Wednesday, February 17, 2016

Tak Ada Tap-Tap, Kecuali Chap

Diskusi ala warung kopi, sore tadi "cukup panas" rupanya. Seorang teman, sebut saja namanya "Jack", protes. " Sekarang tidak ada yang namanya, tap tap tap baru chap. Iya kalau tap-nya sukses. Kalo gagal, chap-pun good bye, alias selamat tinggal". Menurutnya, yang betul itu "chap, chap, chap, chap..... jangan sampai tap". Maksud loh....? ya itu, tap terakhir itu kena OTT-nya kapeka. Hahahaha... Ada-ada aja si Jack ini.

Bagi yang masih bingung, kata " tap" disini dimaksudkan mewakili ungkapan proses, perbuatan, atau bisa juga prolog/pembukaan dalam melakukan kesepakatan. Kesepakatan itu macam-macam, bisa dalam ranah bisnis, urusan pangkat jabatan, proyek, hingga deal politik.

Sedangkan "chap" bisa dimaknai sebagai  uang kontan (cash money), barang, atau jasa. Istilah chap ini dulunya berasal dari masa Aceh tempo doeloe, dimana Sultan Aceh menggunakan segel kerajaan (stempel), yang didalamnya termuat nama-nama sembilan (sikureung) sultan Aceh yang pernah memerintah.

Bagi wilayah kerajaan lain yang telah ditaklukan oleh kerajaan Aceh, oleh Sultan Aceh, sang raja taklukan, diberikan hak untuk memerintah wilayahnya dan mengutip pajak guna membayar upeti ke Kuta Raja. Wujud desentralisasi tersebut, diberikan dalam bentuk replika "Chap Sikureung". Jadi chap itu identik dengan upeti, pajak atau uang.

Tebar Chap, Tabur Pesona
Akhirnya, musim pilkada tiba juga. Secara nasional, perhelatan ini akan digelar tanggal 15 Februari 2017. Demikan juga di Aceh Tamiang. Jadi, bila dihitung, tak sampai 365 hari lagi.

Meski ajang pencoblosan masih setahun lagi, beberapa kandidat yang bakal tampil-pun sudah mulai melakukan siasat " tebar chap, tabur pesona". Paling tidak, setiap mampir di warung kopi, "chap" berupa traktir minum kopi, juice, mie Aceh, hingga rokok, "terkoyak" juga dari saku celana.

Chap yang diberikan itu, tentu bukan "gratis" sifatnya. Dibalik itu semua, terkandung harapan besar untuk mendukung dirinya, bilamana tampil sebagai kontestan dalam pilkada yang akan datang.

Chap ini akan terus meningkat intervalnya, seiring makin dekat hari-H. Apalagi pilkada kali ini hanya satu ronde saja. Masyarakat (pemilih) yang saban kali dijadikan "objek" demokrasi yang keblabasan, akan mengambil kesempatan. "Tak ada chap, tak ada suara". Hubungan yang dibangunpun hanya sebatas patron-klien. Jadi, siapa yang kuat tebar chap, plus tabur pesona di khalayak, kemungkinan bisa tampil sebagai juara. Juara chap maksudnya. :-)

Chap = Money Politic?
Pertanyaannya adalah apakah strategi chap yang dilakukan bakal calon kepala atau wakil kepala daerah ini, bisa disebut sebagai politik uang atau money politic? Menurut saya, chap ini tidak serta merta dipersamakan dengan money politic.

Jika chap tersebut masih dalam " batas-batas" yang normal seperti traktir makan, minum, atau rokok di warung kopi, kepada teman atau warga, adalah sah-sah saja. Tetapi jika telah memberikan rumah makan beserta isinya, pabrik air minum atau pabrik rokok, tentu sudah keterlaluan. Keterlaluan mahal  maksudnya. Kalau kita sih pasti menerima dengan lapang dada. Yang memberi pasti sesak napasnya.

Kalau money politic, merujuk kepada Pasal 73 ayat (1) UU No. 1/2015, disebutkan: "calon dan/atau tim kampanye dilarang memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih".

Beberapa kasus sengketa pilkada di emka (baca: Mahkamah Konstitusi) terkait money politik memang ada. Si Pemohon harus bisa membuktikan jika money politic ini memenuhi unsur TSM alias terstruktur, sistematis dan massif. Selain itu harus dibuktikan, bahwa dengan chap atau money politic itu si pemilih benar-benar terpengaruh dan memilih calon yang melakukan chap tadi. Pembuktiannya pun, meski secara kuantitatif dan kualitatif. Jika tidak, akan diabaikan oleh majelis hakim emka.

Tetapi, pada kasus " Chap Akil Mochtar", urusan chap-menchap inipun sampai juga kepada hakim konstitusi. Sayangnya tertangkap KPK. Inilah yang disampaikan oleh si Jack teman saya tadi "chap, chap, chap, chap...........TAP!"... Ada-ada saja, dan ini Temieng punye cerite.

No comments:

Post a Comment