Saturday, March 12, 2016

Politek Teknik Tamiang

"Wak Ngah hari ni, kelihatan kurang semangat. Apa hal wak?" Tanya Kulok, teman sepermainan dan seperjuangannya.

"Cade yang sepesial, hanya awak bingung, dah sekian tahun, itu  izin sekolah, belum keluar juga. Tapi saban tahun, anggaran dihabiskan juga".

"Sekolah mana wak?" Tanya Kulok.
"Itulah, yang dekat Tualang Cut, politek teknik". Jelas Wak Ngah.

"Kalau tu, Wak jangan heran, di Temieng ni banyak yang terkesan, nafsu besar, tenaga kurang". Ujar Kulok menimpali.

"Apa kau cakap tu, ada nafsu-nafsu nya". Protes Wak Ngah.

"Coba wak keleh, jalan lingkar tak siap-siap. Setadion maen bola, ntah kapan berdirinya. Mesjid Agung tempat kita ibadahpun, tak jelas ujung pangkalnya. Mau ambil minyak, berebut. Mau buat pabrek semen, investor cade jelas. Mau buat pabrik lestrek, ntah dari mana sumber bahan bakunya". Kali ini Kulok menjelaskan dengan semangat 45.

"Semua itu wak politek... politek teknik ala Temieng. Jadi, ya macam politeknik Temieng tu lah ceritenye. Jadi wak jangan lemah semangat macam ni ye...". Pinta Kulok ke Wak Ngah.

"Lantak kau lah situ, kita bise buat ape?" Kali ini, Wak Ngah menyalakan sebatang rokok.

"Nah, macam ni lah yang buat negeri tambah kacau wak. Dah yang kuase cade paham, yang paham cade kuase, ditambah lagi, rakyat tak mau peduli, macam wak ni lah" . Kata Kulok menceramahi Wak Ngah.

"Jadi, menurut engkau yang segala tahu ni, apa yang sebaiknya kita buat?" Tanya Wak Ngah lagi.

"Kalau ditanya ma ambe, jawabnya sederhana wak. Yang penteng, chapnye jelas. Semua bisa diatur". Jawab Kulok sambil menerawang dan memperhatikan dua ekor cicak kejar-kejaran, di dinding.

"Apa pulak tu, Lok? Chap Chap?" Tanya Wak Ngah.

"Ah macam betul aja, jangan seperti kura-kura didalam paya, dah tahu, tanya pula..." Ujar Kulok.

"Hahaha... tapi mana bisa uang dibawa mati"

"Itu kata Wak, kata orang lain, uang tu dah jadi tuhan mereka. Tiada peduli lagi ke akherat. Jika orang peduli azab, mana ada yang berani mencuri. Begitu dapat chap, hati dan mata menjadi gelap...."

"Tapi Lok, hari ni cade chap ke ambe"?

"Wak mau? Ayo kita keleh politek teknik tu, siape tau kita masih dapat chap, karena banyak kali yang dapat chap dari politek teknik".

Kulok dan Wak Ngah pun beranjak pergi. Meninggalkan dua ekor cicak yang masih kejar-kejaran di dinding. Temieng punye cerite.

Politik Kemunafikan

Sebutan apa yang paling pas, untuk mengatakan tingkah polah individu, baik yang berstatus anggota legislatif maupun menduduki jabatan elit birokrasi (eksekutif), yang kerap kali "mengelabui" dalam hal tindak-tanduk, janji dan kepercayaan publik yang dimandatkan kepadanya?

Munafik. Ya, munafik. Dimana jika berjanji sering ingkar, jika berkata penuh dengan kedustaan, dan jika diberikan kepercayaan akan berkhianat. Tiga serangkai ciri kemunafikan itu, menurut saya bukan "kumulatif",  tetapi cukup salah satu terpenuhi saja (alternatif), maka sudah bisa dikategorikan sebagai "orang yang munafik".

Perilaku kemunafikan ini, kini setiap hari dipertontonkan kepada publik. Lihat saja tayangan " tabung gambar" alias televisi. Bagaimana elit birokrasi dan politik, memainkan peran "kemunafikan berpolitik". Kemarin berteman akrab, hari ini musuh, besoknya " berselingkuh" kembali. Hari ini berkata "benci", esok lusa sudah tertawa-tawa, dan esoknya lagi, saling mencaci. Sebelum "jadi" penuh janji dan mimpi-mimpi, setelah "jadi" lupa diri dan mengingkari.

Politik kemunafikan ini yang kemudian "ditangkap" secara "bulat-bulat" oleh publik, dan meyakininya dalam suatu frasa sederhana. "Jika elit politik dan birokrat mengatakan hal yang positif, maka sesungguhnya yang terjadi adalah hal yang negatif". Demikian juga sebaliknya, jika mereka berkata "tidak", maka sesungguhnya yang terjadi adalah "benar". Jadi, seperti lagunya Ahmad Albar, semua orang bermain peran dalam sebuah panggung sandiwara dengan judul "kemunafikan".

Daya Rusak Politik Kemunafikan
Politik yang penuh dengan kemunafikan ini, tentu bukan perbuatan yang terpuji, apalagi patut ditiru. Akan tetapi, karena hampir setiap saat dipertontonkan, masyarakat, politikus serta aparat birokrat yang " masih baik" pun akhirnya terbawa kedalam pusaran permainan politik kemunafikan ini.

Level pertama dari daya rusak politik kemunafikan ini adalah hilangnya rasa percaya atau distrust. Masyarakat tidak percaya dengan wakilnya di legislatif. Warga negara tidak percaya dengan pemimpinnya yang menjalankan roda  pemerintahan. Demikian juga sesama alat lembaga negara.

Kepercayaan menjadi sesuatu yang "sangat mahal". Apalagi dalam dunia politik. Dunia yang sering diartikan sebagai "siapa dapat apa, kapan dan bagaimana?". Konsensus yang ingin dibangun sesama pemain politik pun, jadi terganjal akibat "rasa ketidakpercayaan ini". Jika sapi bisa dipegang talinya, nah kalau manusia, apa perkataannya bisa dipegang? Apalagi perilaku "cakap tak serupa buat" acap kali diperlihatkan, membuat "kepercayaan" adalah barang langka dengan label limited edition.

Level selanjutnya dari daya rusak "politik kemunafikan" adalah "disorientasi". Disorientasi dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai " kekacauan kiblat atau kesamaran arah tujuan". Publik, yang kemudian ingin aktif sebagai elit politik atau elit birokrasi,  muncul "orientasi baru" yakni, harus menjadi "golongan orang munafik. Sehingga adalah "lumrah" jika telah menjadi pejabat politik atau penguasa birokrasi, berdusta, ingkar janji dan berkhianat".

Tujuan awak berpolitik dan bertugas sebagai pejabat pelayan publik, berubah arah menjadi praktek "kong kali kong" untuk merampok rame-rame (pok ame-ame) hak publik atas pelayanan yang baik,  melalui kue pembangunan, yaitu anggaran.

Akibatnya adalah, munculnya kelompok "pok ame-ame" baik dalam struktur aparat birokrasi pemerintahan dan legislatif. Kelompok ini juga terafiliasi dengan pemain lain yang berwujud pengusaha atau elit ekonomi. Lantas apa yang dilakukan oleh rakyat? Rakyat kehilangan orientasinya juga. Lihat, dalam perhelatan ajang demokrasi, rakyat secara terang-terangan akan "memilih mereka yang bayar". Ajang pemilihan kepala daerah atau pemilihan wakil rakyat, berubah menjadi ajang "pesta bagi-bagi uang".

Kalau dua level diatas sudah terjadi, maka level akhir adalah timbulnya "disintegrasi" atau perpecahan bagi bangsa ini. Jika kondisi ini yang terjadi, maka bagi pihak manapun yang ingin "menghancurkan", pintu sudah terbuka lebar.

Beberapa gejala "disintegrasi" ini sudah muncul tanda-tandanya. Masyarakat sangat mudah diprovokasi melalui isu tertentu untuk melakukan perilaku yang dulunya sangat-sangat jarang terjadi. Perkelahian antar kampung atau antar warga karena hal-hal sepele, adalah salah satunya. Demikian juga dengan munculnya pengikut kelompok atau organisasi dengan ajaran atau kepercayaan yang aneh-aneh, mendapat tempat di hati masyarakat.

Jika ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka tidak tertutup kemungkinan, riwayat negara ini akan tamat. Tetapi, sebelum terlambat, daya rusak "politik kemunafikan" ini masih bisa dicarikan obat penawarnya. Tinggal pertanyaannya, saya, anda, dan kita semua, mau atau tidak melakukannya?

Stop Politik Kemunafikan
Menghentikan agar praktek politik kemunafikan ini stop total, sebenarnya gampang. Yaitu, "berhentilah menjadi orang munafik. Berhentilah berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Jadilah pribadi yang jujur, amanah dan setia".

Jika anda saat ini adalah kepala daerah  atau anggota legislatif, "buatlah seperti yang anda cakap dulu, pada saat kampanye". Jika anda berposisi sebagai rakyat, jadilah rakyat dan warga yang baik. Jangan memilih pemimpin atau wakil anda, yang masuk kedalam golongan orang munafik. Jika anda pengelola partai politik, tanamkan sifat-sifat jujur, amanah dan setia kepada kader. Usunglah calon pemimpin dan calon legislatif yang bukan termasuk kaum munafik.

Bagi anda yang saat ini masuk atau menjadi aktor politik kemunafikan, segeralah bertobat dan meminta maaf kepada korban kebohongan, penipuan dan penghianatan anda. Rubahlah cara hidup, bermasyarakat, berpolitik, berbangsa dan bernegara, menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan setia.

Terakhir, jika anda bukan termasuk kedalam golongan atau pendukung setia "politik kemunafikan", pertahankan dan tularkanlah "semangat anti politik kemunafikan" ini, kepada teman, kolega, kerabat, keluarga dan masyarakat secara luas. Ingat, perilaku "politik kemunafikan", sudah terjadi dengan "terstruktur, tersistem dan massif". Sehingga, untuk melawannya, diperlukan juga pendekatan yang sama, dan tentunya harus berkesinambungan.

Friday, March 4, 2016

Berebut Sumur Minyak Pertamina

Beberapa waktu lalu, ada demo masyarakat yang katanya "menggoyang" kantor Bupati dan DPRK Aceh Tamiang. Isu yang dinaikkan adalah, seputaran rencana Kerja Sama Operasi (KSO) pengelolaan minyak oleh BUMD Tamiang dengan PT Pertamina EP.

Tuntutan pendemo adalah, agar KSO tersebut dapat segera terealisasi, sehingga terbukalah kesempatan kerja bagi putra-putri Tamiang, dibidang gali-gali minyak ini. Sempat juga disinggung-singgung mengenai "sumur tua" warisan Belanda agar dikelola juga.

Demo yang menghadirkan lebih kurang 600-an massa ini, bisa dikatakan "cukup sukses". Terlihat dari massa yang hadir, orator yang sangat bersemangat, dan fasilitas pendukung aksi demo, seperti sound system, makan siang dan tentu saja " transportasi".

Tetapi, demo tidak merambah hingga ke PT Pertamina EP. Padahal, tak jauh dari kegiatan demo kemarin, di Rantau masih berdiri kokoh komplek perkantoran, perumahan, dan fasilitas produksi minyak, yang dikelola oleh PT Pertamina EP Asset I, Rantau Field. Jadi, serasa ada yang kurang. Ibarat sayur tanpa garam. Mungkin para pendemo "lupa" memperhitungkan, atau akan menjadikan Pertamina EP sebagai lokasi demo berikutnya. Siapa tahu?

Nafsu Besar Tenaga Kurang
Semangat untuk mengelola minyak patut kita berikan apresiasi. Karena, sekitar bulan Desember 2014 lalu, Bupati Aceh Tamiang telah melantik jajaran direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh Tamiang. Diantaranya adalah PT Petro Tamiang Raya dan PT Kwala Simpang Petroleum.
 
Dua BUMD ini dipersiapkan untuk bekerjasama dengan Pertamina EP, dalam pengelolaan minyak. PT Kwala Simpang Petroleum bakal mengelola sumur minyak tua warisan Belanda, dan PT Petro Tamiang Raya untuk mengelola "sumur muda" yang ada di blok Kuala Simpang Barat dan Kuala Simpang Timur.

Seperti tuntutan para pendemo, memang dua BUMD minyak ini, dibentuk dengan tujuan utama mendulang rupiah bagi pendapatan asli daerah, serta menciptakan lapangan kerja. Tetapi, bisnis minyak bukan bisnis "ecek-ecek". Bisnis jutaan dollar.  Bisnis ini memerlukan modal yang fantastis.
Penyertaan modal pada tahun pertama BUMD yakni Rp. 250 juta, ibarat "menggarami lautan". Jika ditukar dengan dollar, kurs sepuluh ribu, jumlahnya hanya US $ 25.000. Dana " sebesar" inipun dalam beberapa bulan saja sudah "tewas". Operasional kerja, gaji direksi, komisaris dan pegawai BUMD, dibayar dari penyertaan modal tersebut.

Tahun kedua, hanya BUMD PT Petro Tamiang Raya yang mendapat tambahan penyertaan modal. Jumlahnya pun masih "ecek-ecek", yakni Rp. 200 juta saja. PT Kwala Simpang Petroleum tidak disetujui tambahan modalnya. Alasannya sederhana, seperti lagu Ayu Ting-Ting "Alamat Palsu", alias alamat kantor tak jelas dimana. Baru, setelah penyertaan modal tak dikucurkan, ada plang nama BUMD ini di salah satu ruko, dekat pertigaan rumah sakit, Kampung Kesehatan.

Jadinya, ya seperti sub judul di atas. "Nafsu besar tenaga kurang". Disatu sisi BUMD dituntut untuk terjun dalam bisnis jutaan dollar, tetapi modal yang dikucurkan sangat tidak sebanding dengan kinerja yang diharapkan. Hal ini belum ditambah lagi dengan masalah kemampuan manajerial dan teknis di bidang minyak. Wajar jika muncul rasa "pesimistis" ketimbang "optimistis".

Hal tersebut akan berbeda jika memang secara hukum, lapangan minyak yang ada di Tamiang, memang sudah menjadi milik Kabupaten Aceh Tamiang. Nah ini, lapangan minyak yang ada, termasuk sumur minyak tua, masih dikuasakan pengelolaannya oleh Pertamina EP. Tentu, jika BUMD ingin masuk kedalam permainan, ya ikut aturan main " joint operation body-nya Pertamina.

Berebut Sumur
Nah ini yang menggelikan dan membuat jajaran elit Pertamina di Jakarta penuh tanda tanya. Tadinya, yang disetting mengelola "sumur minyak tidak tua" adalah PT Petro Tamiang Raya. Sedangkan PT Kwala Simpang Petroleum mengelola "sumur minyak tua".

Akan tetapi, dalam perjalannya, cerita berubah 360 derajat. PT Kwala Simpang Petroleum-lah yang mendapat full support untuk meneruskan pengelolaan blok minyak di Tamiang. PT Petro Tamiang Raya, di " black list", meski masih saudara sekandung BUMD minyak, dan terhitung sebagai "anak kandung" Bupati Tamiang.

Kesan yang timbul di jajaran elit Pertamina EP adalah,  telah terjadi "saling rebut sumur minyak, oleh sesama BUMD Aceh Tamiang". Mengapa skenario bisa berubah dibagian akhir cerita? Ini yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Bagi yang tahu ujung pangkal cerita, hanya senyum-senyum saja. Bagi yang tidak, tentu masih meraba-raba, apa kira hal gerangan, dengan minyak di bumi Muda Sedia.

Demo "isu minyak" tempo hari di Tamiang, bagi yang jeli, bisa menyimpulkan perebutan sumur minyak oleh BUMD Aceh Tamiang sudah demikian hebatnya. Jika ingin dibelokkan isunya, tentu "video aksi demo", setelah di edit, bisa diserahkan ke Pertamina, untuk " menakut-nakuti" atau mengatakan bahwa, "masyarakat Tamiang mendukung kerja sama operasi antara BUMD dan Pertamina. Lihat masyarakat sudah tak sabar".

Solusi bagi masalah "perebutan sumur minyak ini", sebenarnya tidaklah begitu sulit. Tinggal keberanian dan ketegasan dari Bupati Aceh Tamiang, selaku pemegang saham mayoritas di BUMD. Pilihannya adalah, melebur dua BUMD minyak ini menjadi satu, atau bubarkan saja salah satunya. Jajaran direksi atau komisaris yang " keras kepala", tinggal di ganti dengan orang yang berkualitas dan bisa diajak bekerja sama.

Jika tidak? Perebutan sesama BUMD minyak ini, akan berujung kepada kondisi "ketidakpastian". Pertamina EP akan bermain aman dengan alasan " tunggu saja hingga Badan Pengelola Migas Aceh terbentuk". Jika ini akhir ceritanya, seluruh proses akan mulai dari awal lagi. Stakeholders akan bertambah, dan inilah Temieng punye cerite.