Thursday, November 6, 2014

Reinventing Identity

Siapa aku? 
Dari mana aku berasal?
Mengapa aku bisa seperti ini?
Apa tujuan hidupku di dunia ini?
Apa yang sudah kutinggalkan di dunia ini?
Bagaimana aku akan mengisi sisa umur ku?
Apakah aku sudah membahagiakan orang yang didekat ku?
Apa yang kutinggalkan untuk orang yang menyayangi ku?
Apa yang telah ku persiapkan untuk menghadapi sarakatul maut?
Amal apa yang telah kutabung untuk kehidupan ku di akhirat?
Berapa banyak dosa yang telah ku perbuat?

Ya Allah, berilah aku kekuatan untuk menghadapi ujian ini. Luluskan aku dengan nilai terbaik Mu ya Allah. Ya Allah jadikan aku penghuni surga Mu. Jaga aku ya Allah untuk selalu amanah, jujur, tidak sombong, tidak angkuh, selalu mau belajar, sabar, sehat, akal pikiran yang jernih, tidak zalim, dan setia. 

Ya Allah, bukakanlah pintu rizki dan hidayah Mu selalu untuk ku.

Petarung dan Pengecut

Macam-macam type manusia. Ada yang petarung dan ada yang pengecut. Petarung sejati jika menemukan rintangan akan dihadapinya. Meski harus mundur selangkah, tapi tetap akan menyerang jika keadaan memungkinkan. Mundur selangkah, bukan menyerah bung!

Pengecut selalu menghindar dan lari jika menemukan rintangan. Prinsip yang dipegang adalah "yang penting aman" atau "ya sudahlah..." Atau selalu berkata "Ah itukan cuma retorika".... Yang jadi pikir ku adalah, bacaannya inspiratif banget. Kisah si anak singkong. Si Penulis pasti sebal juga kalo tahu yang baca bukunya ternyata nggak ngaruh bro.... Ya itu tadi, tipikal pengecut sih.

Ya, type  ini yang jamak aku temukan dalam satu bulan ke belakang. Mau diajak maju kok susah banget ya. Mungkin semua ini akibat mengukur dalam sungai dari atas pohon. Semua dilihat dari kulit luarnya aja. Kalau begini, ya lebih baik aku cari petarung-petarung lain aja lah.

Friday, October 24, 2014

Implikasi Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun2014 Tentang Desa

A.​Latar Belakang
Pada tanggal 15 Januari 2014, Pemerintah telah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014). Landasan filosofis lahirnya Undang-undang tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD 1945.

Secara yuridis, UU No. 6/2014 lahir berdasarkan amanah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Indonesia terbentuk. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyebutkan bahwa “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, lahirnya UU No. 6/2014 merupakan bentuk pengakuan dan jaminan keberlangsungan Desa oleh Negara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu subtansi yang diatur dalam UU No. 6/2014 adalah mengenai keuangan Desa. Pasal 1 angka 10 UU No. 6/2014 memberikan definisi keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah semua yang menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan Desa.

UU No. 6/2014 menegaskan Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas: 1)  Pendapatan asli Desa; 2) Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; 3) Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima Kabupaten/Kota; 4) Alokasi anggaran dari APBN; 5) Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupeten/Kota; serta 6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Kewenangan pengelolaan keuangan Desa dilaksanakan oleh Kepala Desa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, yang menyebutkan “Kepala Desa berwenang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan Aset Desa”.

Adanya UU No. 6/2014 yang memberikan kewenangan dibidang pengelolaan keuangan bagi Desa disatu sisi layak disyukuri sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat di Desa, akan tetapi disisi lain akan berdampak kepada implikasi yuridis terkait pengelolaan keuangan Desa itu sendiri. 

Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa profil Desa di seluruh Indonesia yang beragam bentuknya, apalagi pengertian desa dalam UU No. 6/2014 menyamakan antara desa (definitif) dan desa adat, yang tentu saja kemampuan aparatur Pemerintahan Desa tersebut berbeda tingkatannya dalam pengelolaan keuangan Desa.

​Konsekwensi bagi aparatur Pemeritahan Desa termasuk Kepala Desa dan perangkat Desa lainnya adalah diwajibkan untuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa secara rigid mengikuti Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur pengelolaan keuangan. Apabila Pemerintahan Desa tidak mengikuti Peraturan Perundang-Undangan tersebut, maka akan menimbulkan sejumlah implikasi yuridis bagi mereka.

​Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Penulis bermaksud menuangkannya dalam bentuk tulisan yang berjudul “Implikasi Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa  Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa”.
B.​Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1. ​Bagaimanakah konsep otonomi desa?
2.​ Bagaimanakah konsep keuangan desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa?
3. ​Bagaimanakah implikasi yuridis pengelolaan keuangan desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa?

  
C. Otonomi Desa
​​Istilah otonomi atau autonomy secara etimologi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri dan kata “nomous” yang berarti hukum atau pengaturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body its actual independence. Jadi ada dua ciri hakekat dari otonomi, yaitu legal self suffiencery dan actual independence.

​​Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan kenegaraan (staatrectelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan kenegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.

​​Bhenyamin Hoessein dalam Lukman Hakim, mengartikan Otonomi hampir pararel dengan pengertian demokrasi, yaitu pemeritahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada diluar pemerintah pusat. Bahkan otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan (medebewind, coadministration), sebab baik otonomi maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik asas mapun cara menjalankan, sedangkan pada tugas pembantuan, kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan.

​​Secara etimologi kata “desa” berasal dari bahas Sansekerta yakni “deca”  yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan desa adalah 1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampong; 2) udik atau dusun (dalam arti darerah pedalaman sebagai lawan kota); dan 3) tempat;  tanah; atau daerah.

​​H.A. Widjaja menyatakan bahwa desa adalah:
​​“Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

​​Pengertian desa berdasarkan UU No. 6/2016, yakni pada Pasal 1 angka 1 disebutkan: “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
​​Pengertian desa yang dikemukakan oleh Widjaja dan UU No. 6/2014 di atas menunjukkan bahwa pengertian desa saat ini tidak hanya sebagai self-governing community (komunitas yang mengatur dirinya sendiri) saja, akan tetapi juga merupakan local self government (pemerintahan lokal).

​​Penyamaan antara desa dan desa adat didasarkan kepada pertimbangan bahwa pada dasarnya  desa dan desa adat  melakukan tugas yang hampir sama. Perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, tertutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Desa adat juga memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa, pembangunan desa serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota.
​​
Pasal 18 UU No. 6/2014 menyebutkan kewenangan desa meliputi kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan adat istiadat desa.
​​
Menurut Widjaja, otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari Pemerintah. Sebaliknya Pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.
​​
Penjelasan Umum UU No. 6/2014 menyebutkan tujuan ditetapkannya pengaturan tentang Desa dalam undang-undang tersebut  adalah:
1)​Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)​Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3) ​Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4)​Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5) ​Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6) ​Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
7)​Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8)​Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
9)​Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
​​
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep otonomi desa “berbeda” dengan otonomi pada umumnya, dimana pada konsep otonomi terdapat “penyerahan penyerahan urusan” dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau pemerintahan dilevel bawahnya. Sedangkan otonomi desa merupakan bentuk pengakuan dan kewajiban pemerintah yang menghormati otonomi asli yang  telah dimilki desa, jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia. Otonomi desa dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-asul dan nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut.
D. Keuangan Desa
Pasal 1 angka 10 dan Pasal 71 ayat (1) UU No. 6/2014 menyebutkan: “Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa”.

Definisi keuangan desa di atas apabila dibandingkan dengan definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, maka secara gramatikal, hanya kata negara dalam definisi keuangan negara yang diganti menjadi kata desa. Berikut definisi keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka 1, yakni: “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Pada Pasal 71 ayat (2) UU No. 6/2014 disebutkan: “Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan​pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa”

Sumber pendapatan Desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 ayat (2) diatas terdiri dari:
1).​Pendapatan asli Desa;
2).​Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
3).​Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota;
4).​Alokasi anggaran dari APBN;
5).​Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota;
6).​Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa.
Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan. Bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa.

Pasal 26 ayat (2) huruf c jo. Pasal 75 ayat (1) UU No. 6/2014 menegaskan bahwa Kepala Desa memilki kewenangan sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan asset desa. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk, demikian ditegaskan juga dalam Pasal 72 ayat (5) jo. Pasal 75 ayat (2) UU No. 6/2014.

Pengelolaan keuangan Desa dilakukan dengan mekanisme penganggaran ditingkat desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa. Sesuai hasil musyawarah tersebut, maka Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Pengawasan pengelolaan keuangan desa dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, pengawasan pengelolaan keuangan Desa dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa. Secara eksternal pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 huruf g UU No. 6/2014.

Pengaturan pengelolaan keuangan desa dalam UU No.6/2014 menyisakan sejumlah pertanyaan kritis mengenai tata cara proses penyusunan, pembahasan, pengesahan, pelaksanaan, pengawasan serta pertanggungjawaban terkait pengelolaan keuangan desa. Hal ini disebabkan pelaksanaan ketentuan mengenai pengelolaan keuangan desa yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sampai saat ini belum diterbitkan.
E. ​Implikasi Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa
Pelaksanaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan desa menuntut tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Subtansi pengelolaan keuangan Desa dalam UU No. 6/2014 yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa, menimbulkan konsekwensi hukum bagi Kepala Desa dan aparaturnya selaku pelaksana keuangan desa.

Kepala Desa dituntut memiliki kemampuan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahunnya untuk diajukan kepada Badan Persmusyawaratan Desa. Setelah dimusyawarahkan dengan Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa membuat Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Selain itu, Kepala Desa selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Desa, dituntut juga memiliki kemampuan mekanisme pengadaan barang dan jasa milik Pemerintah terhadap kegiatan pembangunan yang dananya bersumber dari anggaran negara (APBN/APBD).

Kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh Kepala Desa sehingga pengelolaan keuangan Desa tidak sesuai dengan Peraturan-Perundang-undangan yang berlaku, maka akan menimbulkan konsekwensi hukum baik sanksi hukum administrasi maupun sanksi hukum pidana.

Demikian juga bagi anggota masyarakat desa yang menjadi Badan  Badan Persmusyawaratan Desa, dituntut untuk memiliki kemampuan memeriksa rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diajukan oleh Kepala Desa serta melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa oleh Kepala Desa.

UU No. 6/2014 belum mengatur mekanisme pembahasan, pengesahan, pengawasan serta pertanggungjawaban pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sehingga belum dapat dilakukan analisis apakah mekanismenya menyerupai pengajuan, pembahasan, pengesahan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban keuangan seperti pada APBD Provinsi atau APBD Kabupaten/Kota.

Beberapa hal penting menurut Penulis yang patut dijadikan perhatian diantaranya mengenai fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam pengesahan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Karena didalam Pasal 73 ayat (2) menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa hanya dimusyawarahkan antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Seharusnya tidak cukup dimusyawarahkan, tetapi ditambahkan dengan persetujuan oleh  Badan Permusyawaratan Desa.

Demikian juga dengan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. UU No. 6/2014 belum mengatur mekanisme pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa oleh  Kepala Desa. Idealnya Kepala Desa memberikan laporan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala desa ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan akuntabiitas penyelenggaraan pemerintahan desa serta sebagai upaya dalam perwujudan transparansi terhadap masyarakat.

Implikasi yuridis dengan adanya mekanisme keuangan desa seperti diatur dalam UU No. 1/2014 menimbulkan kewajiban bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan sejumlah dana bagi desa yang ada dalam wilayahnya. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa, maka Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Kewajiban lainnya adalah Pemerintah Kabupaten/Kota dituntut untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa.
F. Kesimpulan
1. Otonomi desa adalah hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal-asul dan nilai sosial budaya yang ada sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia dan merupakan bentuk pengakuan dan jaminan keberlangsungan desa oleh Pemerintah.
2. Konsep keuangan desa hampir sama dengan konsep keuangan negara, dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang didalamnya terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan desa, yang dilaksanakan oleh Kepala Desa dan aparatnya yang dimusyawarahkan secara bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa.
3. Pengelolaan keuangan desa menimbulkan implikasi yuridis bagi Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk mampu menyusun, mengesahkan, melaksanakan, mengawasi dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa. Jika terjadi kealpaan atau kesengajaan, maka menimbulkan pertanggungjawaban baik secara administratif maupun pidana. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran bagi keuangan desa, serta melakukan pembinaan dan pengawasan.
G. Saran
1. Diperlukan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai mekanisme penyusunan, pembahasan, pengesahan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan desa.
2. Diperlukan pembinaan kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa agar memiliki kemampuan dalam pengelolaan keuangan desa.
3. Hendaknya fungsi Badan Permusyawaratan Desa diperkuat dengan memberikan persetujuan  Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan menerima laporan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.


BAHAN BACAAN
Atmadja, Arifin P. Soeria, 2013, Keuangan Publik dalam Perpektif Hukum, Teori, Praktik dan Kritik, Edisi Keiga, Rajawali Pers, Jakarta.
Busrizalti, H.M, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total media, Yogyakarta.
Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah Perspektif Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Pers, Malang.

Manan, Bagir, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Yogyakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta.
Widjaja, H.A.W, 2003, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta.
​Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

​Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

​Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.​

Catatan: Silahkan mengutip seluruh atau sebagian artikel ini, sepanjang menyebut sumbernya. 

Thursday, October 23, 2014

Sanksi "Tunda Gaji" di UU 23 Tahun 2014

Ada hal baru dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah jika dibandingkan peraturan lama yakni UU No. 32/2004. Salah satunya pada Pasal 312 yang mengatur kewajiban bagi kepala daerah dan DPRD untuk menyelesaikan pembahasan APBD maksimal 1 bulan sebelum tahun anggaran dimulai. Jika lalai, maka sanksi berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan bagi kepala daerah dan DPRD selama 6 (enam) bulan akan diberlakukan.Jika kesalahan tersebut datangnya dari sisi kepala daerah, maka DPRD akan terlepas dari sanksi administratif tersebut.

Pasal 312 ini tentunya membawa sedikit harapan bagi warga yang menginginkan agar kepala daerah dan DPRD tepat waktu didalam penyusunan dan pembahasan anggaran. Penyakit molor dan menunda-nunda dalam penyusunan dan pembahasan APBD sudah menjadi kebiasaan yang seolah-olah menjadi suatu kebenaran untuk dipraktekkan. 

Pendekatan "law as a tool for social engineering" pada Pasal 312 ini ditujukan untuk merubah prilaku kepala daerah dan DPRD yang selama ini masih mempraktekkan keterlambatan dalam penyusunan dan pembahasan APBD menjadi prilaku yang lebih baik, yakni prilaku yang tertib dan tepat waktu pada penyusunan dan pembahasan anggaran.

Sanksi pada Pasal 312 tersebut dari sisi Hukum Administrasi Negara  merupakan bentuk paksaan agar kewajiban yang telah diatur sebelumnya (kewajiban pembahasan APBD yang tepat waktu) dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh kepala daerah dan DPRD. 

Konsep sanksi ini  didasarkan pada logika bahwa, tidak ada gunanya  jika kewajiban atau larangan yang telah diatur tidak dapat dilaksanakan atau dipaksakan. Oleh karenanya, paksaan tersebut baru bisa terwujud dengan menerapkan sanksi apabila kewajiban atau larangan tidak dipatuhi.

Semoga dengan adanya Pasal 312 ini, kepala daerah dan DPRD menjadi lebih disiplin dalam penyusunan dan pembahasan APBD, sehingga proses pembangunan didaerah tidak terkendala dan main kebut disaat-saat akhir tahun anggaran yang disebabkan pengesahan APBD yang molor. Kita tunggu saja, apakah Pasal 312 ini akan efektif berlaku? dan apakah Mendagri dalam Kabinet Jokowi-JK 2014-2019 nantinya akan bernyali menegakkan aturan ini?



Wednesday, October 22, 2014

Pak Iwan "OSIS"

Nama aslinya Drs. Ikhwanuddin, tapi kami biasanya memanggil dengan nama Pak Iwan. Beliau semasa ku sekolah di SMA 1 Langsa adalah Pembina OSIS, dan aku adalah Ketua OSIS di tahun 1992/1993. Seingatku dulu Pak Iwan mengajar Matematika, dan secara langsung aku tidak pernah merasakan bagaimana beliau mengajar di kelas. Beliau mengajar di jurusan IPA sedangkan aku jurusan IPS.

Perjumpaan ku dengannya tadi memang kusengaja. Setelah tahu jika Beliau saat ini adalah Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, dan sebelumnya menjabat Sekretaris Bappeda, maka kloplah... silaturrahmi dan sekalian berdiskusi tentang rencana pembentukan Sekolah Legislasi Kampung. Selaku mantan di lembaga perencanaan, pastinya Beliau adalah orang yang tepat untuk diajak diskusi. Hasilnya, Beliau dengan semangat akan meluangkan waktu, dan merekomendasikan beberapa nama dilingkup Setdakab Aceh Tamiang yang bisa diajak ikut serta. Aku berjanji, setelah draft konsep sekolah dan modul selesai, akan mengadakan diskusi lanjutan.

Alhamdulillah.... hari ini bertambah lagi teman untuk bersama-sama mewujudkan perubahan. Terimakasih Pak Iwan.

Tuesday, October 14, 2014

Naga "Norman Iskandar" Lantui

Seseorang tadi siang menyapa dan menyalamiku. Wajahnya tak asing, tapi namanya lupa.... Sambil berjabat tangan kucoba menggali database dalam memori otakku, siapa kiranya teman satu ini. Masih tak menemukan data siapa namanya, otakku memerintahkan lidah untuk berujar... Maaf... Wajah Ingat, tapi nama lupa... Maaf ya bro.

Disebutlah namanya "Norman Iskandar", Olala... Ingatan ku langsung kembali, si penulis buku Hadih Maja "Naga Lantui" rupanya.... Maafkan daku teman, bukan ku sengaja melupakan namamu... Tapi keterbatasan waktu untuk bersilaturrahmi secara kasat mata, membuat memori data jadi lupa... Malu juga tadi rasanya.

Semoga bila kita bertemu lagi kelak, memoriku sudah ter-update lagi, bahwa Penulis buku Naga Lantui adalah temanku yang bernama " Norman Iskandar".




Monday, October 13, 2014

Menyoal Politeknik Aceh Tamiang

        Beberapa waktu lalu, diberitakan bahwa Rancangan Qanun (Raqan) Aceh Tamiang tentang Pendirian Politeknik Aceh Tamiang ditolak oleh Menteri Keuangan RI, karena melanggar aturan yang ada (http://aceh.tribunnews.com, Raqan Politeknik Tamiang Diitolak, Selasa, 14 Mei 2013).  Tentu masyarakat ada yang bertanya-tanya, apa pasal Menteri Keuangan sampai menolak Raqan tersebut? Bukankah pendirian politeknik di Aceh Tamiang merupakan kebutuhan daerah yang perlu didukung dan telah pula disediakan dana APBA sebesar Rp.  5 milyar plus  Rp. 31,5 miliar dana APBK untuk pembelian lahan seluas 22,2 hektar. 
Oleh karenanya, melalui tulisan ini dicoba untuk melihat kembali permasalahan tentang penolakan Raqan Politeknik Aceh Tamiang berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang tentu saja tidak bermaksud untuk mencari-cari kesalahan, apalagi bermaksud menggurui. Sehingga diharapkan akan menjawab pertanyaan "Mengapa Raqan Politeknik Aceh Tamiang Ditolak Pemerintah?"

Posisi Qanun dalam Hierarkhi Perundang-Undangan
Pembentukan Qanun sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak lepas dari ketentuan yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, qanun (peraturan daerah) menempati hierarki terbawah didalam hierarki Peraturan Perudang-Undangan di Indonesia. Hierarki tersebut adalah:
1. Undang-Undang Dasar tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah Provinsi; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan berlaku sesuai dengan hierarki tersebut. Adapun yang dimaksud hierarki adalah penjejangan setiap jenis peraturan perudang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perudang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan qanun adalah berisikan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi. 
Penjenjangan tata urutan perundang-undangan tersebut di atas merupakan buah pikir dari pendapat ahli yang bernama Hans Kelsen.  Ia mengemukakan teori  hierarkhi norma hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht), dimana teori Stufenbau berpendapat bahwa suatu sistem hukum itu merupakan suatu hierarki, dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. 
Berdasarkan  UU No. 12 Tahun 2011 tersebut di atas, maka sudah sepantasnya materi dalam Raqan Politeknik Aceh Tamiang, bersumber dan  berdasar kepada aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni undang-undang  yang mengatur mengenai pendidikan tinggi di Indonesia atau yang mengatur tentang pengelolaan keuangan negara/daerah.

UU Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi di Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan: Perguruan Tinggi Negeri selanjutnya disingkat PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.  Pemerintah disini maksudnya adalah Pemerintah Pusat sebagai mana diatur dalam Pasal 1 angka 19 UU No. 12 Tahun 20012 yakni Presiden Republik Indonesia. 
Bentuk perguruan tinggi sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (1)  UU No. 12 Tahun 2012 terdiri dari:
1. Universitas;
2. Institut;
3. Sekolah tinggi;
4. Politeknik;
5. Akademi; dan
6. Akademi komunitas.
Pasal 60 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 menyebutkan: PTN didirikan oleh Pemerintah. Oleh karenanya, merujuk ketentuan pasal tersebut, dasar pendirian perguruan tinggi negeri diseluruh Indonesia sejak diberlakukannnya UU No. 12 tahun 2012 ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Contoh di Aceh adalah pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Gajah Putih Takengon, dimana pendiriannya melalui Peraturan Presiden No. 50 Tahun 2012 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah, Aceh. 
Konsekwensi Pemerintah sebagai penyelenggara Perguruan Tinggi Negeri adalah dalam hal alokasi anggaran melalui mekanisme APBN. Apabila sebelum terbitnya Perpres penyelenggaraan dan pengelolaan Perguruan Tinggi dilakukan secara swadaya dan bantuan/hibah, maka setelah beralih statusnya menjadi PTN, maka penganggarannya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan mengikuti mekanisme pengelolaan keuangan negara.
 
Belajar dari Kota Banda Aceh
Pendirian Politeknik oleh Pemerintah Daerah dalam Provinsi Aceh mengingatkan Penulis kepada proses pendirian Politeknik Aceh oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Politeknik Aceh ini awalnya didirikan melalui kerjasama Pemerintah Kota Banda Aceh pada tahun 2008 dengan BRR NAD-Nias, PT Chevron Pasifik Indonesia, USAID dan Dirjen Perguruan Tinggi. Kemudian, Pemerintah Kota Banda Aceh menerbitkan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pembentukan Yayasan Politeknik Aceh, dimana Pemerintah Kota Banda Aceh membentuk Yayasan Politeknik Aceh sebagai badan hukum yang menyelenggarakan dan mengelola Politeknik Aceh.
Secara sederhana dapat dipahami, berdasarkan Qanun Kota Banda Aceh tersebut, Yayasan Politeknik Aceh sebagai penyelenggara dan pengelola Politeknik Aceh adalah milik Pemerintah Kota Banda Aceh.  Organ tertinggi dalam yayasan, yakni Pembina Yayasan, ditunjuk oleh Walikota Banda Aceh.
Perbedaan dengan Raqan Politeknik  Aceh Tamiang adalah bahwa Raqan tersebut bertujuan untuk membentuk Politeknik Aceh Tamiang yang penyelenggara dan pengelola Politeknik Aceh Tamiang adalah Yayasan Pilar Tamiang.  Sedangkan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2009 mengenai pendirian Yayasan Politeknik Aceh yang kegiatan utamanya menyelenggarakan dan mengelola Politeknik Aceh.
Perbedaan lain adalah, jika Yayasan Politeknik Aceh didirikan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan ditegaskan juga sebagai Pemilik Yayasan, maka dalam Raqan Politeknik Aceh Tamiang, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang sebagai pendiri Politeknik dan menunjuk Yayasan Pilar Tamiang sebagai penyelenggara dan pengelola. 
Mengapa Pemerintah Kota Banda Aceh mendirikan Yayasan Politeknik Aceh melalui Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2009? Hal ini tentunya berkolerasi dengan alokasi dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Sebagai Pendiri dan Pemilik dari Yayasan Politeknik Aceh, maka Pemerintah Kota Banda Aceh menjamin kelangsungan dukungan anggaran melalui APB Kota Banda Aceh untuk kelangsungan operasional Politeknik Aceh.
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tidak serta merta menjadikan Politeknik Aceh statusnya menjadi sebuah PTN. Karena pendirian PTN dilakukan melalui Perpres. Politeknik Aceh berstatus sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS).  Hal ini sesuai dengan Pasal 60 ayat (2)  dan ayat (3) UU No. 12 Tahun 2012, yakni PTS dapat didirikan oleh orang (termasuk badan hukum privat atau publik) dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum (yayasan, perkumpulan dan bentuk lain yang berprinsip nirlaba) dan wajib memperoleh izin Menteri. Jika badan hukumnya adalah yayasan, maka tunduk pula pada ketentuan UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan jo. UU No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Lantas bagaimana dengan penunjukan Yayasan Pilar Tamiang yang didalam Raqan Politeknik Aceh Tamiang ditunjuk sebagai penyelenggara dan pengelola Politeknik Aceh Tamiang? 
Menjawab hal ini pertama sekali harus dilihat siapa saja  yang duduk didalam organ yayasan ini, yakni Pembina, Pengurus dan Pengawas. Kedua adalah mengenai hubungan hukum antara yayasan dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang selaku pemilik dari Politeknik Aceh Tamiang. Jika yayasan tersebut bukan milik Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, maka patut dipertanyakan dasar hukum apa yang menjadi alas hak yayasan tersebut dalam bertindak untuk menyelenggarakan dan mengelola Politeknik Aceh Tamiang? dan pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus yayasan  tersebut yang dipilih? Mekanisme apa yang telah ditempuh sehingga pilihannya jatuh kepada yayasan tersebut?
Kedua hal tersebut di atas erat kaitannya dengan alokasi dan pengelolaan anggaran dalam APBK Aceh Tamiang yang ditujukan untuk mendukung penyelenggaran Politeknik Aceh Tamiang nantinya.

Penutup
Pendirian Politeknik Aceh Tamiang melalui qanun adalah dimungkinkan sepanjang memenuhi ketentuan dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yakni dengan membentuk badan hukum penyelenggara Politeknik Aceh Tamiang.  Jika Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang berencana Politeknik Aceh Tamiang nantinya akan menjadi sebuah Politeknik Negeri, maka sudah tentu memperjuangkan terbitnya Perpres adalah langkah selanjutnya.
Lantas bagaimana dengan Raqan yang telah ada? Sudah pasti revisi Raqan diperlukan agar disesuaikan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Penunjukan Yayasan Pilar Tamiang sebagai penyelenggara dan pengelola Politeknik Aceh Tamiang mesti ditinjau ulang, dan tidak ada salahnya Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang membentuk badan penyelenggara Politeknik yang berbadan hukum yayasan, perkumpulan dan bentuk lain yang berprinsip nirlaba dan merupakan milik Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, ditujukan khusus untuk menyelenggarakan dan mengelola Politeknik Aceh Tamiang sesuai UU No 12 Tahun 2012.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang saat ini yang menjalin kerja sama dengan IPB Bogor untuk menyelenggarakan Pendidikan Diluar Domisili setara Diploma-2, dengan memanfaatkan fasilitas yang telah ada didalam areal Politeknik Aceh Tamiang adalah hal yang tepat sebagai cikal bakal Politeknik Aceh Tamiang nantinya.
Kadangkala niat yang baik saja tidak cukup untuk membenarkan atas tindakan yang telah dilakukan. Sudah saatnya niat yang baik, juga diwujudkan dengan tindakan yang baik pula. Mari kita belajar dari kesalahan dimasa lalu untuk membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan. Semoga hadirnya Politeknik Aceh Tamiang nanti akan membawa berkah dan menghasilkan generasi Aceh Tamiang yang cendikia, jujur serta berbakti kepada daerahnya.


Karang Baru, Akhir September 2014

Update dan Upgrade

Ibarat sofware, manusiapun perlu diupdate dan di upgrade biar nggak ketinggalan informasi dan kemampuan. Update dan Upgrade tentunya perlu konsistensi akan niat, jadwal dan tentu saja sarana pendukung seperti koneksi uploading data yang mendukung serta kesabaran menunggu proses dilakukan.

Apa yang terjadi jika update dan upgrade ini tidak dilakukan? Sistem masih tetap berjalan, tetapi dalam  aplikasi program tertentu akan menjadi masalah. Masalahnya bisa berupa tidak berjalannya sistem bahkan tidak mau mengakses data yang ada. Coba bayangkan, disaat kita perlu menjalankan program tertentu, tetapi gadget mengulah dan mogok menjalankan perintah operasi yang diberikan. Tentu kita sendiri yang bakal repot. Repot untuk mencari alat kerja yang lain, dan tentu saja mengulang atau menghabiskan energi yang seharusnya tak perlu dilakukan. Itu terjadi hanya karena lalai update dan upgrade.

Tumpulnya kinerja aparat, aktivis, jurnalis, akademisi, atlet atau siapa saja, salah satu faktor penyebab adalah kemungkinan tidak dilakukan updating dan upgrading. Kinerja yang diharapkan kadang kala berjalan dengan lelet, miskin inovasi, output yang rendah dan jauh panggang dari api. Tetapi, dalam kondisi updating dan upgrading telah dilakukan dan hasilnya masih sama, maka berlakulah rumus: Gadget dibuang atau dibanting sekalian, dan beli yang baru. Namun semua itu tergantung daya beli, dan nanti jangan lalai untuk update dan upgrade.

Saturday, October 11, 2014

Membumikan PANCASILA

Membumikan Pancasila. Memangnya Pancasila tidak membumi lagi? Tulisan ini beranjak dari print out presentasi Dr. L.M Hayyan Ul Haqq, Pengajar di Universitas Utrecht, Belanda, yang berjudul "Institusionalising Pancasila- Based Autonomous Counsiuosness Towards Ideal State of Social Order" yang kuterima dari Dr. Mirza Nasution, dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara, pada saat mengikuti perkuliahan Program Magister Hukum di UMSU. 

Hayyan Ul Haqq, dalam presentasinya menggambarkan salah satu kekacauan penegakan hukum di Indonesia, dengan mengambil sampel penegakan hukum pemberantasan korupsi disertai pemetaan dan analisis akar masalahnya. Selanjutnya ia memaparkan tentang gambaran dari desain melembagakan/membadankan (embodying) Pancasila yang seutuhnya guna menuju konsep negara yang ideal dalam tatanan sosial yang mumpuni, dan diakhiri dengan membumikan Pancasila dalam teori dan praktek penegakan hukum.

Memori akan bahan kuliah di atas muncul kembali tak kala Pak Razuardi, Sekdakab Aceh Tamiang bercerita tentang prilaku negatif berupa hobby merpergunjingkan, memfitnah, menghina, atau bahasa gaulnya bergossip negatif yang saat ini lebih digandrungi oleh sebagian besar masyarakat hingga aparat birokrasi pemerintahan.

Prilaku berpikir negatif tersebut, jika terus-menerus dibiarkan tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat, ibarat virus kanker, lambat laun namun pasti, akan menggerogoti sistem manapun yang sudah berjalan dengan baik. 

Kembali kepada Pancasila, sebagai Staatfundamental (Norma Paling Dasar) didalam kehidupan bernegara dan berbangsa, sepatutnya prilaku negatif tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Prilaku tersebut juga menggambarkan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila tidak dipraktekkan lagi didalam tata kehidupan masyarakat. Pancasila dianggap ajaran rezim Soeharto, peninggalan Orde Baru, dan dibenak sebagian orang, hanya retorika dan formalitas pajangan saja.

Padahal, secara tidak sadar, prilaku sakit dan menyimpang yang diceritakan di atas, bermuasal dari tidak di "amalkannya" nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Lantas, bagaimana membumikan lagi Pancasila didalam kehidupan masyarakat? 

Jokowi pernah menggagas Ide "Revolusi Mental". Kata Revolusi bermakna perubahan massif, dilakukan secara total untuk ke arah yang lebih baik. Sedangkan Mental, lebih dekat dengan padanan pola pikir yang diwujudkan dengan prilaku. 

Menurutku, tidak perlu revolusi-revolusi-an, cukup kembali kepada Pancasila, sesuai ide Hayyan Ul Haqq di atas, bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang besar,  dimana keadilan sosial akan terwujud melalui sistem demokrasi rakyat melalui perwakilan, dengan tetap menjaga keutuhan NKRI sebagai persatuan bangsa ini, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian (HAM) yang adil dan beradab, yang dipayungi oleh nilai-nilai ketuhanan.

Membumikan Pancasila dapat dimulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, pemerintahan, atau melalui sistem hukum. Yang diperlukan saat ini adalah kesepahaman bahwa seluruh elemen bangsa sepakat, bahwa Pancasila yang telah ditetapkan sebagai Staatfundamentalnorm bangsa ini, perlu dibumikan kembali didalam seluruh sistem hukum, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan kemasyarakatan. Jika tidak, maka semua prilaku bernegara, berbangsa dan bermasyarakat akan kehilangan orientasi, dan perlahan namun pasti akan berujung pada disintegrasi bangsa ini.

Symptom yang menunjukan bahwa bangsa ini sedang sakit dapat dilihat secara kasat mata. Cerita Pak Razu di atas salah satunya. Konflik horizontal berbungkus SARA gampang terjadi dimana-mana. Pemberantasan korupsi ibarat telenovela televisi yang ratingnya makin tidak berkesudahan. Jadi, apakah kita mau menunda-nunda lagi? 

Friday, October 10, 2014

Kangen


SMART

SMART, Kata ini muncul dibenakku pada saat membuat check list aspek legal pendirian 3 BUMD di Aceh Tamiang. Kata SMART yang akronim dari Speciffic, Measurable, Achieveble, Realistic dan Time Dead Line, secara tersistem mengalir didalam bentuk kolom dan baris tabel check list. Memang tidak ada yang istimewa dalam tabel yang telah kubuat. Tapi, paling tidak aku berhasil menerapkan SMART didalam evaluasi dan perencanaan kerja ke depan.

Buktinya, dugaan atau asumsiku tentang Realistic untuk salah satu komponen check list hari ini bisa dibuktikan. Sebelumnya aku mengasumsikan bahwa secara Realistic untuk menerbitkan tiga buah Surat Keterangan Domisili hanya membutuhkan waktu kerja 1 jam (meski dalam tabel diberi deadline 1 hari kerja). Faktanya, Pak Datuk cuma perlu sedikit sentuhan, dialog, dan tarra.... Surat Siap. Tidak habis pikir mengapa untuk hal semacam ini, dulu-dulunya tidak kelar juga? Mungkin kurang SMART ya....?

Semoga perencanaan SMART yang telah kubuat bisa terlaksana sesuai Time Dead Line.

Bismillah...

Dengan nama Allah, kumulai aktifitasku mensukseskan perhelatan umat-Mu ya Allah. Di tengah carut marut prilaku birokrasi pelayan umat, aku menemukan keyakinan. Aku yakin dan percaya, masih ada orang baik di muka bumi ini. Aku melakukan ini karena aku yakin perubahan akan datang. Perubahan itu tidak akan terjadi jika Aku, kamu, kalian, kita, diam dan tidak melakukan apa pun. Aku tersadar akan firman Mu ya Allah, tidak akan berubah nasib suatu kaum, kecuali jika kaum itu merubah nasibnya sendiri.

Kepada-Mu ya Allah aku berserah diri. Aku yakin di akhir kesusahan akan timbul kemudahan. Bantu aku ya Allah, aku melakukan ini karena ini merupakan ibadah ku pada Mu ya Allah. Bismillah....

Tuesday, October 7, 2014

Dirgahayu TNI

Selamat ulang tahun TNI. Semoga Pimpinan Negri ini memikirkan sistem alutista dan kesejahteraan para prajurit. Jangan ada lagi kisah anggota TNI yang pake alutista jadul, nyambi sebagai preman, bisnis illegal... Kapan ya... Pengen liat prajurit TNI yang modern, professional, dan sejahtera. Minimal kaya negri tetangga. Dirgahayu TNI. Hooorrrraaahhhh.

Sunday, October 5, 2014

Selamat Berbeda Idul Qurban

Kapan ya, hari raya dinegri ini bisa barengan... Meski perbedaan itu rahmat, tapi ada yang mengganjal jika dalam rumah yang sama ada yang lebih dulu dan ada yang kemudian, meski merayakan hari raya yang sama. Kalo jaman dulu bolehlah... Hari gini dengan teknologi dan informasi yang tiada batas, apakah perbedaan ini tetap menjadi suatu yang lumrah? Apakah ini yang namanya ego-agamistis?

Friday, October 3, 2014

Si Kembar Teman Lama

Pagi tadi tidak sengaja bertemu teman masa sekolah di Langsa dulu. Si kembar Dwi-Eko. Model rambut masih sama, hanya postur badan yang rada gendutan seperti ku. Alhamdulillah, sekarang dia bekerja di showroom sepeda motor. Dari dia juga aku mendapat no kontak teman yang lain. Alangkah indahnya silaturahmi....

Semoga pertemanan ini bisa terus berlanjut ya Dwi-Eko.


Thursday, October 2, 2014

Dewan Kota

Kadang buah yang telah masak dipohonpun perlu galah untuk memetiknya.... Tapi, apa pesan eksplisit tadi mampir dibenak Pak Dewan Kota Langsa pada saat diskusi tentang Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN. Alah hai Pak Dewan... dana ADD perlu seperangkat software ditingkatan Pemkot dan Gampong. Inilah yang menjadi tugas Pak Dewan dalam Legislasi dan Pengawasan..... Tapi, sampai akhir diskusi, tidak ada niat atau RTL selanjutnya.... Alah hai Pak Dewan...