Monday, March 29, 2010

Mengamankan Jeda Tebang Hutan Aceh

Kurang lebih 3 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 6 Juni 2007, Gubernur Aceh telah mendeklakarasikan kebijakan jeda tebang (moratorium logging) terhadap hutan Aceh, yang dituangkan melalui Instruksi Gubernur No. 5/INSTR/2007. Dasar dikeluarkannya kebijakan ini diantaranya adalah pertimbangan frekwensi bencana ekologis yang kerap terjadi di Aceh seperti banjir dan longsor.

Ada sejumlah pertanyaan yang menggelitik terkait dengan tindak lanjut pasca pemberlakuan kebijakan jeda tebang hutan Aceh. Diantaranya adalah mengenai rencana strategis termasuk didalamnya konsep atau skenario seperti apa yang akan dijalankan? Bagaimana dengan pemenuhan kayu lokal untuk jangka pendek dan jangka panjang? Sampai kapan jeda tebang ini akan berlaku? Dan jika kesemua hal itu telah terkonsep dengan baik, bagaimana dengan sosialisasi dan rencana pelaksanaannya?

Karena, dari beberapa fakta dilapangan menunjukan meski kebijakan jeda tebang telah berjalan selama 3 bulan, beberapa aktifitas pembalakan masih terjadi. Dari beberapa liputan media saja tergambarkan masih marak terjadinya pembalakan, seperti kasus terbaru yakni 200 ton kayu hasil pembalakan liar disita kepolisian Lhokseumawe di sebuah kilang kayu di Desa Ule Nyeu, Kecamatan Banda Baru (kecamatan hasil pemekaran Nisam) Aceh Utara (situs: aceh kita.comSabtu, 22 September 2007, 17:40 WIB).

Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menujukkan masih terjadinya pembalakan adalah dengan terjadinya konflik antara satwa (gajah dan harimau) dengan masyarakat. Menurut catatan WALHI Aceh dan monitoring media, sampai dengan bulan Agustus 2007, sudah terjadi 24 kasus, dengan korban 6 orang luka/meninggal. Lokasi kejadian meliputi Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Selatan, Pidie dan Aceh Singkil.

Sedianya, kebijakan jeda tebang hutan Aceh ini harus diamankan, disusun skenario yang baik, dilaksanakan, dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan melibatkan multi pihak, sehingga tujuan akhir dari pemberlakukan kebijakan ini dapat tercapai.


Masalah Klasik
Kebijakan jeda tebang merupakan respon terhadap tata produksi dan tata konsumsi kayu yang sarat masalah. Sudah dari dulu kita mengetahui ada kesenjangan antara industri kayu dengan ketersediaan bahan baku. Akibatnya, kebutuhan akan bahan baku untuk industri kayu yang tidak terpenuhi melalui kapasitas produksi legal dipenuhi melalui aktifitas ilegal.

Kondisi ini diperburuk lagi dengan penegakan hukum disektor kehutanan, termasuk kegiatan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh instansi terkait dalam hal ini Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian dan Aparat Penegak Hukum. Seringkali alasan “pemaaf” yang diungkapkan adalah keterbatasan aparat dilapangan, kurangnya koordinasi, sampai keterbatasan dana untuk melakukan operasi pengamanan. Persoalan lain berkaitan dengan biaya adalah pengamanan dan pengangkutan barang bukti (kayu sitaan), dimana diperlukan juga biaya yang tidak sedikit.

Aneh juga melihat begitu banyak dana yang ada di Aceh, termasuk juga dana pengamanan hutan yang dikelola oleh NGO, kita masih kesulitan untuk membiayai penegakan hukum disektor kehutanan. Apakah tidak bisa disepakati oleh aparat yang bermain di ranah hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) untuk bersepakat bahwa hasil penindakan berupa kayu sitaan, dilakukan pelelangan dengan cara yang cepat, dan dari hasil pelelangan ini ada kompensasi yang dapat dibebankan untuk mengganti biaya pengamanan dan pengangkutan kayu yang diberikan kepada aparat penegak hukum atau masyarakat yang berani melaporkan atau menyerahkan kayu ilegal kepada aparat?

Masalah klasik lainnya berkenaan dengan mandulnya penegakan hukum disetor kehutanan dan bukan rahasia juga jika ada aparat kehutanan dan aparat keamanan yang bermain dan mengamankan praktek pembalakan kayu ini.


Solusi alternatif
Ada beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan untuk mengamankan kebijakan jeda tebang hutan Aceh saat ini, diataranya adalah:

• Melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan kebijakan jeda tebang hutan Aceh secepatnya dengan melibatkan multi pihak dari masyarakat, LSM, Pemerintah Kabupaten/kota, Dinas/Badan/Lembaga yang diamanahkan langsung untuk melaksanakan kebijakan. Perlu juga dievaluasi sampai sejauh mana hasil beserta indikator yang telah dicapai. Hal penting yang harus dilakukan dalam evaluasi ini adalah memberikan reward kepada pihak yang benar-benar melaksanakan kebijakan jeda tebang hutan Aceh dan memberikan sanksi kepada pihak yang lalai melaksanakan kewajibannya;

• Pengawasan dan penegakan hukum dapat dimulai dengan melakukan hal sederhana dan bisa dilakukan dengan biaya murah dan melibatkan lintas lembaga (dinas perindustrian, dinas kehutanan, Polri/POM TNI), yakni dengan membuat pos pemeriksaan titik-titik keluarnya kayu dari Aceh. Paling tidak ada 4 titik yang perlu dijaga yakni perbatasan Tamiang, Subussalam, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil.

• Redesign pengelolaan hutan hendaknya menitik beratkan juga kepada penyediaan base line data akan kebutuhan kayu lokal per kabupaten/kota dan propinsi setiap tahunnya. Selain itu diperlukan juga data mengenai industri kayu yang ada saat ini serta berapa kapasitas terpasang dari ketersediaan kayu yang bersumber dari hutan milik masyarakat dan luasan hutan produksi yang ada. Seharusnya perizinan untuk industri dan pemenuhan bahan baku kayu dikeluarkan berdasarkan hitungan tersebut. Kaitannya dengan hal ini adalah, untuk mencegah ketimpangan antara industri kayu dengan ketersediaan bahan baku.

• Dalam hal pemberian izin industri kayu dan pemanfaatan hutan oleh dinas perindustrian dan dinas kehutanan, harus ada jaminan akses publik untuk informasi perizinan yang dikeluarkan. Kedua dinas ini harus mempublikasikan izin yang dikeluarkan sehingga bisa diawasi oleh siapa saja dan akhirnya dapat mengontrol tata produksi perkayuan di Aceh.

• Yang terakhir adalah bagaimana kita membangun kesadaran kritis dari kita semua untuk berpikir dan memperbaiki tata konsumsi kita, khususnya kepada bahan yang berasal dari kayu. Sudah waktunya kita memikirkan kembali penggunaan sedikit mungkin bahan-bahan/material kayu, memakai konsep daur ulang, atau kepada sikap kritis kita pada saat akan menggunakan kayu dengan pertanyaan “apakah kayu ini legal atau tidak?”

Penutup
Tentunya kita tidak ingin inisiatif positif dari Gubernur Aceh yang telah menelurkan kebijakan jeda tebang ini akan menjadi tidak bermakna. Apalagi jika tidak diikuti dengan langkah konkrit oleh kita semua, atau akan tidak lebih bermakna juga jika nanti akan lahir kebijakan lain yang kontra produktif seperti melakukan konversi hutan untuk areal perkebunan.

Kebijakan jeda tebang memang bukan solusi final memperbaiki kondisi hutan Aceh dan pengelolaannya. Tetapi, dia akan lebih nyata jika konsep dan strategi pelaksanaanya bisa dengan cepat disusun, didesiminasikan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama. Semoga.

Jakarta, 25 September 2007

Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Aceh Magazine, Edisi November 2007

"Pekerjaan Rumah"

PR atau pekerjaan rumah yang dipahami oleh penulis pada saat bersekolah dulu merupakan rutinitas yang kadangkala cukup menyenangkan dan cukup sering membuat masalah. Menyenangkan bila proses pengerjaan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan mendapat ponten (baca: point nilai) bagus oleh guru, dan menjadi masalah jika sulit dikerjakan atau kelupaan dibuat sehingga mendatangkan ”sedikit hukuman” dikelas pada keesokan harinya.

Memang tidak ada hubungan antara PR sewaktu penulis bersekolah dulu dengan pekerjaan membangun rumah dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias saat ini. Tetapi dari bahan bacaan yang penulis pahami, bahwa pekerjaan membangun rumah bagi survivor saat ini, naga-naganya akan menjadi PR bagi Pemerintah Aceh atau bagi survivor yang belum memperoleh rumah paska berakhirnya BRR ditahun 2009 nantinya.

Mengapa penulis sampai menyimpulkan demikian? Paling tidak ada beberapa gejala yang dapat dijadikan alasan sehingga memunculkan kesimpulan seperti itu.

Bila melihat estimasi jumlah kerusakan rumah paska tsunami (menurut versi blue print ada 90.158 unit rumah, kemudian direvisi oleh Bapel BRR menjadi 120.000 unit, dan versi verifikasi Dewan Pengawas BRR 161.522 unit) dengan capaian Bapel BRR tahun 2007 (3 tahun kerja BRR) yang jumlahnya per-30 September 2007 baru mencapai 93.269 unit (yang dibangun BRR dan pihak lain), artinya masih ada PR bagi BRR untuk menyelesaikan membangun rumah sebesar 26.731 unit direntang sisa umur BRR yang akan berakhir pada April 2009.

Tentunya, jika kita memakai patokan dari hasil verifikasi Dewan Pengawas BRR, masih ada PR membangun rumah yang jumlahnya lebih besar yang ”mesti” diselesaikan oleh BRR, yakni sebanyak 68.253 unit rumah.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah disisa umur BRR yang tinggal + 16 bulan ini, BRR mampu menyelesaikan PR membangun rumah yang jumlahnya mencapai 20.000-an unit (versi Bapel BRR) atau sisa 60.000-an unit menurut hasil verifikasinya Dewan Pengawas BRR?

Dengan logika bahwa selama 3 tahun kerja (2005-2007) Bapel BRR ”hanya dapat” menyelesaikan 20.000-an rumah, adalah harapan yang sulit diterima logika jika BRR dapat berhasil menyelesaikan seluruh PR pembangunan rumah selama sisa umur kerja yang ada. Karena, paling banter Bapel BRR akan bekerja efektif hingga November 2008, dan selebihnya akan dihabiskan untuk proses audit, pelaporan dan penyerahan pekerjaan ke Pemerintah Aceh.

Jadi, tidak logis (semoga saya salah) jika kita ”memaksa” Bapel BRR untuk menyelesaikan pembangunan 20.000-an unit rumah atau jika memakai ukuran Badan Pengawas BRR ada sisa 60.000-an unit rumah yang harus diselesaikan. Hal mana belum lagi kalau kita berbicara persolaan kualitas dan sarana dasar pendukung rumah yang selesai dibangun, sehingga layak dikatakan sebagai rumah yang aman dan nyaman bagi survivor. Juga kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi disektor lain yang membutuhkan perhatian serius dari Bapel BRR untuk segera diselesaikan.


Belajar dari kekacauan, cermin kedepan
Penulis berpendapat bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan buah dari kekacauan yang terjadi dimasa lalu. Demikian juga dengan PR untuk membangun rumah bagi survivor saat ini. Sekedar melihat kebelakang ada beberapa persoalan yang terjadi dan mempengaruhi proses yang terjadi saat ini.

Masih segar diingatan penulis beberapa bulan setelah tsunami terjadi, saat itu Bappenas tengah menyusun konsep blue print rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias. Dalam salah satu konsepnya disebutkan bahwa akan menarik ”garis aman” sejauh 2 km dari garis pantai.

Konsep ini menimbulkan berbagai respon dari survivor saat itu, diantaranya ada yang menolak karena sumber kehidupan mereka ada dipinggir pantai dan laut serta faktor geografis wilayah yang tidak semua daerah sama, sehingga jika harus mundur 2 km dari pantai maka mereka harus hidup di atas bukit-bukit yang curam dan tinggi atau ketiadaan lahan. Sehingga ramai-ramai membangun kembali pemukiman darurat di bekas tapak rumah yang ada.

Bagi yang menerima konsep ini muncul persolaan baru, jika harus mundur 2 km dari pantai, dimana lokasi mereka akan membangun kembali rumah tinggalnya? Hal ini yang tidak terjawab, sehingga survivor kembali lagi membangun rumah dibekas areal lahan milik mereka.

Solusi dari pemerintah saat itu adalah membangun barak-barak hunian sementara bagi survivor. Lokasi barak pun tersebar, ada yang didekat tempat tinggal semula ada juga yang berada jauh dari tempat tinggal awal survivor.

Bagi surivor yang tidak nyaman dibarak serta ada kekuatiran akan kehilangan akses serta tidak adanya jaminan kepada lahan yang tersisa, maka mereka memilih untuk tetap membangun rumah darurat di lokasi awal. Bagi yang lahannya sudah hilang sama sekali, dengan terpaksa hidup dibarak pengungsian sambil menunggu kepastian nasib mereka.

Melihat gejala ini, lembaga kemanusiaan yang bekerja di Aceh-Nias merespon dengan mulai pembangunan rumah bagi survivor. BRR yang terbentuk ditahun 2005 juga ikut merespon hal yang sama dan dimulailah proyek pembangunan rumah oleh Bapel BRR. Perencanaanpun dibuat dan seperangkat aturan disiapkan untuk mempermudah proses tanpa tender sehingga diharapkan dapat memotong jalur birokrasi.
Apa yang terjadi kemudian? Tenyata harga per-unit rumah yang ditetapkan sangat murah dan berbeda jauh dari harga pasar yang berlaku saat itu. Akibatnya, rumah yang selesai secara kualitas sangat rendah dan banyak pula yang ditelantarkan oleh kontraktor pelaksana.

Persoalan lainnya adalah mengenai data berapa kebutuhan rumah yang akan dibangun. Paling tidak ada 3 versi kebutuhan akan rumah, yakni versinya blue print, versinya Bapel BRR dan terakhir versinya Dewan Pengawas BRR. Silang sengkarut persoalan data ini tentu mempengaruhi pada proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan rumah yang akan dilaksanakan.

Membangun tanpa merusak merupakan hal yang diharapkan terjadi didalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias. Berkaitan dengan proses pembangunan rumah pertanyaan kritisnya adalah darimana sumber kayu yang akan dipakai? Bagaimana menjamin bahwa kayu yang dipakai berasal dari sumber yang legal dan bukan berasal dari sumber yang merusak? Selanjutnya bagaimana dengan pemenuhan bahan lain seperti batu kerikikil dan pasir? Apakah sumber tersebut meski diperoleh secara legal tetapi cara-cara produksinya dilakukan tanpa merusak?

Hal ini disikapi secara beragam oleh pihak-pihak yang terlibat didalam proses pembangunan rumah. Ada yang sangat peduli bahkan melakukan proses import dari luar untuk mendatangkan material demi terwujudnya ”membangun tanpa merusak”, tetapi banyak juga yang menutup mata seolah-olah tidak ada masalah dengan semua hal tersebut.

Daftar masalah berkaitan dengan rumah bagi survivor ini menjadi bertambah panjang jika kita melihat dari sisi kualitas bangunan dan sarana pendukung dasar seperti air bersih, listrik, sarana pembuangan, akses jalan, sarana mitigasi bencana dan sarana sosial lainnya seperti rumah ibadah atau ruang publik lainnya. Memang tidak semua rumah yang dibangun dimasa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias bermutu buruk, ada juga rumah yang dibangun dengan kualitas baik dan memiliki sarana pendukungnya. Tetapi jika dibandingkan diantaranya, maka jumlah yang ”buruk” jauh lebih banyak ketimbang yang baik.

Dari sisi mitigasi bencana, idealnya pembangunan rumah harus memperhitungkan ancaman bencana yang akan terjadi. Terutama bagi rumah-rumah yang berada didalam kawasan risiko bencana yang tinggi. Misalnya rumah-rumah yang berada dipinggir pantai dimana sangat rentan akan bencana gelombang pasang dan tsunami. Apakah sudah tersedia sarana mitigasi bencana seperti tanggul penahan ombak, saluran pembuangan, akses jalan ke tempat yang aman atau tempat perlindungan jika terjadi tsunami (escape hill atau escape building)? Karena, fakta menunjukkan pada saat terjadi gelombang pasang pada tahun 2007 ini saja, banyak rumah-rumah bantuan yang berada dipesisir pantai Aceh terkena gelombang pasang dan rusak karenanya.

Selain hal tersebut di atas, ada juga kendala lain mengapa proses pembangunan rumah tidak berjalan sesuai dengan harapan yakni persoalan distribusi material dikaitkan dengan kondisi geografis wilayah terutama yang berada dikepulauan dan pantai barat-selatan Aceh. Ditambah juga dengan persoalan sarana pendukung transportasi seperti jalan dan jembatan yang kadang kala tidak dapat dilalui sehingga memperlambat proses pembangunan.

Pelajaran penting lainnya yang dapat dijadikan cermin dikemudian hari adalah bahwa tidak semua proses pembangunan baik itu rumah atau sarana lainnya didasarkan kepada perencanaan tata ruang yang mengadopsi prinsip-prinsip mitigasi bencana. Sehingga apa yang terjadi hari ini menggambarkan bagaimana korelasi daftar persoalan di atas menjadi suatu persoalan dan menjadi PR kita bersama, terutama bagi kita yang nantinya akan tetap tinggal dan hidup diwilayah ini.


Home Sweet Home
Home sweet home kata orang Inggris yang terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini ”rumahku istanaku” atau ”biar jelek, yang penting rumah sendiri”. Esensi sebuah rumah kira-kira adalah tempat berkumpul penghuninya, tempat berteduh dari gangguan cuaca, tempat berisitirahat, tempat melakukan kegiatan kerumahtanggaan, tempat membesarkan keluarga, dan tempat bereproduksi. Tentu sebagian orang bisa berpendapat lain tentang hakikat sebuah rumah bagi mereka.

Berdasarkan standar minimum bantuan kemanusiaan, pentingnya tempat hunian adalah sebagai sarana penyedia keamanan dan keselamatan pribadi, perlindungan dari iklim dan menguatkan daya tangkal terhadap gangguan kesehatan dari penyakit. Oleh karenanya bantuan tersebut seharusnya:
• Mengintegrasikan kemandirian dan swakelola;
• Meminimalisir dampak negatif jangka panjang terhadap lingkungan;
• Memungkinkan memperoleh kegiatan pendukung penghidupan.

Tempat hunian bagi survivor yang dibangun paling tidak mengadopsi hal-hal sebagai berikut:
• Ketersediaan pelayanan, sarana dan infrastruktur;
• Murah, layak huni dan patut secara budaya;
• Akses ke barang dan jasa, sumber daya alam, dan kebutuhan dasar lainnya;
• Ruang yang memadai (menjamin privatisasi), perlindungan dari udara dingin, terik matahari, kelembaban, hujan angin dan ancaman terhadap kesehatan;
• Bahan yang digunakan adalah bahan yang aman.

Atau secara sederhana bahwa rumah yang dibangun adalah rumah yang aman bagi survivor, termasuk aman dari sisi lokasi, aman penggunaan material yang pakai, aman dari gangguan cuaca, aman secara teknis pembangunannya serta aman dari penggusuran paksa.

Apakah ada rumah yang dibangun tidak aman? Bila melihat prinsip-prinsip di atas dan dibandingkan dengan fakta yang terjadi, Penulis ada merekam beberapa kasus tentang rumah yang dibangun secara tidak aman alias menampikan beberapa prinsip pembangunan rumah yang aman bagi survivor.

Salah satu kasusnya adalah kasus rumah bantuan berbahan asbes oleh Yayasan Bakrie di Desa Deyah Raya sebanyak 204 unit. Dalam aturan yang dikeluarkan oleh BRR NAD-Nias jelas disebutkan larangan penggunaan material asbes untuk pembangunan rumah. Masyarakat Deyah Raya sendiri sudah beberapa kali menggelar pertemuan dengan pihak Bapel BRR NAD-Nias yang tujuannya agar rumah bantuan tersbut diganti dengan rumah lain yang materialnya aman secara lingkungan dan kesehatan penghuninya. Bahkan DPRD Kota Banda Aceh juga mendukung langkah masyarakat Deyah Raya tersebut, tetapi sampai saat ini kelihatannya BRR masih enggan mengganti rumah yang tidak aman tersebut karena menurut hasil riset konsultan ”sukarela” BRR yang berasal dari Australia, penggunaan asbes pada rumah bantuan Yayasan Bakrie masih dalam kategori aman sehingga tidak perlu diganti.

Benarkah demikian? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, karena efek negatif dari pencemaran asbes baru muncul 10-20 tahun yang akan datang. Tetapi sebagai gambaran, diberbagai negara seperti Jepang telah melarang penggunaan material asbes. Larangan ini muncul dikarenakan maraknya kasus penyakit yang berkaitan dengan asbes. Apakah kita akan menunggu jawabannya sampai 10-20 tahun lagi? Apakah kita tega menjadikan masyarakat Deyah Raya atau masyarakat lain yang bernasib sama sebagai kelinci percobaan dari politik bantuan ini?

Menyelesaikan PR yang tersisa
Kembali kepada persoalan PR pembangunan rumah di atas, ada beberapa alternatif skenario yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan PR tersebut. Skenario pertama adalah BRR jangan memaksakan diri untuk menyelesaikan pembangunan rumah sebesar 20.000 unit dalam rentang waktu sisa umurnya. BRR hendaknya memprioritaskan pembangunan rumah yang paling mungkin direalisasikan ditahun 2008 ini, dan sisanya diserahkan kepada Pemerintah Aceh atau kepada pihak lain yang masih berminat.

Skenario kedua adalah, belajar dari 3 tahun kerja BRR yang ”baru sukses” membangun rumah sebanyak 20.000-an unit, artinya strategi untuk percepatan pembangunan rumah harus diganti dengan strategi lain, misalnya mendatangkan pekerja untuk membangun rumah dari baik dari Aceh atau dari luar Aceh secara massal, artinya proses tender dan kontrak seperti diamanatkan dalam Keppres 80/2003 perlu direvisi dengan alasan mendesak dan demi kemaslahatan umat.

Skenario ketiga adalah ditahun 2008 yang akan datang, BRR mencurahkan semua sumber daya dan tenaga yang ada di BRR, untuk difokuskan membangun rumah dan sarana dasar pendukungnya saja. Konsekwensi dari skenario ini adalah, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di sektor lain diserahkan dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan bisa langsung diserahkan;

Skenario keempat adalah BRR menyerahkan semua pekerjaan pembangunan rumah yang belum selesai kepada Pemerintah Daerah, dan BRR hanya memfokuskan diri untuk memperbaiki rumah-rumah yang ”bermasalah” dan membangun kebutuhan dasar rumah yang telah dibangun saat ini. Demikian juga dengan sektor lainnya, BRR hanya menyelesaikan sisa pekerjaan yang belum selesai dan akan bisa selesai ditahun 2008 nanti.

Skenario terakhir adalah dengan memperpanjang umur BRR sampai semua pekerjaan yang berkaitan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi yang menjadi PR bagi BRR telah selesai dilakukan.Tetapi hal ini sebuah pilihan sulit dan sarat fitnah bila nantinya dikaitkan bahwa BRR ”berlama-lama membangun di Aceh karena mengharapkan proyek dapat berlangsung lama sehingga renumurasi yang menggiurkan dapat pula berlama-lama masuk kekantong pekerjanya” atau ”dengan berlama-lamanya BRR sebagai perpanjangan tangan Pemerintah di Aceh, merupakan bentuk ketidakpercayaan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh untuk bekerja membangun daerahnya sendiri”. Tentu hal ini yang bukan kita harapkan terjadi nantinya.


Banda Aceh, 6 November 2007