Friday, February 12, 2016

Pok Ame-Ame di Tamiang, Menangguk Fulus Jalan Dua Jalur Tak Mulus

Siapa yang tak kenal lagu "Pok Ame-Ame". Lagu yang kerap dinyanyikan semasa kecil, sambil bertepuk tangan. Lagu ini dinamakan juga lagu sajak berirama untuk anak-anak (liriklaguanak.com). Mengenai siapa pencipta lagu pok ame-ame, sampai saat ini saya belum mengetahuinya. Menurut saya, pok ame-ame bisa juga "tepuk tangan beramai-ramai atau bersama-sama".

Tetapi, pok ame-ame kali ini adalah ungkapan untuk menggambarkan prilaku "rampok rame-rame atau berjamaah" yang terjadi di bumi Muda Sedia atau Aceh Tamiang. Ya, rampok kali ini memang sudah sangat keterlaluan, dilakukan dengan benar-benar sistematis, terstruktur dan masif, sehingga merusak "sendi-sendi kehidupan" warga Tamiang.

Terstruktur artinya bahwa pok ame-ame, selain dilakukan oleh pelaku non aparatur negara, juga dilakukan dengan melibatkan aparat pemerintah. Termasuk juga dalam hal ini adalah, dengan sengaja melakukan pembiaran atau menutup mata atas kejahatan pok ame-ame yang dilakukan (impunity). 

Sistematis artinya, bahwa kejahatan pok ame-ame ini disusun secara sengaja dan direncanakan oleh pelaku. Sedangkan massif diartikan pok ame-ame dilakukan secara massal atau berjamaah terhadap hampir seluruh hak, layanan atau fasilitas yang semestinya diterima oleh warga, yang salah satu wujud nyatanya adalah anggaran negara.

Merujuk istilahnya saja, pok ame-ame sudah mendeskripsikan jika pelaku kejahatan ini lebih dari satu pelakunya (deelneming).  Akan tetapi, meski dilakukan beramai-ramai, belum tentu para pelaku merupakan satu kelompokPelaku bisa saja pemain tunggal tetapi melakukan aktivitas multi rampok (concursus). 

Korban Pok Ame-Ame
Selain negara, rakyat sudah tentu menjadi korban kejahatan pok ame-ame ini. Lihat saja kasus kupak-kapik ruas jalan dua jalur yang berada di depan kantor Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang. Proyek yang menggunakan uang negara ini, sampai berakhirnya masa kontrak hingga perpanjangan, jalan yang dinantikan tak kunjung selesai. Yang tersisa adalah  jalan yang berlubang, berbatu penuh debu. Jika hujan turun, banjir genangan plus becek dipastikan datang. PT Tamitana sebagai pelaksana sudah tak tampak lagi batang hidungnya. 

Warga yang melintas pun harus ekstra hati-hati. Lengah sedikit, bisa-bisa celaka tiba. Rakyat yang seharusnya bisa menikmati kenyamanan berkendara dan berlalu lintas, telah menjadi korban pok ame-ame jalan dua jalur. Hak atas udara bersih, bebas debu, jalan yang mulus dan tidak becek,  dirampok oleh penjahat pok ame-ame ini. Ungkapan yang pas adalah "Jalan mulus tak tercipta, fulus negara hilang percuma, rakyat yang merana".

Meski yang melintas dijalan tersebut bukan hanya warga saja, tetapi termasuk aparatur penyelenggara pemerintahan. Tetapi, ya itu tadi, hukum tak berdaya. Hukum yang diharap tajam, terlihat sangat tumpul. Bukankah seharusnya negara bertindak represif terhadap penjahat pok ame-ame ini?  Padahal, mulai dari aparat penegak hukum, birokrat pemerintahan, termasuk bupati, wakil bupati, anggota DPRK, hingga tentara, dipastikan pernah menikmati betapa buruknya tampilan dan kualitas ruas jalan dua jalur ini. Akhirnya, rakyat Tamianglah yang menjadi korban langsung.

Melawan Pok Ame-Ame
Sebagaimana disebut di atas, kejahatan pok ame-ame ini merupakan kejahatan berjamaah. Oleh karenanya, untuk melawannya-pun mesti dilakukan secara berjamaah pula, plus dukungan sistem "yang benar". 

Meminjam teori sistem-nya Lawrence M. Friedmann, yang mengatakan bahwa sistem itu ibarat segitiga yang terdiri  dari sub-sistem yang notabene adalah satu kesatuan, yakni: subtansi, struktur dan kultur, maka melawan pok ame-ame, dapat menggunakan pendekatan sistem tersebut. Subtansi adalah produk hukum (peraturan perundang-undangan). Struktur adalah aparatur negara. Sedangkan kultur adalah masyarakat yang berhukum. 

Jadi, pok ame-ame ini baru bisa diberangus jika secara subtansi yang telah mengatur tentang kejahatan dilaksanakan oleh aparatur negara, dan didukung oleh mayarakat yang sadar dan peduli akan hukum. Jika peraturan bagus, tetapi aparatur penegak hukum lemot, plus masyarakat yang tidak peduli, maka dipastikan pok ame-ame ini akan kekal abadi. Demikian pula sebaliknya, jika hukum jelek, tetapi aparat dan masyarakat baik, maka pok ame-ame masih bisa dilenyapkan. Intinya, ketiga sub sistem ini mesti saling mendukung dan sama porsinya untuk dilaksanakan.

Pada kasus pok ame-ame jalan dua jalur, sub sistem subtansi (peraturan) tentang pelaksanaan proyek pemerintah sudah jelas aturan mainnya. Masyarakat Tamiang juga sudah bagus kesadaran berhukumnya, terbukti beberapa aksi  protes warga pada saat proses pembangunan ruas jalan dua jalur ini. Tetapi, rentang birokrasi yang panjang, ditambah status jalan nasional yang masih menjadi urusan pusat, menjadi kesempatan kejahatan pok ame-ame ini terjadi. Kontraktor pelaksana jalan sebagai bagian dari masyarakat juga "nakal" dan ambil kesempatan. Dan yang paling parah adalah pengawasan dan penegakan hukum dari aparatur negara yang "tumpul" untuk mencegah serta menangani kejahatan pok ame-ame jalan dua jalur di Tamiang ini.

Dari mana memulainya? Jika masalahnya pada subtansi, maka peraturannya yang dievaluasi dan diperbaiki. Jika aparatur penegak hukumnya yang lemot, maka fungsi pengawasan dan pengendalian internal yang mesti ditingkatkan. Jika masalahnya ada pada masyarakatnya, maka strategi untuk meningkatkan daya kritis dan pemahaman berhukum yang baik, yang mesti diadakan. 







No comments:

Post a Comment