Friday, March 4, 2016

Berebut Sumur Minyak Pertamina

Beberapa waktu lalu, ada demo masyarakat yang katanya "menggoyang" kantor Bupati dan DPRK Aceh Tamiang. Isu yang dinaikkan adalah, seputaran rencana Kerja Sama Operasi (KSO) pengelolaan minyak oleh BUMD Tamiang dengan PT Pertamina EP.

Tuntutan pendemo adalah, agar KSO tersebut dapat segera terealisasi, sehingga terbukalah kesempatan kerja bagi putra-putri Tamiang, dibidang gali-gali minyak ini. Sempat juga disinggung-singgung mengenai "sumur tua" warisan Belanda agar dikelola juga.

Demo yang menghadirkan lebih kurang 600-an massa ini, bisa dikatakan "cukup sukses". Terlihat dari massa yang hadir, orator yang sangat bersemangat, dan fasilitas pendukung aksi demo, seperti sound system, makan siang dan tentu saja " transportasi".

Tetapi, demo tidak merambah hingga ke PT Pertamina EP. Padahal, tak jauh dari kegiatan demo kemarin, di Rantau masih berdiri kokoh komplek perkantoran, perumahan, dan fasilitas produksi minyak, yang dikelola oleh PT Pertamina EP Asset I, Rantau Field. Jadi, serasa ada yang kurang. Ibarat sayur tanpa garam. Mungkin para pendemo "lupa" memperhitungkan, atau akan menjadikan Pertamina EP sebagai lokasi demo berikutnya. Siapa tahu?

Nafsu Besar Tenaga Kurang
Semangat untuk mengelola minyak patut kita berikan apresiasi. Karena, sekitar bulan Desember 2014 lalu, Bupati Aceh Tamiang telah melantik jajaran direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh Tamiang. Diantaranya adalah PT Petro Tamiang Raya dan PT Kwala Simpang Petroleum.
 
Dua BUMD ini dipersiapkan untuk bekerjasama dengan Pertamina EP, dalam pengelolaan minyak. PT Kwala Simpang Petroleum bakal mengelola sumur minyak tua warisan Belanda, dan PT Petro Tamiang Raya untuk mengelola "sumur muda" yang ada di blok Kuala Simpang Barat dan Kuala Simpang Timur.

Seperti tuntutan para pendemo, memang dua BUMD minyak ini, dibentuk dengan tujuan utama mendulang rupiah bagi pendapatan asli daerah, serta menciptakan lapangan kerja. Tetapi, bisnis minyak bukan bisnis "ecek-ecek". Bisnis jutaan dollar.  Bisnis ini memerlukan modal yang fantastis.
Penyertaan modal pada tahun pertama BUMD yakni Rp. 250 juta, ibarat "menggarami lautan". Jika ditukar dengan dollar, kurs sepuluh ribu, jumlahnya hanya US $ 25.000. Dana " sebesar" inipun dalam beberapa bulan saja sudah "tewas". Operasional kerja, gaji direksi, komisaris dan pegawai BUMD, dibayar dari penyertaan modal tersebut.

Tahun kedua, hanya BUMD PT Petro Tamiang Raya yang mendapat tambahan penyertaan modal. Jumlahnya pun masih "ecek-ecek", yakni Rp. 200 juta saja. PT Kwala Simpang Petroleum tidak disetujui tambahan modalnya. Alasannya sederhana, seperti lagu Ayu Ting-Ting "Alamat Palsu", alias alamat kantor tak jelas dimana. Baru, setelah penyertaan modal tak dikucurkan, ada plang nama BUMD ini di salah satu ruko, dekat pertigaan rumah sakit, Kampung Kesehatan.

Jadinya, ya seperti sub judul di atas. "Nafsu besar tenaga kurang". Disatu sisi BUMD dituntut untuk terjun dalam bisnis jutaan dollar, tetapi modal yang dikucurkan sangat tidak sebanding dengan kinerja yang diharapkan. Hal ini belum ditambah lagi dengan masalah kemampuan manajerial dan teknis di bidang minyak. Wajar jika muncul rasa "pesimistis" ketimbang "optimistis".

Hal tersebut akan berbeda jika memang secara hukum, lapangan minyak yang ada di Tamiang, memang sudah menjadi milik Kabupaten Aceh Tamiang. Nah ini, lapangan minyak yang ada, termasuk sumur minyak tua, masih dikuasakan pengelolaannya oleh Pertamina EP. Tentu, jika BUMD ingin masuk kedalam permainan, ya ikut aturan main " joint operation body-nya Pertamina.

Berebut Sumur
Nah ini yang menggelikan dan membuat jajaran elit Pertamina di Jakarta penuh tanda tanya. Tadinya, yang disetting mengelola "sumur minyak tidak tua" adalah PT Petro Tamiang Raya. Sedangkan PT Kwala Simpang Petroleum mengelola "sumur minyak tua".

Akan tetapi, dalam perjalannya, cerita berubah 360 derajat. PT Kwala Simpang Petroleum-lah yang mendapat full support untuk meneruskan pengelolaan blok minyak di Tamiang. PT Petro Tamiang Raya, di " black list", meski masih saudara sekandung BUMD minyak, dan terhitung sebagai "anak kandung" Bupati Tamiang.

Kesan yang timbul di jajaran elit Pertamina EP adalah,  telah terjadi "saling rebut sumur minyak, oleh sesama BUMD Aceh Tamiang". Mengapa skenario bisa berubah dibagian akhir cerita? Ini yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Bagi yang tahu ujung pangkal cerita, hanya senyum-senyum saja. Bagi yang tidak, tentu masih meraba-raba, apa kira hal gerangan, dengan minyak di bumi Muda Sedia.

Demo "isu minyak" tempo hari di Tamiang, bagi yang jeli, bisa menyimpulkan perebutan sumur minyak oleh BUMD Aceh Tamiang sudah demikian hebatnya. Jika ingin dibelokkan isunya, tentu "video aksi demo", setelah di edit, bisa diserahkan ke Pertamina, untuk " menakut-nakuti" atau mengatakan bahwa, "masyarakat Tamiang mendukung kerja sama operasi antara BUMD dan Pertamina. Lihat masyarakat sudah tak sabar".

Solusi bagi masalah "perebutan sumur minyak ini", sebenarnya tidaklah begitu sulit. Tinggal keberanian dan ketegasan dari Bupati Aceh Tamiang, selaku pemegang saham mayoritas di BUMD. Pilihannya adalah, melebur dua BUMD minyak ini menjadi satu, atau bubarkan saja salah satunya. Jajaran direksi atau komisaris yang " keras kepala", tinggal di ganti dengan orang yang berkualitas dan bisa diajak bekerja sama.

Jika tidak? Perebutan sesama BUMD minyak ini, akan berujung kepada kondisi "ketidakpastian". Pertamina EP akan bermain aman dengan alasan " tunggu saja hingga Badan Pengelola Migas Aceh terbentuk". Jika ini akhir ceritanya, seluruh proses akan mulai dari awal lagi. Stakeholders akan bertambah, dan inilah Temieng punye cerite.

No comments:

Post a Comment