Sunday, February 21, 2016

Jalan Nasional dan Desentralisasi Setengah Hati

Jika anda melintas via darat, dari Medan menuju Banda Aceh, tepatnya setelah memasuki gerbang perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dengan Provinsi Aceh, itu berarti, anda telah tiba di Kabupaten Aceh Tamiang. Disebelah kiri dan kanan jalan, anda akan menjumpai hamparan perkebunan kelapa sawit, barisan pertokoan yang masih sepi penjual plus pembelinya, pos polisi, mesjid, komplek pesantren dan jembatan timbang milik pemerintah Provinsi Aceh.

Setelah itu, anda akan memasuki Kampung Seumadam. Jangan terkejut jika anda akan disuguhkan kondisi "jalan yang bergelombang". Tenang, kondisi jalan ini masih terus dijumpai hingga tiba di Kota Kualasimpang. Setelah melewati jembatan Kualasimpang, anda jangan kaget. Kondisi jalan yang bakal anda temukan, keadaannya lebih parah lagi. Yaitu, jalan dua jalur yang belum kelar pengerjaannya, berlubang, berantakan, berdebu, dan becek paska turunnya  hujan, akan menemani perjalanan anda.

Ketidaknyamanan akan kondisi jalan yang kupak-kapik tersebut, akan anda rasakan hingga melewati persimpangan Kampung Kesehatan, Istana Karang, Kompi A Batalyon 111/Raider, hingga depan kantor Bupati dan DPRK Aceh Tamiang. Terhadap kondisi jalan yang awut-awutan tersebut, warga juga pernah melakukan aksi unjuk rasa, hingga tanam pohon pisang di badan jalan. Media juga pernah mengungkapkannya. Tetapi ya itu, sampai tulisan ini dibuat, kondisi jalannya memang demikian. Tak ada yang dilebih-lebihkan.

Tentu anda akan bertanya, menggerutu, memaki mungkin, atau berdoa dengan pasrah, akan kondisi jalan tersebut. Mengapa begini, mengapa begitu? Mengapa pemerintah terkesan tak berdaya? Mengapa hukum tidak bertindak? Mengapa kontraktor pelaksana bisa melakukan hal ini? Bla bla bla bla...

Jalan Nasional Urusan Pusat
Memang, secara subtansi hukum, jalan umum dengan status Jalan nasional, menjadi kewenangan pemerintah pusat. Demikian diatur dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Kewenangannya meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. 

Urusan pemerintah dibidang pekerjaan umum ini pun, kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana urusan tersebut, menjadi urusan pemerintah yang bersifat konkuren. Artinya, urusan yang dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Implementasinya adalah, jalan umum yang statusnya jalan nasional menjadi urusan pemerintah pusat. Jalan umum berstatus jalan provinsi menjadi urusan pemerintah provinsi. Sedangkan pemerintah kabupaten, kebagian urusan jalan umum yang berstatus jalan kabupaten dan jalan desa.

Nah, untuk melaksanakan kewenangan pengelolaan jalan nasional tersebut, pemerintah pusat menerapkannya melalui mekanisme dekonsentrasi. Yaitu, pelimpahan sebagian urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sehingga, untuk mengurusi jalan nasional yang berada dan melintas di kabupaten Aceh Tamiang, rentang kendali birokrasinya mulai dari UPT di Langsa, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional di Medan, hingga Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta.

Demikian juga dengan jalan dua jalur yang kupak-kapik seperti disebut di atas, merupakan proyek APBN tahun 2015. Judul proyeknya adalah "Pelebaran Jalan Batas Kota Langsa-Batas Sumut (2 Jalur Kota Tamiang)". Tanggal kontrak adalah 18 Februari 2015, dengan nilai kontrak (termasuk PPN) sebesar Rp. 28.099.264.000,_ Masa pelaksanaan pekerjaan selama 270 hari kalender, dan masa pemeliharaan adalah 730 hari kalender. Kontraktor pelaksana PT. Tamitana, dan konsultan pengawas PT Eskapindo Matra.

Kena Getah Nangka
Lantas, jika rupa jalan nasional yang melintas di Aceh Tamiang sedemikian buruknya, seperti jalan dua jalur antara jembatan Kualasimpang hingga kantor bupati dan DPRK Aceh Tamiang, pihak mana yang paling bertanggungjawab? Jika merunut kepada kewenangannya, jelas hal tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Lantas dimana posisi pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten?

Bagi masyarakat awam, melihat "parahnya" kondisi jalan dua jalur yang tak kunjung selesai, dan berada didepan perkantoran eksekutif dan legislatif Aceh Tamiang, berpendapat betapa tidak berdayanya pemerintah dan aparat penegak hukum di Aceh Tamiang. Apalagi, yang menikmati "jalan buruk rupa dua jalur" tersebut bukan hanya rakyat biasa saja. Dipastikan mulai dari bupati, wakil bupati, sekda, para kepala dinas, pimpinan DPRK dan anggota DPRK Tamiang, pernah menikmati bagaimana kualitas jalan tersebut. Demikian juga dengan aparat penegak hukum, mulai dari Kapolres hingga Kajari, pasti mengetahui kondisi jalan dua jalur tersebut.

Tetapi, ya itu tadi. Meski dilalui oleh para petinggi negeri, nasib jalan dua jalur yang berada di daerah strategis pusat pemerintahan Aceh Tamiang, makin tak jelas. Seperti pepatah yang mengatakan "tak tentu hilir mudiknya" alias tak jelas. Protes oleh pemerintah daerah dan DPRK Tamiang-pun dianggap angin lalu saja. Tak jelas kapan finishing-nya, dan tak jelas juga proses hukumnya. Yang pasti, masyarakat yang tinggal disekitar ruas jalan ini menikmati "debu gratis" setiap harinya, jalan berlubang, dan full becek-becek jikala hujan. Sedangkan kontraktor pelaksana yang bernama PT. Tamitana berubah menjadi "tamita hana", yang artinya "dicari tak ada" alias "lari malam". Ungkapan yang mungkin sepadan adalah "orang lain yang makan nangka, warga Tamiang yang kena getahnya".

Desentralisasi Setengah Hati vs Tugas Pembantuan
Apa yang terjadi dengan nasib jalan dua jalur di Tamiang ini, serta kondisi jalan nasional yang ada di Tamiang, dapat dikatakan sebagai "desentralisasi setengah hati". Mengapa setengah hati? Jika melihat kembali makna desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk menjadi urusannya, dapat dimaknai bahwa "urusan jalan nasional ini semestinya juga diserahkan juga kepada daerah". 

Akan tetapi, dengan adanya dekonsentrasi dibidang pekerjaan umum, termasuk mengurusi jalan nasional lewat instansi vertikal yang ada di daerah, pemerintah pusat dapat dikatakan "setengah hati" dalam melaksanakan politik desentralisasi. Apalagi jika melihat kondisi real jalan nasional yang berada di kabupaten. Instansi yang mengurusinya, terkesan "lamban" bahkan "tak peduli" terhadap  pemeliharaan dan perawatannya.

Mengapa harus diserahkan ke daerah? Karena daerahlah yang paling tahu, apa dan bagaimana kondisi jalan nasional yang berada dan melintasi wilayahnya. Selain itu, guna memperpendek rentang birokrasi yang panjang, serta efisensi dalam merespon kondisi jalan nasional di lapangan, penyerahan urusan jalan nasional kepada kabupaten adalah mutlak dibutuhkan.

Pertanyaan selanjutnya pasti, apakah daerah mampu untuk membiayai urusan jalan nasional jika diserahkan kepada kabupaten? Salah satu solusinya adalah melalui mekanisme "Tugas Pembantuan". Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah, untuk melaksanakan sebagian dari urusan pemerintah pusat. Penugasan ini artinya bahwa kewenangan tersebut masih berada di tangan pemerintah pusat, tetapi ditugaskan kepada daerah untuk melaksanakannya, tentunya disertai dengan anggaran.

Jadi, paling tidak, melalui mekanisme tugas pembantuan ini dapat dijadikan "pengantar" (bridging phase) kepada desentralisasi pengelolaan jalan nasional oleh daerah. Tentu untuk mewujudkan hal ini dapat terealisasi, bukan perkara mudah. Instansi yang selama ini "basah" oleh proyek-proyek pembangunan, perawatan dan pemeliharaan jalan nasional, tidak rela begitu saja, jika "sumber rupiahnya" dialihkan kepada pihak lain. 

Kabupaten/kota yang ada di seluruh nusantara harus berani dan bersatu. Sudah saatnya, asosiasi pemerintah kabupaten/kota yang sudah di bentuk, mengagendakan perubahan subtansi hukum, yang menjadikan pelaksanaan "desentralisasi setengah hati" oleh pemerintah pusat. Subtansi peraturan dalam hal jalan nasional menjadi urusannya pusat, meski di tinjau ulang, dan diserahkan kepada kabupaten/kota, minimal melalui mekanisme tugas pembantuan.

No comments:

Post a Comment