Thursday, February 25, 2016

Bupati Gila dan Gila Bupati


Membaca status teman dilaman FBnya, bunyinya kira-kira seperti ini, “Sekarang jamannya gilak bupati di Tamiang. Tiap hari orang-orang di warung kopi, membicarakan tentang bupati. Banyak kali orang yang mau jadi bupati. Sudah gilak bupati, semua orang di Tamiang ini”.

Respon yang datang bermacam ragam. Ada yang sekedar me-like status, mengirim  meme, berkomentar sinis, berpendapat dengan nada pro, hingga komentar yang tidak ada kaitannya dengan status si teman.

Komentar yang sependapat dengan status si teman mengatakan, orang yang gila bupati tak taudirilah, besar pasak dari tianglah, mimpi disiang hari, hingga mempertanyakan “ada cermin nggak dirumahnya, kalau tidak ada, biar saya belikan?”. Lebih sinis lagi, mengatakan, “kalau gila bupati tak makan gaji, bupati gila masih ada gajinya”.

Pendapat yang kontra dengan si teman, menuliskan: “ini memang lagi musimnya, Itu adalah hak orang untuk mencalonkan diri sebagai bupati”. Ada yang bilang “itu adalah demokrasi dan hak asasi manusia”. Ada juga yang menulis pesan “itu adalah hak konstitusional warga, dijamin dalam UUD”. Yang menarik adalah tulisan “awalnya gila bupati, begitu tak terpilih jadi gila beneran…”

Bupati dan Gila
Sebenarnya, apa beda antara bupati gila dan gila bupati? Sebelum menjawabnya, kita lihat masing-masing pengertian. Pasal 1 angka 9 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mendefinisikan, “Bupati adalah kepala pemerintah daerah kabupaten yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Gila, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, adalah: 1) sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal); 2) tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal); 3) terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif); ungkapan kagum (hebat); 4) terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, kasih sayang); dan 5) tidak masuk akal (www.kbbi.web.id).

Jadi, kalau bupati gila bisa diartikan bupati yang sakit ingatan (kurang beres ingatannya) atau sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tida normal).  Sedangkan gila bupati adalah orang yang dilanda perasaan sangat suka (gemar) akan posisi sebagai bupati atau orang yang tidak masuk akal untuk menjadi bupati.

Lantas apa bedanya antara bupati gila dengan gila bupati? Salah satu jawabannya seperti komentar di status sang teman, yaitu “bupati gila masih dapat gaji, tetapi gila bupati tidak makan gaji”. Tetapi, jika bupati gila, tandatangannya tidak berlaku. Karena dianggap sebagai orang yang tidak cakap (tidak mampu) melakukan perbuatan hukum. Sedangkan orang yang gila bupati, tandatangannya masih bisa dipakai untuk melakukan perbuatan hukum, seperti membuat surat atau perjanjian.

Lebih lanjut adalah, bupati gila selain dianggap tidak mampu lagi melakukan perbuatan hukum, dikategorikan dalam status “sakit dan tidak dapat melakukan kewajibannya”. Jika ini terjadi terus menerus selama enam bulan berturut-turut, maka bupati gila ini akan digantikan posisinya oleh sang wakil bupati. Sedangkan orang yang gila bupati, tetap bisa menyandang predikat “gila bupati” dan dijamin tidak akan tergantikan oleh orang lain.  

Terakhir adalah, jika bupati gila berarti sang bupati benar-benar telah sakit ingatan atau terganggu jiwanya, orang yang gila bupati sebaliknya. Dianggap sehat wal afiat, pikirannya masih oke, hanya orang lain saja yang mengatakannya “gila”.

Jika ditanya, mana yang lebih baik “bupati gila atau gila bupati?”, menurut saya dua-duanya sama buruknya. Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah, bupati yang waras, yang sehat, yang tidak lupa ingatan, terutama ingatan akan janji-janji pada saat kampanye sebelum menjabat sebagai bupati. Jika bupati lupa akan janji-janjinya, berarti bupati tersebut dapat dikategorikan sudah sakit ingatan (kurang beres ingatannya), artinya sudah gila.

No comments:

Post a Comment