Saturday, November 22, 2008

Kota Air

Aceh kota air?
Mengapa penulis memilih judul tersebut? Tentunya hal ini merupakan perumpamaan penulis saja untuk menggambarkan kondisi alam aceh, yang hampir sepanjang tahun 2007 ini ”digenangi” oleh air alias banjir. Sehingga penyebutan Aceh sebagai kota air menurut penulis bisa menggambarkan betapa bencana ekologis seperti banjir kerab menjambangi bumi Aceh akhir-akhir ini.

Selama tahun 2006 saja, menurut catatan WALHI Aceh telah terjadi bencana banjir sebanyak 46 kali. Jumlah korban adalah, 179 orang meninggal, 200 orang hilang dan 225.163 orang mengungsi. Banjir tersebut juga menggenangi 265 ha areal pemukiman, 1.380 unit rumah, 300 sarana fasilitas umum (fasum), 390 km jalan, 34.141 ha areal sawah, 557 ha perkebunan, dan 6.665 ha areal perikanan.

Berdasarkan sumber dari Dinas PU, Satkorlak, media massa, dan data investigasi WALHI Aceh, banjir ditahun 2006 mengakibatkan kerusakan bagi 25.646 unit rumah, 157 buah fasum, 67 km jalan, 18 buah jembatan, 3 unit bendungan, 13.256 m saluran air, 6 bangunan SDA serta tanggul seluas 18.825 m.

Sampai dengan akhir November 2007 ini saja, telah tercatat 34 kali bencana banjir dan mengakibatkan lebih dari 5.000 orang mengungsi. Dan dapat dipastikan, angka kerugian yang ditimbulkan juga tidak sedikit, apa lagi kalau kita mau menjumlahkan kerugian materil dan imateril yang terjadi.

Fenomena lain yang dapat mendeskripsikan bahwa kota-kota di Aceh sarat masalah dengan air adalah pada saat turun hujan. Apa yang terjadi? Akibat turunnya hujan, terjadilah genangan air dijalan-jalan dalam kota. Hal ini disebabkan sistem drainase perkotaan yang buruk. Sebut saja kota Banda Aceh dan Lhokseumawe, hampir dipastikan jika hujan lebat turun meski sesaat, maka banyak ruas jalan yang digenangi oleh air dan mengakibatkan efek berupa “banjir lokal”.

Hal lainnya adalah secara geografis, ada beberapa wilayah perkotaan di Aceh yang posisinya sejajar bahkan ada yang lebih rendah dari permukaan air laut. Akibatnya, hampir sepanjang tahun pada saat pasang purnama tiba, sebagian wilayah kota-pun tergenang dengan air laut. Dipastikan masalah akan bertambah panjang jika waktunya berbarengan dengan turunnya hujan serta wabah penyakit yang berhubungan dengan air seperti malaria atau demam berdarah.

Bagaimana pula dengan naiknya permukaan air laut akibat dampak pemanasan global yang terjadi? Apakah Aceh akan benar-benar menjadi kota air? Secara defacto memang wilayah Aceh masih tetap akan ada, tetapi Aceh akan banyak kehilangan wilayah pesisirnya. Bayangkan saja jika dalam kurun waktu sampai 2030 terjadi kenaikan suhu bumi antara 0,5-2° C atau sampai 2070 terjadi kenaikan antara 1-7° C, yang mengakibatkan melelehnya es dikutub bumi, maka akan terjadi kenaikan air laut global sebesar 3-16 cm pada tahun 2030 dan 7-50 cm pada tahun 2070 (Preston dkk, Climate Change in the Asia/Pacific Region. CSIRO Marine and Atmospheric Research, 2006).

Bayangkan apa jadinya beberapa wilayah di pesisir Aceh. Sebut saja kalau di sekitar Kota Banda Aceh mulai dari Leupung, Lhok Nga, Ulheleue, Gampong Jawa, sampai ke Alue Naga. Dipastikan kawasan pesisir ini akan menjadi kawasan “kenangan” atau kawasan yang “tergenang” oleh air laut.


Luas Wilayah Perairan Aceh
Aceh merupakan provinsi yang dianugerahi Allah dengan sumber daya alam yang sangat kaya. Provinsi ini dialiri ­+ 73 sungai yang dikategorikan besar dan dikelompokan kedalam 15 Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari 5.193.700 ha luas daratan Aceh, sebanyak 406.474 ha atau 7,82 % dari luas wilayah daratan Aceh merupakan daerah yang tergenang terus menerus (Bappeda NAD 2005).

Bila dilihat dari sisi perairan laut, luas wilayah lautan Aceh termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mencapai 53,4 juta ha (Siaran Pers Dephut No. S32/II/PIK-1/2004). Bila dibandingkan luas daratan yang hanya 5,1 juta ha, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya Aceh kaya dengan potensi wilayah perairan yang mencapai perbandingan 1:10 antara darat dengan laut. Maka tidak salah juga jika penulis memakai terminologi Aceh sebagai kota air.

Hampir seluruh kota di Aceh terdapat aliran sungai yang membelahnya. Misalnya Kota Banda Aceh yang dilalui Krueng Aceh dan Sigli yang dipotong dengan Krueng Tukah. Lalu Kuala Simpang dengan Sungai Tamiangnya. Lhoksukon dengan Krueng Keuretoe, Pereuelak dengan Krueng Peureulak-nya atau Singkil dengan Sungai Simpang Kanan, dan masih banyak kota lain dimana posisinya dilalui oleh sungai.

Siasat Hidup di Kota Air
Kondisi alam Aceh yang seperti di sebut di atas, hendaknya membuka hati dan menggugah sikap kita semua untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, sehingga kita bisa hidup dengan aman meski berada didaerah rentan bencana.

Tentunya kita bisa melihat bagaimana rakyat Belanda berjuang untuk bersahabat dengan kondisi alam geografisnya, sehingga saat ini bisa mengendalikan kerentanan menjadi sebuah kenyamanan. Tetapi mereka melakukan semua itu dengan perjuangan yang berat, butuh waktu yang panjang, pengorbanan yang besar dan biaya yang mahal (sampai melakukan praktek kolonialisme) termasuk juga biaya menjaga dan merawatnya.

Kita berharap, kondisi lingkungan Aceh jangan sampai berubah menjadi se-ekstrim seperti gambaran di atas. Bahasa sederhananya adalah sudah saatnya kita berteman dengan semua komponen yang ada, terutama air. Kita harus sadar bahwa air, tumbuhan, manusia, satwa, adalah satu ekosistem kehidupan yang saling mempengaruhi. Jika keseimbangan tidak kita jaga, maka bencana yang akan kita terima.

Untuk itu diperlukan sejumlah strategi agar tetap dapat hidup tenang diwilayah ”kota air” seperti Aceh. Atau bahasa ilmiahnya, diperlukan serangkaian kegiatan adaptasi (penyesuaian) dan mitigasi (pencegahan) bagi kita yang hidup didaerah rawan bencana, diantaranya adalah:

Pertama adalah kita semua harus sadar tentang kondisi alam dan lingkungan yang kita tempati saat ini ternyata adalah daerah ”yang sering kedatangan air”. Untuk membuat semua orang sadar, maka pendidikan publik tentang hal ini harus terus menerus dilakukan termasuk informasi kerentanan jenis bencana yang mengancam, dampak, serta apa yang harus dilakukan untuk menghadapi atau meminimalisir dampaknya. Dalam hal ini penting juga menggali kearifan lokal (local wisdom) yang berhubungan dengan praktek adaptasi dan mitigasi terhadap kondisi alam Aceh.

Kedua, dibutuhkan juga sistem informasi dini dan mekanisme tanggap darurat bila sewaktu-waktu ”air datang dalam jumlah besar”. Hal ini termasuk juga kebijakan, kelembagaan, kemampuan sumberdaya yang ada, anggaran, serta sarana pendukung lainnya.

Ketiga, persiapan terhadap kondisi air yang akan menjadi semakin ekstrim (naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global atau banjir besar) maka dibutuhkan juga tempat-tempat penampungan sementara (evakuasi) yang layak, dan hal ini menjadi satu kesatuan dengan sistem informasi dini dan mekanisme tanggap darurat.

Keempat, menghentikan pengrusakan atau konversi kawasan yang mempunyai jasa penting untuk menyerap dan berfungsi sebagai penahan air. Kegiatan lain yang berkaitan adalah melakukan rehabilitasi terhadap kawasan yang telah rusak atau mengembalikan peruntukan kawasan sesuai fungsinya.

Kelima, infrastruktur penting yang berfungsi sebagai ”pengendali air”seperti drainase, tanggul pengaman, bendungan, pemecah ombak, mesti diperbaiki dan disesuaikan dengan kondisi alam yang ada. Dan hal tersebut harus didukung dengan anggaran yang memadai dan bukan dilaksanakan bagian utama perkotaan saja (jalan protokol atau komplek kantor pemerintah), tetapi juga didalam kawasan permukiman.

Keenam, kesemua hal tersebut di atas, harus menjadi perspektif semua orang termasuk Pemerintah dan dijabarkan kedalam kebijakan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), tata ruang, anggaran, perizinan dan kurikulum pendidikan.

Bila tidak? Mungkin kita akan menjadi sutradara, produser, atau aktor seperti film Water World yang bercerita tentang kota yang tenggelam oleh air serta bagaimana mereka yang selamat mencoba bertahan untuk hidup. Tentu kita tidak ingin anak cucu kita nanti hidup seperti kisah dalam film tersebut.

Thursday, November 20, 2008

ATAM (Aceh Tamiang Miskin)?

Banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang pada akhir Desember 2006 lalu telah mengakibatkan 52,93% penduduk tamiang miskin atau 32.204 KK dari 60.843 KK. Bencana alam ini berdampak hancurnya mata pencaharian warga terutama sektor pertanian, perkebunan dan sektor jasa. Daerah yang tergolong parah kerusakan sumber ekonominya meliputi Kecamatan Bandar Pusaka, Sekrak, Tamiang Hulu, Tenggulun, Kejuruan Muda, Kuala Simpang dan Manyak Payed. Hal mana diberitakan oleh harian ini dengan mengutip pernyataan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Aceh Tamiang, Drs. Hayatul Kamal (Serambi Indonesia, Kamis 8 Mei 2008, hal. 14).

Pernyataan bahwa kondisi penduduk Tamiang lebih dari setengah adalah penduduk miskin, dapat diartikan bahwa kehidupan hampir sebagian besar masyarakat masyarakat Tamiang pasca banjir bandang berada dibawah standar kelayakan atau dengan bahasa sederhana banyak masyarakat Tamiang saat ini hidup berkesusahan.

Tentu sangat tidak nyaman jika seseorang atau suatu daerah diberikan predikat dalam kategori miskin. Siapapun didunia ini pasti tidak ada yang bercita-cita sebagai orang miskin. Bukankah miskin lebih dekat dengan kekufuran? Bahkan dalam agama, predikat miskin mempunyai bermacam konsekwensi diantaranya berhak menerima zakat atau pihak yang harus disantuni.

Miskin juga menimbulkan tanggung jawab dari negara untuk memeliharanya. Paling tidak hal tersebut dicantumkan didalam konstitusi negara ini. Memelihara disini bukan dalam arti ”tetap mempertahankan kondisi kemiskinan yang ada” sehingga tetap terpelihara atau bahkan berkembang biak. Tetapi hal terakhir inilah yang secara fakta terjadi, kemiskinan memang dipelihara secara abadi sepanjang sejarah berdirinya negeri ini. Kemiskinan menjadi alat atau komoditi politik.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendebat tentang benar tidaknya angka kemiskinan yang dipaparkan oleh pejabat Aceh Tamiang. Karena definisi kemiskinan sangat tergantung dengan ukuran, indikator serta cara pandang yang digunakan. Tetapi, ingin melihat dari sudut yang lain dalam hal tata kuasa sumber daya alam Tamiang, sehingga bisa menjawab pertanyaan benarkah Aceh Tamiang miskin?


Mengapa Miskin?
Kembali kepada 52,93% penduduk Tamiang miskin tadi, yang menurut Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Aceh Tamiang, bencana banjir bandang yang menjadi faktor penyebabnya. Tetapi, seharusnya dicari lagi penyebab mengapa banjir bandang terjadi. Jawabnya tidak lain karena pengrusakan hutan di daerah hulu (daerah tangkapan air), alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit serta dipicu oleh tingginya curah hujan akibat perubahan iklim yang terjadi.

Mengapa masyarakat melakukan pengrusakan hutan? Jawabnya karena faktor kemiskinan yang dimanfaatkan oleh pemilik modal. Mengapa ada perkebunan yang berasal dari alih fungsi hutan? Jawabnya karena pemerintah memberikan izin atau hak-hal lain seperti Hak Guna Usaha. Mengapa terjadi perubahan iklim? Jawabnya karena banyak pihak yang mencemari udara dengan zat-zat pencemar (polutan) dan makin berkurangnya hutan sebagai penyerap karbon.

Hasil dari pencarian sebab musabab terjadinya banjir bandang di atas pada akhirnya berasal dari prilaku manusia itu sendiri. Baik yang duduk di pemerintahan, pemilik modal, pemilik perkebunan, pemilik pabrik, sampai dengan masyarakat biasa yang karena keadaannya dimanfaatkan oleh pihak lain. Artinya akibat perbuatan segelintir pihak, maka kerugian yang dirasakan jauh lebih besar dari keuntungan yang telah didapat.

Tamiang memang dikenal dengan berbagai potensi daerahnya. Dikabupaten ini terdapat sumber minyak yang sudah sejak 1928 dieksploitasi dan kemudian dikelola oleh Pertamina DOH-Rantau. Rata-rata setiap tahun kontribusi minyak bumi bagi produk domestik regional bruto (PDRB) mencapai sekitar 17 persen. Selanjutnya di kawasan ini juga terdapat banyak perkebunan dengan total luas areal perkebunan mencapai 101.179 hektar yang terbagi dalam perkebunan rakyat 23.392 hektar dan perkebunan swasta 77.787 hektar (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0403/02/otonomi/883110.htm).

Akan tetapi jika kita melihat tata kuasa dari sektor pertambangan dan perkebunan di Tamiang, maka pemilik kedua sektor ini dapat dikatakan bukan milik masyarakat Aceh Tamiang. Pertamina merupakan BUMN yang keuntungannya di bawa ke pusat, dan akan turun kembali ke Tamiang dalam bentuk dana perimbangan hasil minyak dan gas. Perkebunan yang ada, ternyata dari total luas 101.179 hektar, 77,6 % dikuasai oleh swasta atau pemodal besar, bahkan diantaranya bukan masyarakat Tamiang. Sedangkan sisanya 22,4 % merupakan kebun milik rakyat yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang pemilik kebun swasta.

Artinya adalah, bahwa penguasaan sumber daya alam di Tamiang bukan mendatangkan kemakmuran secara langsung kepada masyarakat Tamiang. Keuntungan hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Dan juga praktek penguasaan sumber daya alam yang eksploitatif telah memicu terjadinya bencana banjir yang pada akhirnya turut memberikan andil meningkatnya angka kemiskinan di Aceh Tamiang.


Perang Terhadap Kemiskinan
Kondisi yang terjadi hari ini di Tamiang hendaknya bisa menjadi pencerahan bagi para pemimpin di kabupaten Tamiang untuk menyatakan perang terhadap kemiskinan. Perang ini sedianya diwujudkan dengan perspektif bahwa memerangi pengrusakan sumber daya alam Tamiang adalah sama dengan memerangi kemiskinan.

Karena, kerusakan sumber daya alam yang berdampak datangnya bencana ekologis, telah menimbulkan beban pekerjaan yang jauh lebih mahal biaya pemulihannya. Kalau mau berandai-andai, kira-kira berapa dana yang dibutuhkan untuk memulihkan 30.204 keluarga di Tamiang yang miskin? Jika dana untuk pemberdayaan masing-masing diberikan minimal Rp. 1 juta per keluarga, maka dibutuhkan biaya paling sedikit Rp. 30 milyar untuk dana program pemberdayaan ekonomi. Tentu saja ini baru perhitungan minimal, dan semakin besar biaya pemulihan ekonomi, semakin besar pula anggaran daerah yang bakal dihabiskan. Biaya lain yang belum diperhitungkan adalah mengganti rumah, sarana ibadah, sarana pendidikan, infrastruktur jalan, jembatan, perbaikan sawah, perbaikan tambak, dan kerugian lainnya akibat bencana yang telah ditimbulkan.

Sudah cukup puluhan tahun sumber daya alam Tamiang dikuasai dan dinikmati oleh segelintar pemilik modal. Sudah waktunya, kelimpahan sumber daya alam Tamiang dapat dikelola oleh masyarakat Tamiang sendiri, sehingga kemiskinan yang saat ini mencapai angka lebih setengah dari total penduduk dapat dikurangi.

Saat ini yang diperlukan oleh masyarakat Tamiang adalah pemimpin yang dapat menyelesaikan beragam krisis yang terjadi di masyarakat. Ada masyarakat Tamiang yang puluhan tahun hidup menghirup polusi debu dan polusi bau limbah pabrik kelapa sawit. Ada masyarakat Tamiang yang kehilangan lahan dan mata pencaharian akibat sumber kehidupannya di rampas perusahaan perkebunan serta dicemari limbah pabrik pengolahan kelapa sawit. Ada masyarakat yang masih belum mendapat hak nya sebagai korban bencana yang terjadi.

Daftar masalah ini semakin panjang jika diurai satu persatu. Yang utama adalah keberpihakan Pemerintah Kabupaten Tamiang untuk menyelesaikan persoalan rakyatnya. Keberanian ini yang kita tunggu dan diharapkan mesti terjadi, dan harus juga didukung oleh aparat legislatif yang katanya mewakili rakyat, termasuk anggota DPRA asal Tamiang di level provinsi.

Dengan jumlah APBD sebesar Rp. 472 milyar tahun 2008 ini, tentunya banyak hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tamiang untuk mengatasi kemelut kemiskinan yang terjadi. Tetapi, uang publik sebesar Rp. 472 milyar tetap tidak akan berarti jika implementasi dilapangan jauh panggang dari api apalagi sampai dikorupsi.

Banda Aceh, 15 Mei 2008

Wednesday, November 19, 2008

Mulailah!

Mulailah... mulailah melakukan sesuatu, meski susah, berat, banyak tantangan, dibilang orang lain gila, mulailah... lakukan sekarang atau tidak akan pernah melakukan! Kalau hasilnya kurang memuaskan, tidak sempurna, ulangi lagi, jadikan pelajaran yang harus di ingat sampai mati...

Tulislah... tulislah apa saja tanpa memikirkan apakah akan ada orang yang akan membacanya, tulislah seperti air... seperti angin, apa saja... seperti orang belajar naik sepeda kata bang Hasudungan Sirait... kalau tidak pernah dicoba, pasti tidak akan pernah bisa. (Trims bang atas sarannya). Bukankah menulis membuat kita tidak akan lupa? Bukankah dengan menulis membuat kita melatih urat syaraf, otak, sel-sel darah, oksigen dan otot bekerja dalam tempo sepersekian detik...

Berlatihlah... berlatihlah terus tanpa pernah ada kata puas dan sombong akan kemampuan saat ini. Berlatihlah apa saja, menulis, menggambar, mendesign, mengaji, tasauf, apa saja....

Dan pada akhirnya kita akan mendapatkan sesuatu, bahwa memulai menulis dan berlatih terus dan terus akan membawa perubahan yang berarti bagi diri sendiri, orang lain atau bangsa di dunia ini.


Ruang kerjaku


19 November 2008