Thursday, February 23, 2017

Matematika Pilkada

Ajang pemilihan kepala daerah (pilkada)  baru saja digelar pertanggal 15 Februari lalu. Perhelatan 5 tahunan ini menyisakan kekecewaan bagi paslon yang belum berhasil. Sedangkan bagi pemenang, dipastikan menyambutnya dengan suka cita, riang gembira.

Ada fenomena menarik terkait pilkada tempo hari. Ternyata, kekuasaan, tim pemenangan, program kerakyatan, mesin partai, polling yang gemilang,  kampanye tumpah ruah, hingga uang, tidak menjadi jaminan memenangkan pilkada.

Demikian juga dengan Aceh Tamiang. Kabupaten yang baru berusia 15 tahun, telah pula memilih pasangan calon yang akan memimpin selama 5 tahun kedepan. Jika tidak ada aral melintang, pasangan Mursil-Tengku Insyafuddin,  bakal menduduki jabatan bupati-wakil bupati terpilih.

Logika Matematika
Ada logika matematika pada pilkada kali ini. Operasi penambahan, perkalian,  pengurangan, hingga pembagian, muncul kepermukaan, sebagai fenomena yang menarik diperbincangkan.

Fenomena pertama adalah penambahan. Urusan tambah-tambah ini menjadi suatu yang krusial. Jika penambahan suara terhadap paslon meningkat, tentu ini yang didambakan. Tetapi, jika yang bertambah adalah biaya operasional,  proposal permintaan beragam kegiatan, atau bertambahnya dukungan ke kubu lawan, tentu ini yang dihindari.

Pada pilkada Aceh Tamiang,  yang tadinya paslon berjumlah 4 pasang,  bertambah menjadi 5 pasang.  Hal terakhir adalah, bertambahnya paslon Lukman-Manaf seiring diterimanya permohonan mereka di Mahkamah Agung, karena sebelumnya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat sebagai paslon.

Fenomena kedua adalah terkait kali-kali. Setiap paslon tentu punya kiat dan strategi dalam kali-kali memenangkan pilkada. Ada yang memanfaatkan kekuasaan dengan menggerakkan struktur pemerintahan hingga ke tingkat kampung. Ada yang ber-kali-kali mengadakan kenduri ditiap kecamatan. Ada juga yang ber-kali-kali mengatakan akan segera mendatangkan dana dari pusat,  5 hari setelah memenangkan pilkada Aceh Tamiang.

Fenomena selanjutnya adalah pengurangan. Setiap paslon pasti tidak mendambakan perolehan suara mereka berkurang dan berakhir fatal dengan kekalahan. Pengurangan suara pasti dihindari. Tetapi pengurangan anggaran, jika tidak, mengapa tak berhemat,  meski sadar taruhannya adalah perolehan suara dihari pemilihan.

Strategi pengurangan anggaran ini, yang pada akhirnya telah mengantarkan salah satu paslon, kehilangan kemenangannya. Pihak yang terlanjur dijanjikan, kecewa dan berbalik arah dengan mendukung paslon yang "menambahkan" anggaran untuk pemenangannya.

Fenomena "pembagian" adalah yang paling menarik. Pembagian disini bisa bermakna macam-macam. Mulai pembagian barang tertentu, hingga pembagian sejumlah uang.

Meski politik bagi-bagi uang dilarang oleh undang-undang, tetapi prakteknya masih ditemukan pada pilkada Aceh Tamiang. Terbukti, ada yang tertangkap dan laporan pandangan mata dari masyarakat, penerima pembagian uang.

Politik pembagian ini pun ada juga dibungkus dengan samaran "saksi di luar TPS". Caranya adalah, dengan merekrut sejumlah orang pada TPS yang bersangkutan, untuk dijadikan saksi paslon, dan tentunya diberikan sejumlah identitas seperti kartu pengenal, SK dan tentu saja uang.

Terbukti, strategi "operasi pembagian" masih menjadi senjata ampuh meraup suara. Terbukti juga, paslon lain yang gagal menjalankan skenario bagi-bagi ini, gagal memenangkan pilkada kali ini.

Fenomena pembagian ini tidak akan berhenti begitu pilkada usai. Malah akan terus berlanjut begitu paslon menjadi bupati-wakil bupati definitif. Sejumlah donatur hingga tim sukses akan menuntut juga "pembagian rezeki" atas jasa yang sudah ditanam.

Perlu diingat juga,  bahwa dana operasional untuk operasi pembagian bukan "kotak amal alias sedekah jariyah". Tidak ada makan siang yang gratis. Artinya, cost yang sudah dikeluarkan,  harus setimpal dengan income yang akan dituai. Inilah alasan, bahwa politik bagi-bagi uang memang dilarang.

Cerita fenomena matematika pada pilkada memang tak ada habisnya. Apa yang telah terjadi, dapat dijadikan pembelajaran, bahwa fenomena matematika memang betul adanya. Jika siap "ber-mate-matika", maka silahkan ikut pilkada.