Membaca status teman dilaman
FBnya, bunyinya kira-kira seperti ini, “Sekarang jamannya gilak bupati di
Tamiang. Tiap hari orang-orang di warung kopi, membicarakan tentang bupati.
Banyak kali orang yang mau jadi bupati. Sudah gilak bupati, semua orang di
Tamiang ini”.
Respon yang datang bermacam
ragam. Ada yang sekedar me-like status,
mengirim meme, berkomentar sinis, berpendapat
dengan nada pro, hingga komentar yang tidak ada kaitannya dengan status si
teman.
Komentar yang sependapat
dengan status si teman mengatakan, orang yang gila bupati tak taudirilah, besar
pasak dari tianglah, mimpi disiang hari, hingga mempertanyakan “ada cermin
nggak dirumahnya, kalau tidak ada, biar saya belikan?”. Lebih sinis lagi,
mengatakan, “kalau gila bupati tak makan gaji, bupati gila masih ada gajinya”.
Pendapat yang kontra dengan
si teman, menuliskan: “ini memang lagi musimnya, Itu adalah hak orang untuk
mencalonkan diri sebagai bupati”. Ada yang bilang “itu adalah demokrasi dan hak
asasi manusia”. Ada juga yang menulis pesan “itu adalah hak konstitusional
warga, dijamin dalam UUD”. Yang menarik adalah tulisan “awalnya gila bupati,
begitu tak terpilih jadi gila beneran…”
Bupati dan Gila
Sebenarnya, apa beda antara
bupati gila dan gila bupati? Sebelum menjawabnya, kita lihat masing-masing
pengertian. Pasal 1 angka 9 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
mendefinisikan, “Bupati adalah kepala pemerintah daerah kabupaten yang dipilih
melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Gila, menurut definisi Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, adalah: 1) sakit ingatan (kurang beres
ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal); 2)
tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk
akal); 3) terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif);
ungkapan kagum (hebat); 4) terlanda perasaan sangat suka (gemar, asyik, kasih sayang);
dan 5) tidak masuk akal (www.kbbi.web.id).
Jadi, kalau bupati gila bisa
diartikan bupati yang sakit ingatan (kurang beres ingatannya) atau sakit jiwa
(sarafnya terganggu atau pikirannya tida normal). Sedangkan gila bupati adalah orang yang
dilanda perasaan sangat suka (gemar) akan posisi sebagai bupati atau orang yang
tidak masuk akal untuk menjadi bupati.
Lantas apa bedanya antara
bupati gila dengan gila bupati? Salah satu jawabannya seperti komentar di
status sang teman, yaitu “bupati gila masih dapat gaji, tetapi gila bupati tidak
makan gaji”. Tetapi, jika bupati gila, tandatangannya tidak berlaku. Karena
dianggap sebagai orang yang tidak cakap (tidak mampu) melakukan perbuatan
hukum. Sedangkan orang yang gila bupati, tandatangannya masih bisa dipakai
untuk melakukan perbuatan hukum, seperti membuat surat atau perjanjian.
Lebih lanjut adalah, bupati
gila selain dianggap tidak mampu lagi melakukan perbuatan hukum, dikategorikan
dalam status “sakit dan tidak dapat melakukan kewajibannya”. Jika ini terjadi
terus menerus selama enam bulan berturut-turut, maka bupati gila ini akan
digantikan posisinya oleh sang wakil bupati. Sedangkan orang yang gila bupati,
tetap bisa menyandang predikat “gila bupati” dan dijamin tidak akan tergantikan
oleh orang lain.
Terakhir adalah, jika bupati
gila berarti sang bupati benar-benar telah sakit ingatan atau terganggu
jiwanya, orang yang gila bupati sebaliknya. Dianggap sehat wal afiat, pikirannya masih oke, hanya orang lain saja yang
mengatakannya “gila”.
Jika ditanya, mana yang
lebih baik “bupati gila atau gila bupati?”, menurut saya dua-duanya sama
buruknya. Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah, bupati yang waras, yang
sehat, yang tidak lupa ingatan, terutama ingatan akan janji-janji pada saat
kampanye sebelum menjabat sebagai bupati. Jika bupati lupa akan janji-janjinya,
berarti bupati tersebut dapat dikategorikan sudah sakit ingatan (kurang beres
ingatannya), artinya sudah gila.
No comments:
Post a Comment