Sunday, January 31, 2016

Penyelesaian Konflik Pertanahan dan Keberpihakan Negara

Kamis kemarin, tanggal  28 Januari 2016, Pengadilan Negeri Kuala Simpang, yang memeriksa dan mengadili 12 warga kampung Paya Reuhat dan sekitarnya, telah menjatuhkan vonis kurungan penjara, antara 12 hingga 22 bulan kepada para terdakwa. Kasus yang sebenarnya adalah, konflik tanah antara warga dengan perusahaan pemegang HGU PT Rapala (dulunya PT Parasawita). Tetapi kemudian berubah menjadi "kejahatan oleh warga terhadap negara".

Konflik tanah antara warga kampung Paya Reuhat dan sekitarnya ini, sudah terjadi sejak 1980-an. Saat itu pemegang HGU adalah PT Parasawita. Perjuangan untuk menuntut keadilan tersebut, dilakukan  kembali setelah Soeharto lengser. Menjelang berakhirnya HGU pada 31 Desember 2014, warga telah meminta, agar izin HGU tidak diperpanjang, dan tanah warga yang dulunya dicaplok, untuk dikembalikan.

Apa hendak dikata, negara lewat kaki tangannya bermaksud beda. Izin HGU malah diberikan kepada pemodal baru, bernama PT Rapala. Yakni, partikelir swasta yang selama ini dikenal berkebun di provinsi tetangga, Sumatera Utara. Masa HGU diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk jangka waktu selama seperempat abad, alias 25 tahun.

Warga Paya Reuhat tentu kecewa. Mengapa negara yang katanya didirikan untuk wahana mensejahterakan rakyat, tetapi lebih berpihak kepada pemodal? Mengapa tanah warga yang dulunya "dirampok" pada masa rezim Soeharto, hingga berganti  rezim Joko Widodo, masih bernasib sama. Padahal, jauh hari sebelum HGU PT Parasawita expired, warga telah mengirimkan noted kepada Pemerintah. Inilah yang kemudian disikapi oleh warga melalui "aktifitas protes" yang kemudian oleh  negara dianggap sebagai "kejahatan". Tuntutan warga yang tadinya masalah keadilan, berubah menjadi "kejahatan" yang menghadapkan warga Paya Reuhat versus aparatur negara, mulai dari Polda Aceh, Jaksa dan terakhir Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kuala Simpang.

Negara Berpihak Kepada Siapa?
Apa yang menjadi tuntutan warga Paya Reuhat adalah sederhana. Tanah, yang merupakan sumber kehidupan mereka, dikembalikan. Tanah tersebut akan diusahakan, sehingga warga mampu memperoleh pendapatan ekonomi. Pendapatan ini yang akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga membayar "upeti" kepada negara. Apalah artinya tanah seluas 144 hektar dibandingkan 46.817 hektar lahan HGU yang telah diberikan negara kepada pemegang HGU di Aceh Tamiang? Apalagi perusahaan HGU yang menguasai tanah puluhan ribu hektar di Tamiang,  tidak lebih dari 27 perusahaan yang hanya dimiliki oleh segelintir elit manusia saja.

Lantas, kondisi yang menimpa warga Paya Reuhat saat ini, dimana akar masalah utamanya  adalah konflik tanah, yang berubah menjadi konflik warga melawan negara, merupakan tanda-tanda yang dapat dibaca, kepada siapa negara berpihak. Mengapa negara begitu aktif dan represif pada kasus kriminal antara warga dengan PT Rapala? Mengapa negara menutup mata atas kasus perampokan tanah warga oleh pemegang HGU?

Jika pada dunia kenyataan negara lebih berpihak kepada satu kaum saja, maka hal tersebut membuktikan,  bahwa paham negara Marxis tengah dipraktekkan di negara ini. Pada sistem negara kapitalis, maka negara menjadi alat kaum borjuis atau pemodal untuk membela kepentingannya. Negara dengan sistem feodal, maka negara dijadikan alat dari kaum bangsawan atau para tuan tanah. Jika negara dikendalikan  dan semata-mata berpihak kepada kaum buruh, maka sistem sosialis yang tengah berlaku.

Tentu saja Indonesia bukan negara penganut paham Marxis. Indonesia memiliki ideologi kebangsaan sendiri yang sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist), yakni Pancasila. Merunut kepada teori Hierarkhi Peraturan Perundang-Undangan oleh Hans Kelsen yang kemudian disempurnakan oleh Hans Nawiasky, dan oleh Hamid Atamimi diaplikasikan kedalam struktur tata hukum Indonesia, maka Pancasila merupakan staatsfundamental norm atau norma fundamental negara.

Artinya, Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan norma tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi norma dibawahnya. Demikian juga dengan sistem tata nilai, pemerintahan, politik, hingga sosial, ekonomi dan budaya, mengacu kepada Pancasila sebagai sumber tertinggi dan pedoman hidup bangsa ini. Nilai-nilai ketuhanan, hak asasi manusia, persatuan, demokrasi dan keadilan, yang termakna pada sila-sila dalam Pancasila, menjadi acuan dalam berhukum, berbangsa dan bernegara.

Apa yang terjadi di Paya Reuhat dan Putusan Pengadilan Negeri Kuala Simpang, yang memutus bersalah 12 orang warga yang memperjuangkan hak-hak mereka, adalah praktek negara yang memihak kepada kaum pemodal, dan tentu jauh dari aplikasi nilai-nilai Pancasila sebagai norma fundamental di negara ini.

Penyelesaian Berbasis Kepastian, Kemanfaatan dan Keadilan
Hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai kepastian. Hukum juga bertujuan guna menciptakan kemanfaatan dan keadilan. Kepastian akan hak atas tanah warga Paya Reuhat sudah mereka tempuh sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, negara yang dikuasai oleh rezim Soeharto membungkam warga melalui intimidasi, penyiksaan dan teror. Demi kepastian akan hak atas tanah mereka, menjelang berakhirnya HGU PT Parasawita, warga telah mengingatkan pemerintah untuk tidak memperpanjang HGU dan mengembalikan tanah kepada warga. Bukannya kepastian hak atas tanah warga yang diterima, akan tetapi kepastian hukum dalam bentuk izin HGU kepada pemegang izin baru yakni PT Rapala yang diberi oleh negara.

Kepastian terhadap hak atas tanah warga inilah yang dinanti-nanti oleh warga kampung Paya Reuhat. Bukan kepastian hukum terhadap pemegang izin HGU baru yang lagi-lagi memasukkan tanah yang diklaim oleh warga. Kepastian yang diperoleh PT Rapala, menjadi "ketidakpastian" bagi warga. Hendaknya, negara dalam menerbitkan izin HGU mengakomodir kepentingan semua pihak, sehingga tidak ada pihak yang diistimewakan hak-haknya. Apalagi negara kita bukan negara dengan sistem kapitalis yang berpaham Marxis.

Perpanjangan izin HGU kepada PT Rapala, sudah pasti mendatangkan manfaat kepada pemilik, manajemen, pekerja dan mitra bisnisnya. Tetapi, bagi warga kampung Paya Reuhat, izin HGU tersebut mendatangkan kemudharatan. Tanah yang dituntut untuk dikembalikan, tetap dikuasai oleh pihak lain yang diberikan hak istimewa oleh negara. Kemudharatan ini makin bertambah, mana kala warga yang memperjuangkan hak-haknya menjadi terdakwa. Tentu saja, ketidakpastian serta kemudharatan akibat terbitnya HGU tersebut, telah menciptakan ketidakadilan bagi warga Paya Reuhat. 

Guna menciptakan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hak atas tanah warga Paya Reuhat, izin HGU yang sudah terlanjur diberikan wajib ditinjau ulang. Pemerintah daerah beserta legislatif, harus menunjukkan keberanian dan keberpihakan kepada rakyatnya, dan berdiri digarda depan untuk menyuarakan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi warga kampung Paya Reuhat. Jika hal ini tidak dilakukan, bukan hanya praktek negara yang berpihak kepada pemodal saja yang dipertontonkan, lebih jauh lagi negara telah meninggalkan "bom waktu" yang akan meledak disuatu saat nanti. Tentu hal tersebut tidak kita harapkan. Kita lebih setuju jika warga Paya Reuhat yang dipidana dapat dikembalikan hak-haknya seperti semula, dan kepastian, kemanfaatan serta keadilan bagi warga Paya Reuhat atas tanahnya dapat segera terlaksana.

No comments:

Post a Comment