Monday, October 7, 2013

"Akilisasi" Mahkamah Konstitusi

Power tend to corrupt  yang arti bebasnya adalah “kekuasaan cenderung korupsi”, untuk sekian kalinya telah terbukti didalam praktek penyelenggaraan negara ini.  Hal mana dapat dilihat dari maraknya aparat penyelenggara negara yang terlilit masalah korupsi. Tidak tanggung-tanggung mulai dari Hakim Agung, Jenderal, Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Bupati, Hakim hingga Jaksa-pun  pernah berkasus.

Kasus teranyar saat ini adalah skandal korupsi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK),  Akil Mochtar, yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu malam, tanggal  2 Oktober 2013 dirumah dinasnya.  Penangkapan oleh KPK dikarenakan Akil Mochtar diduga telah menerima suap penanganan perkara sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Penangkapan Akil Mochtar oleh KPK sontak membuat gempar dunia penegakan hukum di Indonesia. Media luar negeripun turut serta memberitakan peristiwa memalukan ini. Beberapa media asing yang memberitakan diantaranya adalah The Straits Times, The New York Times, Washington Post, Reuters, dan Aljazeera.

MK yang digadang-gadang selama ini sebagai lembaga penegakan hukum yang bersih dan berwibawa, ternoda oleh perbuatan sang ketua yang bernama Akil Mochtar. Apalagi, paska penggeledahan diruang kerjanya di MK, ditemukan sejumlah barang haram berupa narkoba. Ibarat virus “Akilisasi” ini langsung menurunkan citra MK dan penegakan hukum yang makin hari makin terpuruk.

Bola Salju Akilisasi

Kasus Akilisasi di MK ternyata tidak berdiri sendiri. Sejumlah pihak ditenggarai ikut terlibat. Saat ini saja KPK telah menetapkan status tersangka terhadap sejumlah orang Sebut saja Chaerun Nisa yang juga Anggota DPR dari Fraksi Golkar. Lalu ada Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih, dan Cornelis Nalau yang berprofesi sebagai pengusaha.

KPK juga telah menjadikan tersangka Tubagus Chaery Wardana, adik dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah dan Susi Tur Andayani  (pengacara) dalam kasus suap yang diduga kuat melibatkan Akil Mochtar dalam kaitannya dengan gugatan sengketa pilkada Lebak, Banten di MK. Posisi Ratu Atut Chosiyah sendiri saat ini masih dalam status pencekalan ke luar negeri oleh KPK.

Fenomena Akiliasi di MK, diprediksi dampaknya akan semakin sistemik, terstruktur dan masif terhadap pihak-pihak yang terlibat didalamnya.  Bukan tidak mungkin, Akilisasi ini akan menggelinding ibarat bola salju, dan semakin jauh maka semakin banyak pula pihak yang terseret. Hal ini bisa saja, mengingat kasus suap lainnya terkait perkara sengketa pilkada yang ditangani oleh Akil Mochtar sedikit demi sedikit mulai tercium aroma korupnya.  Tentunya akan menambah panjang daftar terperiksa oleh KPK.

 

Akilisasi = Mafia Peradilan

Sebelum munculnya fenomena Akilisasi di MK, Satjipto Rahardjo pada tahun 2009  telah memprediksi akan terjadinya hal serupa. Ia mengatakan “Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lebih dari enam puluh tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak juga  memberikan hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram” (Satjipto Rahardjo, 2009).

Demikian juga Mahfud MD, mantan Ketua MK, dalam bukunya yang berjudulMembangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (2011), masalah  judicial corruption,  yang dalam istilah dikenal dengan mafia peradilan, meski  selama era reformasi telah dikeluarkan berbagai kebijakan hukum yang semula dimaksudkan untuk membangun peradilan yang merdeka, bersih dan berwibawa. Tetapi dalam kenyataannya isu mafia peradilan bukan semakin mereda, malahan sebaliknya semakin memprihatinkan.  Ini menunjukkan bahwa politik hukum yang mengarahkan upaya pada perbaikan ateri hukum dengan format dan instrumen yang baik dan ketat ternyata tidak sejalan dengan realitas penegakan hukum di lembaga peradilan. Jadi, problem politik nasional bukan terletak pada pengarahan materinya melainkan pada penegakannya oleh aparat.

Kegelisahan Satjipto Rahardji dan Mahfud MD pun terbukti sudah. Akilisasi di MK telah membuka tabir gelap, bahwa praktek mafia peradilan telah menodai MK sebagai penegak konstitusi dinegeri ini. Akilisasi telah menodai Mahkamah Konstitusi. Akilisasi menjadikan penegakan hukum semakin suram.

 

Akilisasi  = Krisis Moral

Akilisasi di MK merupakan wujud dari prilaku menyimpang dari aparat penegak hukum di Indonesia yang bertentangan dengan norma hukum, etika  dan moral sebagai penyelenggara negara. Krisis moral aparat penegak hukum saat ini salah satunya disebabkan sistem hukum di Indonesia yang mengadopsi model hukum barat dan melupakan nilai hidup bangsa ini.

Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Romli Atmasasmita, seorang Guru Besar Hukum Pidana di Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Teori Hukum Integratif (2012), ia mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman teoritis dan praktik, berkesimpulan bahwa kaum praktisi hukum di Indonesia telah “melupakan” dan mengabaikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.  Model pendidikan hukum di Indonesia kurang menekankan pada pembangunan integritas.  Inti dari masalah praktisi hukum terutama jaksa, polisi dan hakim, adalah semaian nurani yang masih jauh dari sifat amanah dan kerendahan hati.

Perwujudan moral dan etika penyelenggara Negara di Indonesia merupakan sebuah tantangan didalam mewujudkan cita-cita negara “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosal”.

Prilaku menyimpang dari penyelenggara negara yang jauh dari moral dan etika seperti kasus Akilisasi ini diprediksi akan masih terus terjadi. Meski berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan membatasi kekuasaan penyelenggara negara untuk tidak melakukan penyimpangan telah dilahirkan, tapi bila moral penyelenggara negara bobrok, sebaik apapun peraturan yang dibuat, maka akan lahir Akilisasi-Akilisasi lain.

Seperti apa yang disampaikan oleh Profesor Romli, saat ini yang diperlukan adalah memperbaiki sistem pendidikan hukum di Indonesia. Pendidikan hukum  jangan lagi hanya mencetak “tukang-tukang hukum”  tanpa nurani dan moral yang  berlandaskan pandangan hidup bangsa Indonesia.