Aceh Tamiang, adalah sebuah kabupaten yang
terletak di ujung timur Provinsi Aceh, berbatasan langsung dengan Provinsi
Sumatera Utara. Saat ini, wilayah Kabupaten Aceh Tamiang terdiri atas 12 kecamatan, 27 kemukiman, dan 213 kampung.
Salah satu kecamatan yang ada di Aceh Tamiang bernama Kecamatan Manyak Payed.
Kecamatan ini, sudah ada sejak Aceh Tamiang sebelum dimekarkan, yakni pada saat
masih bergabung dengan Kabupaten Aceh
Timur.
Nama Manyak Payed diyakini oleh banyak pihak
berasal dari istilah Majapahit. Sebuah
kerajaan Hindu Nusantara pada abad XIII, dengan rajanya yang terkenal yakni
Hayam Wuruk, serta Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya. Kemiripan
istilah Manyak Payed dengan Majapahit ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar
Manyak Payed yang saat ini berada di Kabupaten Aceh Tamiang, berasal dari istilah
Majapahit serta bagaimana keterkaitannya? Tujuan penulisan ini adalah langkah
awal untuk dilakukannya riset lanjutan yang lebih mendalam tentang jejak sejarah
Majapahit di Kabupaten Aceh Tamiang.
Tamiang
Dalam Kitab Negarakretagama
Kitab Negarakretagama (Negara dengan Tradisi/Agama
yang Suci), yang dikarang oleh Mpu Prapanca, bercerita tentang keadaan di Keraton Majapahit
pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, yang bertahta dari tahun 1350-1389.
Mpu Prapanca menulis kitab ini pada bulan Aswina tahun Saka 1287 atau sekitar
bulan September-Oktober 1365. Dalam kitab ini, nama Tamihang atau Tamiang merupakan salah satu negara Melayu
yang berada di pulau Sumatera yang berhasil ditaklukkan oleh Majapahit.
Pada bab ke XIII Kitab Negarakretagama,
disebutkan secara terperinci pulau negara bawahan, terdiri dari Melayu, Jambi,
Pelembang, Toba dan Darmasraya. Ikut juga disebut Kandis, Kahwas, Minangkabau,
Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe (Pulau Kampai), Haru (Aru), Mandailing,
Tamihang (Tamiang), Perlak (Peureulak), Padang Lwas (Padang Lawas), Samudra,
Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus. Itulah negara-negara Melayu yang berhasil
ditaklukan. Termasuk juga negara-negara di Pulau Tanjungnegara (Kalimantan)
yaitu: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, dan Lawai.
Ekspansi
Majapahit ke Tamiang
Asal muasal nama Manyak Payed, menurut H.M.
Zaenuddin, terjadi pada saat bala tentara kerajaan Majapahit, yang dipimpin
langsung oleh Maha Patih Gajah Mada, menyerang kerajaan Samudra Pasai sekitar
tahun 1350. Akan tetapi, karena kuatnya pertahanan Samudra Pasai, pasukan Gajah
Mada hanya bisa sampai disekitar wilayah Sungai Raya, Peureulak dan Kuala Jambo
Aye. Akhirnya Gajah Mada-pun memutuskan untuk menaklukan Tamiang saja, karena
didapat informasi ada seorang puteri raja nan cantik jelita, bernama Puteri
Meuga Gema. Tujuan ekspansi yang semula akan mengalahkan Samudra Pasai, beralih
kepada misi penaklukan Tamiang serta mempersembahkan Puteri Meuga Gema kepada Prabu Hayam Wuruk.
Berdasarkan perintah Gajah Mada tersebut,
maka pasukan Majapahit mencari lokasi di wilayah kerajaan Tamiang untuk
mendirikan benteng pertahanan. Didapatilah suatu tempat yang strategis,
letaknya dekat dengan kota Langsa sekarang. Lokasi pasukan Majapahit mendirikan
benteng tersebut, oleh masyarakat Aceh disebut dengan kata Manyak Pahit, yang berasal dari Majapahit. Kemudian, Manyak Pahit berubah menjadi
Manyak Payed.
Pasukan Majapahit yang menduduki wilayah
Manyak Payed ini, juga menjalankan kegiatan administrasi pemerintahan. Beberapa
wilayah di sekitarnya seperti Telaga Tujoh (Langsa), Aramiah, Bayeun, Damar
Tutong, dipaksa untuk mengakui kedaulatan kerajaan Majapahit yang berada di
Manyak Payed. Akan tetapi, karena perbedaan adat serta agama, maka pemerintahan
Majapahit di Manyak Payed ini tidak berjalan dengan lancar.
Kembali kepada tujuan penaklukan Tamiang,
diperintahkan oleh Gajah Mada utusannya untuk pergi ke pusat pemerintahan
kerajaan Tamiang di Benua untuk menghadap Raja Muda Sedia dengan misi utama meminang
Puteri Meuga Gema, mengakui kedaulatan Majapahit, sehingga upeti yang selama
ini dibayar kepada kerajaan Samudra Pasai beralih kepada Majapahit. Misi
terakhir adalah mengajak Raja Tamiang dan rakyatnya, untuk bersama-sama dengan pasukan
Majapahit menyerang kerajaan Samudra Pasai.
Permintaan utusan Gajah Mada ditolak oleh
Raja Muda Sedia. Penolakan tersebut disikapi oleh Gajah Mada dengan menyerang
kerajaan Tamiang melalui jalur laut, yakni melalui Kuala Besar disekitar daerah
Kuala Peunaga. Penyerangan via laut ini mendapat perlawanan dari angkatan laut
Tamiang yang dipimpin Laksamana Kantommana dibantu oleh tentara kerajaan Samudra
Pasai. Hasilnya, pasukan Majapahit berhasil dipukul mundur, dan mendirikan
pertahanan di sebuah pulau dekat Teluk Aru (Pangkalan Susu). Kuala dimana
kekalahan pasukan Majapahit, dinamakan Kuala
Raja Ulak. Ulak artinya “termundur”.
Kegagalan gelombang pertama penyerangan
Gajah Mada kepada Raja Muda Sedia, tidak menjadikan pasukan Majapahit patah
semangat. Mengingat pertahanan laut kerajaan Tamiang cukup kuat disekitar Kuala
Peunaga, maka serangan kedua dilancarkan dari alur-alur kecil yang sangat banyak
di hilir Tamiang. Guna memuluskan pergerakan kapal perang pasukan Majapahit,
salah satu alur sungai dilakukan pengerukan untuk membuat terusan, hingga
menembus ke Sungai Tamiang. Sungai atau terusan yang dibuat tersebut, dinamakan
Sungai Kurok Dalam. Kurok dalam bahasa Indonesia artinya keruk atau menggali.
Akibat dibuatnya terusan tersebut, maka
kapal-kapal pasukan Majapahit bisa mendekati pusat kerajaan Tamiang di Benua,
tanpa diketahui oleh angkatan laut Tamiang. Pasukan Gajahmada-pun didaratkan di
suatu wilayah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Benua, yakni di Kampung
Durian, guna melakukan penyerbuan dari darat. Pada saat perjalanan darat menuju
Benua, sebuah pembuluh madat (alat hisap candu) yang terbuat dari emas milik
Gajah Mada jatuh disebuah lubuk dan tidak dapat ditemukan kembali. Lubuk tempat
jatuhnya suling candu Gajah Mada itu, kemudian dinamakan Lubuk Bukit Batu Suling. Sekarang, nama wilayah tersebut dikenal dengan nama Bukit Suling.
Kemudian terjadilah peperangan antara
pasukan Majapahit dengan pasukan kerajaan Tamiang di sekitar kampung Landoh
(Landok). Panglima Perang Lela dari Landoh memberikan laporan kepada Raja Muda
Sedia bahwa pasukan Majapahit sudah mendekati pusat kerajaan Tamiang di Benua.
Laporan Panglima Perang Lela ini diacuhkan oleh Raja Muda Sedia dengan logika
pertahanan angkatan laut Tamiang yang sangat kuat di Kuala Tamiang, dan
sebelumnya telah terbukti berhasil memukul mundur armada Majapahit.
Akhirnya istana kerajaan Tamiang di Benua
dikuasai oleh pasukan Majapahit. Raja Muda Sedia dan permaisuri, berhasil
meninggalkan istana sebelum diduduki oleh pasukan Majapahit. Akan tetapi, Putri
Meuga Gema yang bersembunyi didalam sebuah Gong Besar Kerajaan berhasil ditawan
oleh prajurit Gajah Mada. Setelah membakar istana, dibawalah Puteri Meuga Gema kedalam
kapal Majapahit. Dalam perjalanan, kapal yang membawa Puteri Meuga Gema
mengalamai kerusakan (kebocoran), sehingga terpaksa berlabuh untuk diperbaiki.
Peristiwa ini diketahui oleh tunangan Puteri Meuga Gema yang berasal dari
kerajaan Samudra Pasai, bernama Tuanku Ampon Tuan. Dengan siasatnya, Putri
Meuga Gema berhasil dibebaskan dari tawanan Majapahit. Lokasi tempat pembebasan
Puteri Meuga Geuma tersebut, saat ini dinamakan Bukit Selamat.
Peristiwa
Serang Jaya
Informasi pendudukan pasukan Majapahit di
istana Benua, akhirnya sampai juga kepada Laksamana Kantommana. Pada saat kapal
Majapahit kembali ke hilir melewati Sungai Kurok, dengan maksud mencari Puteri
Meuga Gema, diserang oleh angkatan laut Tamiang dan sekutunya. Sisa kapal
perang Majapahit yang selamat mundur ke laut. Akan tetapi, oleh pasukan
Kantommana dan Samudra Pasai, tidak dilakukan pengejaran dengan asumsi kapal
perang Majapahit akan terus pulang ke Jawa.
Ternyata, di darat masih ada sepasukan
Majapahit yang terus melakukan pencarian akan keberadaan Puteri Meuga Gema.
Pasukan ini terus bergerak, dan membuat pertahanan didaerah yang berbukit-bukit
didekat Bukit Selamat. Sisa pasukan Tamiang yang ada di darat, oleh Mangkuraja
Muda Sidinu, dikonsolidasikan untuk melakukan pengejaran tehadap pasukan
Majapahit yang ada di darat. Terjadilah pertempuran antara pasukan Tamiang
dengan Majapahit, yang kemudian tempat tersebut dinamakan Serang Jaya, yang
artinya arena pertempuran yang mendapat kemenangan yang jaya. Serang Jaya
bermakna juga, bahwa pasukan Tamiang yang dibantu Samudra Pasai dan Aru tidak
mundur, sehingga menimbulkan korban nyawa di kedua belah pihak.
Peristiwa Serang Jaya ini bukan akhir dari
peperangan Tamiang dan Majapahit. Karena, masih ada sisa pasukan Majapahit di
markas yang didirikan untuk mencari Puteri Meuga Geuma. Demikian juga dengan tentara
laut Majapahit, masih ada yang bertahan di sekitar Teluk Aru. Sisa pasukan
Majapahit ini, kemudian mendapat bantuan pasukan yang datang dari Majapahit
setelah peristiwa Serang Jaya. Pasukan Majapahit yang baru tiba ini, dibekali
dengan peralatan lengkap, dan prajuritnya memakai baju besi. Tempat pendaratan
pasukan Majapahit kemudian dinamakan Pangkalan Susor. Pangkalan Susor ini,
kemudian disebut sebagai Pangkalan Susu saja. Pasukan Majapahit yang berbaju
besi ini kemudian mendirikan tempat pertahanan di suatu daerah, yang kemudian
dinamakan Besitang, yang artinya “tentara berbaju besi datang”.
Akhir
Ekspansi Majapahit di Tamiang
Pasukan bantuan Majapahit yang didaratkan di
Pangkalan Susu dan membuat pertahanan di Besitang, akhirnya diserang oleh
tentara gabungan Tamiang, Samudra Pasai dan Aru. Pertempuran ini mengakibatkan
korban jiwa yang tak sedikit. Konon korban yang tewas tidak lagi dikuburkan,
hanya ditumpuk atau dikumpulkan saja seperti tumpukan kayu. Daerah atau
lokasi timbunan atau tumpukan korban
tewas ini kemudian dinamakan “Kampung Tambun Tulang”, yang artinya bekas timbunan tulang orang yang tewas pada
zaman dahulu.
Melihat perlawanan yang diberikan oleh
kerajaan Tamiang dengan sekutunya, ditambah kegagalan pemerintahan Majapahit di
Manyak Payed yang tidak mendapat dukungan dari wilayah sekitarnya, Gajah
Mada-pun memutuskan untuk kembali pulang ke Majapahit di Jawa. Guna menutupi kegagalan
ekspedisi penaklukan Samudra dan Tamiang, cukup banyak dibawa orang-orang yang
berasal dari Tamiang dan Aru sebagai tawanan. Satu ciri khas yang menandakan
keturunan Tamiang yang ada di Jawa, yaitu jika ada perempuan Jawa yang memakai
Subang (kerabu) Tanduk yang bertahtakan perak, emas atau batu mulia, diyakini
sebagai keturunan Tamiang yang ada di Jawa, yang dulunya ditawan oleh pasukan
Gajah Mada.
Penutup
Paling tidak, dari uraian di atas tersedia
informasi ikhwal adanya wilayah yang bernama Manyak Payed di Kabupaten Aceh
Tamiang berkaitan dengan ekspansi Majapahit ke Samudra Pasai dan Tamiang pada
abad ke XIV. Secara gramatikal, sebutan Manyak Payed identik dengan Majapahit. Jejak
sejarah Majapahit di Aceh Tamiang ini, jika dilakukan penelitian lanjutan
secara serius, dipastikan akan menjawab teka-teki, bagaimana korelasi antara
Tamiang dan Majapahit. Jika nantinya memang terbukti bahwa jejak sejarah
Majapahit memang diakui secara keilmuan adalah benar adanya, maka situs-situs
sejarah Majapahit yang ada di Aceh Tamiang dan sekitarnya, dapat dijadikan
sebagai salah satu destinasi wisata sejarah. Selain itu, tentu saja akan
memperkaya khazanah pengetahuan dibidang sejarah, bahwa jejak Majapahit, ada di
Aceh Tamiang.
*Tulisan ini pernah dimuat pada Tabloid Berita Merdeka, Banda Aceh, Edisi 010, 1-7 Februari 2016.
Sumber:
- http://id.m.wikipidia.org/wiki/Kakawin_Negarakretagama, diakses pada
12 Januari 2016.
- H.M. Zaenuddin. 1961. Tarich
Atjeh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda. Medan.
- Slamet Muljana. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam Nusantara. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.