA ternyata telah “membuat repot” kelompok elit ekonomi dan politik. Tentu, keberhasilan yang tertunda dari kelompok ini akan menjadikan ajang Pilkada 2017 sebagai penebus rasa penasaran dan pengembalian marwah, bahwa mereka mampu merebut kekuasaan di Aceh Tamiang. Demikian juga dengan pusaran elit kekuasaan saat ini, baik di Jakarta maupun di Aceh Tamiang sendiri. Elit kekuasaan politik di Jakarta, akan mendorong kadernya untuk maju. Demikian juga petahana yang merupakan reprensentatif elit ekonomi di Aceh Tamiang, tentu akan mempertahankan pusaran kekuasaannya dengan alasan konsistensi terhadap keberlanjutan program pembangunan.
 
Pusaran Elit Kekuasaan oleh satu kelompok saja, akan menyebabkan perselingkuhan yang melahirkan keuntungan bagi kepentingan kelompok tersebut saja. Seperti yang dikatakan oleh C. Wright Mills ”Apabila negara selalu dikuasai oleh orang-orang yang datang dari satu kelompok yang sama, sangat mungkin negara akan cenderung melayani kepentingan kelompok tersebut”. Jadi, tujuan awal bernegara untuk mensejahterakan rakyat, akan berubah menjadi “mensejahterakan kelompoknya saja”.
 
Bagaimana dengan birokrasi pemerintahan di Aceh Tamiang? Apakah pusaran elit kekuasaan juga telah menghasilkan suatu kelompok elit birokrasi yang berasal dari kelompok yang sama? ini hal menarik untuk didiskusikan dilain kesempatan.
 
 

Tuesday, January 26, 2016

Politik GETEK Pilkada

Beragam tema terkait dunia perpolitikan menjadi bahan diskusi, gosip, guyon, bahkan cenderung fitnah, saat ngopi bareng dengan teman-teman, sore kemarin. Tema yang mencuat saat itu adalah seputar praktek "politik getek" dalam perebutan kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, hingga bagi-bagi atau alokasi sumber daya alias politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Getek dalam hal ini dapat diartikan sebagai rakit. Sebuah moda transportasi, yang dijadikan sebagai wahana penyebrangan. Namanya saja alat penyebrangan,  jika telah sampai di tujuan, ya si getek ditinggalkan. Bukankah tempat getek memang di tepian sungai? Kan tak elok jika getek dipakai terus atau dibawa-bawa sepanjang jalan. Tentu menyusahkan.

Tetapi, getek tidak dapat bergerak sendiri. Getek memerlukan operator atau bahasa sederhananya tukang getek. Getek juga bukan tercipta begitu saja. Tentu ada juragan atau pemilik getek. Jika ada yang menggunakan jasa getek, tentu si pemakai akan membayar upah angkut kepada operator getek. Operator getek akan menyetor kepada pemilik getek. Pemilik getek juga memberi upah kepada operator getek.

Demikian juga dalam politik pemilihan kepala daerah. Partai politik pengusung bakal calon, bisa diibaratkan sebagai getek tadi. Partai politik adalah moda transportasi untuk mengantarkan bakal calon mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah. Apakah setiap bakal calon memerlukan getek berupa partai politik? Tentu tidak, karena bagi yang tak suka naik getek, silahkan menggunakan tenaga sendiri alias berenang. Yaitu, menggunakan tenaga untuk mengumpulkan dukungan dari rakyat, dan nyalon lewat jalur independen.

Sayonara Getek
"Pesan yang jelas akan menghasilkan tujuan akhir yang jelas". Demikian seorang teman ngopi menegaskan mengenai politik getek. Maksudnya? Sebelum penumpang naik ke getek, harus disampaikan secara jelas kemana tujuan akhir, berapa lama memakai getek, dan tentu saja ongkos naik getek. Jadi, jangan salahkan penumpang getek, jika sebelum getek bergerak tidak disampaikan secara jelas hal-hal seperti disebut di atas. Maka, begitu tiba diseberang akan terjadi "sayonara" alias "good bye" getek.

Kuncinya adalah komunikasi. Habermas, seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman mengatakan "konsensus hanya dapat tercapai jika telah ada kesepahaman antar pihak. Kesepahaman tersebut akan menjadi legitim (valid) jika memenuhi syarat, yaitu: 1) Memakai bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. 2). Kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus, yaitu setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar serta tidak menganggap mereka ini hanya objek belaka. 3). harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi"

Apa yang diutarakan oleh Habermas di atas, jika disederhanakan dalam kaitan antara si penumpang dengan operator atau pemilik getek adalah: 1) bahasa yang sama, 2) posisi yang sejajar dan kesempatan yang sama, serta 3) ada aturan main untuk mengamankan proses poin 1 dan 2 berjalan dengan baik dan tanpa paksaan. Jika syarat tersebut terpenuhi, maka antara penumpang dan pemilik getek tidak akan dakwa-dakwi dikemudian hari begitu tiba di tujuan. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, dipastikan begitu si penumpang getek tiba di seberang, akan mengucapkan "Sayonara Getek".

Politik Getek Jilid II
Apakah pada pemilihan bupati dan wakil bupati aceh Tamiang nanti akan kembali terjadi siasat politik getek? Hal tersebut bisa saja terjadi. Karena politik perebutan kekuasaan penuh intrik dan siasat. Bahkan Peter Merkl mengatakan "politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri". 

Jadi, jika si penumpang getek melakukan praktek "kacang lupa kulitnya" atau "Sayonara Getek", seperti apa yang dikatakan Peter Merkl, yakni pada bagian akhir yaitu "kepentingan diri sendiri", maka itulah fakta bahwa politik dipraktekkan dalam bentuk yang paling buruk.

Bagaimana mensiasati politik getek? Agaknya pendapat teman ngopi yang ngakunya akan ikut berkompetisi dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Aceh Tamiang 2017, yang mengatakan "Pesan yang jelas akan menghasilkan tujuan akhir yang jelas" ada benarnya. Sebelum naik getek, buat konsensus berdasarkan kesepahaman bersama, bukan berdasarkan perasaan masing-masing alias "baper".

Karang Baru, 26 Januari 2016




Friday, January 22, 2016

Peran Perempuan Dalam Perpolitikan Di Aceh Tamiang

Politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan kekuasaan (power) pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution) sumber daya (Miriam 2008:14). Definisi politik oleh Prof. Miriam Budiarjo tersebut,  jika disandingkan dengan kiprah perempuan dalam perpolitikan di Aceh Tamiang, ibarat menjelaskan peristiwa tarik menarik antar molekul dalam peristiwa kimia. Bukan tidak mungkin, peran perempuan, baik itu secara langsung  di dunia politik, atau secara tidak langsung, telah mewarnai dinamika kekuasaan, pengambilan keputusan, hingga alokasi atau distribusi sumber daya di Kabupaten Aceh Tamiang.

Peran perempuan dalam ranah  perpolitikan di Aceh Tamiang bukanlah hal tabu untuk diperdebatkan. Perempuan di Aceh Tamiang telah membuktikannya. Demikian salah satu poin krusial yang ditangkap dalam diskusi siang tadi, bertempat di kantor PKK Aceh Tamiang. Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari diskusi sebelumnya yang bertemakan "mendorong kepemimpinan perempuan di Aceh Tamiang". 

Diskusi ba'da Jumatan menjelang Ashar tadi memang menyasar Iris Atika, yang juga menjabat sebagai Ketua PKK Aceh Tamiang untuk dimintakan respon atas  wacana tersebut. Mengapa Iris Atika? Selain sebagai Ibu Bupati, ternyata yang bersangkutan juga aktif sebagai Ketua Tim Pemenangan yang berhasil mengantarkan pasangan HI (Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang periode 2012-2017. Dan hasil kerja politiknya, terbukti sudah. Ia berperan aktif didalam perebutan kekuasaan di Aceh Tamiang, dan sebagai istri dari Bupati Hamdan Sati, tentunya berperan penting mendampingi sang suami dalam kancah perpolitikan di Aceh Tamiang.

Respon yang diberikan oleh yang bersangkutan cukup baik. Iris Atika juga mengemukakan secara sejarah, perempuan di Aceh telah membuktikan kualitas kepemimpinannya. Ada Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Laksamana Keumalahayati hingga Ratu Safiatuddin. Diingatkan juga olehnya, bahwa negara ini pernah dipimpin oleh  seorang presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri.  Kesemuanya adalah bukti, perempuan layak tampil sebagai pemimpin.

Kader Politik Perempuan Aceh Tamiang
Pada diskusi dunia maya beberapa waktu lalu, seorang teman yang menjabat sekretaris salah satu partai nasional di Aceh Tamiang, menyatakan jika partainya siap mendukung kader perempuannya untuk tampil pada event pilkada Aceh Tamiang 2017. Tidak tanggung-tanggung, kader perempuan dari partainya yang saat ini duduk sebagai anggota legislatif, yakni sebanyak 2 (dua) orang, siap untuk dipromosikan.

Kader politik perempuan di Aceh Tamiang boleh dikatakan telah mewarnai dinamika perpolitikan di kabupaten ini. Sepertiga atau 10 (sepuluh) anggota DPRK Aceh Tamiang adalah perempuan. Ada juga yang menjabat sebagai fungsionaris partai, baik sebagai ketua atau menjabat sebagai sekretaris. Dan seperti disebut dibagian awal, perempuan di Aceh Tamiang, juga ada yang berperan sebagai ketua pemenangan calon bupati dan wakil bupati. 

Politik Pilkada 2017
Ini yang menarik, bagaimana dengan kiprah perempuan Aceh Tamiang pada pemilihan bupati dan wakil bupati 2017 nanti? Apakah peristiwa pada Pilkada 2012 akan terulang, atau akan muncul calon bupati dan wakil bupati dari kaum Hawa di Aceh Tamiang?

Dari sejumlah nama yang digadang-gadang akan tampil meramaikan kontestasi bursa bupati dan wakil bupati Aceh Tamiang 2017 nanti, belum ada tokoh perempuan Aceh Tamiang yang tersebutkan. Belum bukan berarti "tidak". Apalagi masa pentahapan pilkada, juga belum dimulai. Wacana untuk mendorong kepemimpinan perempuan di Aceh Tamiang, dipandang perlu untuk terus menjadi diskursus publik. Paling tidak, dengan munculnya tokoh-tokoh perempuan Aceh Tamiang nanti, akan memperkaya khazanah publik untuk memilih, siapa yang layak memimpin kabupaten ini.

Diskusi hari ini ditutup seiring azan Ashar berkumandang. Next, siapa lagi tokoh perempuan Aceh Tamiang yang akan di-urun rembug untuk berdiskusi dengan tema yang mungkin sama dengan suasana yang berbeda. Sebagai tanda mata, turut dipajang foto dengan narasumber siang tadi.


Karang Baru, 22 Januari 2016







Tuesday, January 12, 2016

Mendorong Kepemimpinan Perempuan di Aceh Tamiang

Ajang demokrasi lima tahunan untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang, hanya dalam hitungan bulan saja akan digelar. Meski demikian, aroma politik lokal untuk menentukan siapa yang bakal maju dan ikut berkompetisi sudah mulai tercium aromanya. Tulisan ini tidak bertendensi macam-macam, atau mewakili pendapat Institusi. Hanya pendapat pribadi berdasarkan diskusi politik di warung kopi.

Diskusi informal yang dibicarakan siang tadi, seputar bakal calon yang berasal dari kaum Hawa alias perempuan. Mengapa tidak, Aceh Tamiang dipimpin oleh perempuan. Toh, untuk level politik di kabupaten, tokoh perempuan yang bermain dan terjun langsung didalamnya memang secara fakta tersedia. Selain itu, mungkin dengan sentuhan perempuan, agenda pembangunan di Aceh Tamiang, bisa berjalan dengan lebih baik. Karena, sekian tahun dipimpin oleh kepala daerah dari kaum Adam, masih terdapat sejumlah agenda pembangunan yang masih terganjal dan terkesan kurang tegas.

Tanda-Tanda Zaman
Sebenarnya, kiprah politik perempuan di Aceh Tamiang sudah menunjukkan faktanya. Bukti bahwa perempuan mampu bersaing dengan laki-laki bisa dilihat, dari 30 anggota DPRK Aceh Tamiang, sepertinganya atau 10 orang adalah perempuan. Belum lagi beberapa partai politik di Kabupaten Aceh Tamiang, dipimpin oleh perempuan.

Sehingga, tidak salah jika momentum pilkada 2017 nanti, tampil sejumlah tokoh perempuan Aceh Tamiang. Hati-hatilah politisi yang berjenis laki-laki, hasil pemilu legislatif 2012 yang menghasilkan sepertiga anggota legislatif adalah perempuan membuktikan, tidak ada masalah dengan prilaku pemilih untuk memilih perempuan di Aceh Tamiang.

Keberhasilan kepemimpinan kepala daerah yang nota bene perempuan, sudah banyak contohnya. Sebut saja Illiza Walikota Banda Aceh. Kemudian Airin yang menjadi Walikota Tanggerang Selatan. Kemudian di Surabaya ada Ibu Risma. Sejarah masa lalu di Aceh, juga sudah membuktikan jika perempuan mampu untuk memimpin pemerintahan. Sebut saja Ratu Safiatuddin dan Laksamana Kemalahayati.

Siapa Tokoh Perempuan Tamiang
Tidak komplit rasanya jika tidak memunculkan nama-nama tokoh perempuan, yang dinilai layak untuk tampil memimpin Aceh Tamiang. Diantaranya adalah Nora Idah Nita, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat Aceh Tamiang dan Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang. Kepemimpinan di partai dan bisa mempertahankan keanggotaanya di DPRK Aceh Tamiang selama dua periode, patut dipertimbangkan.

Selanjutnya di partai lain ada nama Sumiyem, Desi Amelia, Siti Zuleha, Erawati, dan lain-lain yang saat ini menjadi anggota DPRK Aceh Tamiang. Sedangkan nama terakhir dipenutup diskusi siang tadi adalah munculnya nama Iris Atika, yang tidak lain adalah isteri Bupati Hamdan Sati.

Kiprahnya sebagai penggerak PKK dan Dekranas Aceh Tamiang dinilai sukses dan mendukung peran Sang Suami. Dengan keahliannya untuk memahami psikologi atau karakter pemilih Aceh Tamiang, jika Iris Atika tampil sebagai Calon Bupati, maka dipastikan akan mengakibatkan "kegaduhan" politik di tingkat lokal Aceh Tamiang. Belum lagi, posisi suami sebagai incumbent, dipastikan akan memberikan keuntungan plus jika Iris Atika mencalonkan diri.

Dengan siapa para calon perempuan ini akan berpasangan? Apakah calon wakil bupati dari kaum Hawa atau kaum Adam, diskusi siang tadi belum mengarah kesana. Karena Penulis mengundurkan diri untuk berisitirahat karena gangguan flu yang menjengkelkan. Sebagai oleh-oleh, dibawah ini terlampir foto diskusi siang tadi di Warkop Corner.

Karang Baru, 12 Januari 2016