Tuesday, February 9, 2021

Menyoal Aspek Yuridis Seleksi Direksi PDAM Tirta Tamiang

Bulan Januari 2021 ini, merupakan bulan keenam paska dilantiknya Direksi (Direktur) PDAM Tirta Tamiang sejak awal Agustus 2020 lalu. Tetapi, proses seleksi tersebut tak disangka menorehkan jejak buram dipelaksanaannya. Proses seleksi yang semestinya dilakukan dengan jujur dan fair, berubah warna menjadi dagelan yang diduga mengandung cacat yuridis.

Cacat yuridis ini baru diketahui setelah kasak-kusuk terkait kritik Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang, mengenai dasar hukum pelaksanaan seleksi. Panitia Seleksi menurut DPRK Tamiang telah melupakan Qanun Aceh Tamiang No. 8 Tahun 2010 tentang Pendirian PDAM Tirta Tamiang, yang diubah melalui Qanun No. 6 Tahun 2018.

Bupati Aceh Tamiang pun menampik, bahwa perekrutan direktur baru PDAM Tirta Tamiang kali ini, mengacu kepada PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD dan Permendagri No. 37 Tahun 2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Pengawas atau Anggota Komisaris dan Anggota Direksi BUMD.

Tulisan ini, tidak membahas aspek yuridis formiil maupun materiel terkait seleksi Direksi PDAM Tirta Tamiang berdasarkan Qanun No. 6 Tahun 2018. Tetapi, mengikuti irama Pansel yang mengacu kepada Permendagri No. 37 Tahun 2018, khususnya ketentuan mengenai syarat untuk bisa menjabat sebagai Direksi PDAM Tirta Tamiang.

Utak-Atik Syarat Direksi

Panitia Seleksi melalui pengumuman No. 01-Pansel/CDPTT/2020, bulan Juli 2020, yakni pada poin 9, disyaratkan untuk menjadi Direksi PDAM Tirta Tamiang diharuskan memiliki pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun baik di pemerintahan/perusahaan berbadan hukum dibidang manajerial dan pernah memimpin tim.

Sekilas, syarat pada poin 9 ini tidak ada masalah alias baik-baik saja. Tetapi tunggu dulu. Jika merujuk kepada Permendagri No. 37 Tahun 2018, tepatnya pada Pasal 35 huruf i, disebutkan untuk dapat mengikuti seleksi Direksi BUMD, termasuk sebagai Direktur PDAM, disyaratkan memiliki pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun di bidang manajerial perusahaan berbadan hukum dan pernah memimpin tim.

Artinya, telah terjadi praktik utak-atik syarat. Syarat untuk menjadi Direksi PDAM yang tadinya harus memiliki pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun di bidang manajerial perusahaan berbadan hukum dan pernah memimpin tim, menjadi syarat pilihan dengan menambahkan kata pemerintahan beserta garis miring yang diartikan sebagai atau.

Memang hanya satu kata dan satu tanda baca berupa garis miring saja. Tetapi dampaknya sangat berbeda. Calon Direksi yang tidak memiliki pengalaman 5 (lima) tahun di bidang manajerial perusahaan berbadan hukum, bisa ikut kontestasi. Terbukti, Direksi yang diloloskan oleh Pansel yang kemudian di SK-kan oleh Bupati, adalah mantan anggota legislatif selama 3 (tiga) periode atau 15 (lima belas) tahun. Kapan pula punya pengalaman bekerja di perusahaan selama 5 (lima) tahun?

Perbandingan di Daerah Lain

Tentu kita bertanya pula, bagaimana praktik seleksi Direksi PDAM di daerah lain. Apakah mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 37 Tahun 2018 atau seperti apa? Paling tidak, kita bisa melihat persyaratan Direksi PDAM yang buat oleh masing-masing Pansel.

Misalnya proses seleksi Calon Direktur Utama PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara. Pada pengumuman No. 06/Pansel-BUMD/2020, dipersyaratan umum pada angka 7, disebutkan syarat untuk menjadi Direktur Utama PDAM Tirtanadi adalah pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun dibidang manejerial perusahaan berbadan hukum dan pernah memimpin tim.

Atau kita bisa membandingkan dengan kabupaten tetangga, yakni Pidie Jaya. Pengumuman Pansel Nomor: 01/PANSEL/2020 tentang Penerimaan Calon Direktur PDAM Tirta Krueng Meureudu tahun 2020, disebutkan persyaratan pada huruf b angka 7, untuk menjadi Direktur Utama adalah memiliki pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun dibidang manejerial perusahaan berbadan hukum dan pernah memimpin tim yang dibuktikan dengan surat keterangan (referensi) dari Perusahaan tempat bekerja sebelumnya.

Baik pengumuman Pansel di provinsi Sumatera Utara atau di Kabupaten Pidie Jaya, keduanya mengadopsi ketentuan Pasal 35 huruf i Permendagri No. 37 Tahun 2018. Jadi, tidak melakukan utak-atik, yang merubah makna dan klausul pasal. Sehingga, apa yang terjadi dengan Pansel penerimaan Direksi PDAM Tirta Tamiang, layak diragukan legalitas dan validitasnya.

Konsekuensi Hukum

Perbuatan Pansel yang sengaja merubah klausul Pasal sebagaimana tertera dalam Permendagri No. 37 Tahun 2018 adalah perbuatan tak pantas dan melampaui kewenangannya. Dugaan bahwa proses seleksi penuh dengan itikad tak baik dan permufakatan jahat, layak disandingkan. Perselingkuhan untuk meloloskan individu yang tidak memenuhi syarat, memang sudah direkayasa sedari awal.

Padahal, Permendagri No. 37 Tahun 2018 memang sengaja diciptakan sebagai pedoman atau landasan hukum, baik formiil maupun materiel, dalam penyelenggaraan seleksi Direksi PDAM. Perbuatan yang tak lazim ini berdampak kepada cacat yuridis yang menimbulkan konsekuensi hukum dikemudian hari. Pembatalan atau pencabutan atas keputusan pengangkatan Direksi PDAM Tirta Tamiang, adalah salah satunya.

Selain itu, menurut Penulis aparat penegak hukum sudah dapat kiranya melakukan upaya justitia atas fenomena ini. Karena, dugaan perbuatan curang ini sudah dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 416 KUHP.

Pansel yang nota bene adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas untuk menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja telah memalsu atau merubah syarat yang khusus ditujukan untuk pemeriksaan administrasi calon Direksi PDAM. Jadi, unsur dari Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 416 KUHP pun telah terpenuhi. Tidak perlu terjadi adanya kerugian negara disini. Apalagi sifatnya bukanlah sebagai delik aduan. Aparat penegak hukum pun sudah bisa langsung bertindak.

Sanksi hukumanya adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Penutup

Beranjak dari uraian sebagaimana di atas, maka sudah selayaknya Bupati Aceh Tamiang mencabut atau membatalkan SK Pengangkatan Direksi PDAM Tirta Tamiang serta melakukan seleksi ulang. Aparat penegak hukumpun jangan ragu untuk bertindak. Karena peristiwa ini, terang benderang terjadi didepan mata. Perlu efek penjera sehingga kejadian serupa tidak terulang dikemudian hari.

Hal ini penting, karena apa yang dipraktekkan pada proses seleksi Direksi PDAM Tirta Tamiang, telah bertentangan dengan tujuan Pemerintah untuk menyelesaikan ragam masalah terkait BUMD di Indonesia.

BUMD kita saat ini, dianggap masih belum memiliki etos kerja, terlalu birokratis, inefisien, kurang memiliki orientasi pasar, tidak memiliki reputasi yang baik, profesionalisme yang rendah, dan masih banyak intervensi yang berlebihan terhadap BUMD oleh Pemerintah Daerah, serta ketidakjelasan antara menghasilkan profit dan di sisi lain dituntut untuk menjalankan fungsi sosial terhadap masyarakat.

Akibatnya, BUMD tidak fokus terhadap misi utamanya. Dampak yang lebih buruk juga dapat terjadi. Jika sesuatu hal dimulai dengan cara-cara melawan hukum, dipastikan akan menimbulkan praktek-pratek manipulatif dan koruptif dikemudian hari. Tentunya ini bukanlah hal yang kita harapkan atau dicita-citakan.

Tulisan ini sudah terbit di:
https://www.google.com/amp/s/amp.dialeksis.com/analisis/menyoal-aspek-yuridis-seleksi-direksi-pdam-tirta-tamiang/

Menanti Sekretaris Negeri Muda Sedia

Jika tidak ada aral melintang, di tahun 2021 nanti,  negeri Muda Sedia atau Kabupaten Aceh Tamiang, akan memiliki seorang Pejabat Tinggi Pratama baru, jabatan setingkat eselon IIa, sebagai Sekretaris Daerah. Proses seleksinya pun sudah hampir final. 

Dari lima nama yang lulus seleksi administrasi, panitia seleksi telah memilih tiga nama sebagai calon Sekretaris Daerah Kabupaten.  Mereka ini diusulkan kepada Gubernur Aceh, agar ditetapkan seorang diantaranya menjadi Sekretaris Daerah definitif. Ketiga nama tersebut adalah Ir. Adi Darma, M. Si, Drs. Asra dan Drs. Sepriyanto.

Secara pribadi, Penulis mengenal ketiga nama tersebut. Ir. Adi Darma, M.Si atau biasa disapa ”Abu”, Penulis kenal sejak di Bappeda Aceh Tamiang, hingga Asisten, dan menjabat juga sebagai Plt. Sekretaris DPRK. Sedangkan Drs. Asra, adalah mantan Camat yang saat ini duduk sebagai Inspektur Kabupaten Aceh Tamiang. Terakhir adalah Drs. Sepriyanto, yang juga mantan Camat, dan sekarang sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Aceh Tamiang. 

Ketiganya adalah birokrat hebat dan layak untuk menduduki jabatan tersebut. Menurut Penulis, siapapun nantinya yang ditetapkan, akan mampu membantu Bupati dalam menyusun kebijakan, mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan yang ada di kabupaten Aceh Tamiang, serta mampu melakukan pembinaan terhadap Pegawai Negeri Sipil atau ASN. Tulisan ini, tidak ditujukan untuk menilai kemampuan para calon Sekretaris Daerah, tetapi lebih kepada dinamika yang terjadi pada saat proses pemilihannya.

Dinamika Pemilihan Sekda di Aceh Tamiang

Dinamika pertama adalah mengenai persyaratan jangka waktu pernah menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (eselon II.b) atau Jabatan Fungsional jenjang Ahli Madya. Pada pengumuman pertama oleh panitia seleksi, disyaratkan paling singkat 2 (dua) tahun sejak dilantik. Tetapi, pada pengumuman kedua, syarat jangka waktu ini, didiscount menjadi paling singkat selama 1 (satu) tahun saja oleh panitia seleksi.

Dinamika selanjutnya adalah mengenai dasar hukum pelaksanaan seleksi. Dimana norma hukum yang dijadikan landasan adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka Dilingkungan Instansi Pemerintah. 

Padahal, ada PP No. 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, sebagai pelaksanaan Pasal 107 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dinamika terakhir adalah adanya somasi tertulis yang dilayangkan oleh seorang warga masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang, bernama M. Hanafiah, mengenai dasar hukum seleksi Sekretaris Daerah kali ini, dikaitkan dengan proses pemilihan atau pengangkatan Sekretaris Daerah sebelumnya, yang tidak dilakukan melalui proses seleksi terbuka, dan berlandaskan kepada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2009.

Syarat Terkait Pengalaman Jabatan dan Waktu

PP No. 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh,  memang tidak mensyaratkan ukuran waktu menjadi patokan, tetapi lebih kepada pengalaman pernah menduduki minimal 2 (dua) posisi jabatan setara eselon II b yang berbeda. Pada Pasal 3 ayat (3) huruf d, disebutkan “sekurang-kurangnya pernah menduduki 2 (dua) jabatan struktur eselon IIb yang berbeda”.

PP No. 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri, yang merupakan turunan dari  UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pada Pasal 107 huruf c angka 4, disebutkan syarat untuk menjadi Sekretaris Daerah kabupaten adalah: “sedang atau pernah menduduki Jabatan Administrator atau Jabatan Fungsional (JF) jenjang ahli madya paling singkat 2 (dua) tahun”. 

Demikian juga pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tingi Secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah, pada bagian B. Pelaksanaan,  angka 3) JPT Pratama, huruf d) disebutkan “sedang atau pernah menduduki Jabatan administrator atau JF jenjang ahli madya paling singkat 2 (dua) tahun”. Peraturan menteri ini berlaku sejak 29 Juli 2019 dan mencabut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 13 Tahun 2014.

Artinya, baik pada PP No. 17 Tahun 2020  dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2019, selain mensyaratkan pernah atau sedang menduduki jabatan fungsional jenjang ahli madya, agar dapat menjadi Sekretaris Daerah, terdapat syarat jangka waktu menjabat jabatan tersebut minimal selama 2 (dua) tahun yang harus dipenuhi. 

PNS di Aceh Bagian Sistem PNS Nasional

Pasal 118 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil di Aceh merupakan satu kesatuan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional. Artinya, urusan penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah, adalah sama dengan yang berlaku secara nasional, baik norma, standar dan prosedurnya.

Termasuk urusan pemilihan Sekretaris Daerah. Selain tunduk kepada norma hukum yang telah diatur khusus didalam UU No. 11 Tahun 2006, juga mengikuti juga ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut, seperti PP No. 17 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2019.

Artinya,  syarat menjadi Sekretaris Daerah di Aceh lebih “berat” dibandingkan menjadi Sekretaris Daerah  diluar Provinsi Aceh. Karena, selain ikut ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 2006, juga ditambah syarat lain yang diatur dalam perundang-undangan lain terkait. Misal syarat menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten, selain pengalaman pernah menduduki jabatan setingkat Eselon II b di dua tempat yang berbeda, ditambah lagi syarat jangka waktu menduduki jabatan tersebut minimal 2 (dua) tahun.

Penutup

Lantas apakah perbuatan panitia seleksi yang secara sengaja memberikan potongan persyaratan jangka waktu dari 2 (dua) tahun sebagaimana  diatur dalam PP No. 17 Tahun 2020  jo.  Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2019, menjadi 1 (satu) tahun, serta landasan hukum pemilihan calon Sekretaris Daerah kabupaten yang mengabaikan PP No. 58 Tahun 2009, yang nota bene lahir dari Pasal 107 UU No. 11 Tahun 2006, adalah suatu perbuatan yang melawan hukum atau diluar kelaziman, dan nantinya berakhir menjadi sengketa tata usaha negara?

Tentu kita jangan berprasangka buruk terlebih dahulu. Meski ada alasan rasional yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Jika dapat menduga-duga, tetapi dalam kerangka berpikir positif, mungkin hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para Aparatur Sipil Negara yang berada di Kabupaten Aceh Tamiang, agar tampil mengikuti kontestasi pemilihan Sekretaris Daerah, tetapi masih terganjal syarat. Baik syarat dalam PP No. 58 Tahun 2009, maupun syarat dalam PP No. 17 Tahun 2020 jo. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2019.

Tetapi, jika cara-cara yang ditempuh dilakukan dengan melawan hukum atau diluar kelaziman, tentunya tidak dapat dibenarkan dan menyisakan konsekwensi hukum dikemudian hari. Apapun ceritanya, keputusan Gubernur Aceh yang akan menetapkan Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tamiang, maka keputusan tersebut adalah suatu keputusan yang mengikat dan valid, sepanjang tidak ada keputusan hukum yang membatalkannya. Kecuali, jika Gubernur Aceh bisa menenggarai adanya tanda-tanda tak sedap dan mengambil keputusan lain, tentu akan lain pula ceritanya terhadap kisah sekretaris di negeri Muda Sedia. 

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tulisan ini sudah terbit di:
https://www.google.com/amp/www.ajnn.net/news/menanti-sekretaris-negeri-muda-sedia/amp.html