Saturday, March 12, 2016

Politik Kemunafikan

Sebutan apa yang paling pas, untuk mengatakan tingkah polah individu, baik yang berstatus anggota legislatif maupun menduduki jabatan elit birokrasi (eksekutif), yang kerap kali "mengelabui" dalam hal tindak-tanduk, janji dan kepercayaan publik yang dimandatkan kepadanya?

Munafik. Ya, munafik. Dimana jika berjanji sering ingkar, jika berkata penuh dengan kedustaan, dan jika diberikan kepercayaan akan berkhianat. Tiga serangkai ciri kemunafikan itu, menurut saya bukan "kumulatif",  tetapi cukup salah satu terpenuhi saja (alternatif), maka sudah bisa dikategorikan sebagai "orang yang munafik".

Perilaku kemunafikan ini, kini setiap hari dipertontonkan kepada publik. Lihat saja tayangan " tabung gambar" alias televisi. Bagaimana elit birokrasi dan politik, memainkan peran "kemunafikan berpolitik". Kemarin berteman akrab, hari ini musuh, besoknya " berselingkuh" kembali. Hari ini berkata "benci", esok lusa sudah tertawa-tawa, dan esoknya lagi, saling mencaci. Sebelum "jadi" penuh janji dan mimpi-mimpi, setelah "jadi" lupa diri dan mengingkari.

Politik kemunafikan ini yang kemudian "ditangkap" secara "bulat-bulat" oleh publik, dan meyakininya dalam suatu frasa sederhana. "Jika elit politik dan birokrat mengatakan hal yang positif, maka sesungguhnya yang terjadi adalah hal yang negatif". Demikian juga sebaliknya, jika mereka berkata "tidak", maka sesungguhnya yang terjadi adalah "benar". Jadi, seperti lagunya Ahmad Albar, semua orang bermain peran dalam sebuah panggung sandiwara dengan judul "kemunafikan".

Daya Rusak Politik Kemunafikan
Politik yang penuh dengan kemunafikan ini, tentu bukan perbuatan yang terpuji, apalagi patut ditiru. Akan tetapi, karena hampir setiap saat dipertontonkan, masyarakat, politikus serta aparat birokrat yang " masih baik" pun akhirnya terbawa kedalam pusaran permainan politik kemunafikan ini.

Level pertama dari daya rusak politik kemunafikan ini adalah hilangnya rasa percaya atau distrust. Masyarakat tidak percaya dengan wakilnya di legislatif. Warga negara tidak percaya dengan pemimpinnya yang menjalankan roda  pemerintahan. Demikian juga sesama alat lembaga negara.

Kepercayaan menjadi sesuatu yang "sangat mahal". Apalagi dalam dunia politik. Dunia yang sering diartikan sebagai "siapa dapat apa, kapan dan bagaimana?". Konsensus yang ingin dibangun sesama pemain politik pun, jadi terganjal akibat "rasa ketidakpercayaan ini". Jika sapi bisa dipegang talinya, nah kalau manusia, apa perkataannya bisa dipegang? Apalagi perilaku "cakap tak serupa buat" acap kali diperlihatkan, membuat "kepercayaan" adalah barang langka dengan label limited edition.

Level selanjutnya dari daya rusak "politik kemunafikan" adalah "disorientasi". Disorientasi dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai " kekacauan kiblat atau kesamaran arah tujuan". Publik, yang kemudian ingin aktif sebagai elit politik atau elit birokrasi,  muncul "orientasi baru" yakni, harus menjadi "golongan orang munafik. Sehingga adalah "lumrah" jika telah menjadi pejabat politik atau penguasa birokrasi, berdusta, ingkar janji dan berkhianat".

Tujuan awak berpolitik dan bertugas sebagai pejabat pelayan publik, berubah arah menjadi praktek "kong kali kong" untuk merampok rame-rame (pok ame-ame) hak publik atas pelayanan yang baik,  melalui kue pembangunan, yaitu anggaran.

Akibatnya adalah, munculnya kelompok "pok ame-ame" baik dalam struktur aparat birokrasi pemerintahan dan legislatif. Kelompok ini juga terafiliasi dengan pemain lain yang berwujud pengusaha atau elit ekonomi. Lantas apa yang dilakukan oleh rakyat? Rakyat kehilangan orientasinya juga. Lihat, dalam perhelatan ajang demokrasi, rakyat secara terang-terangan akan "memilih mereka yang bayar". Ajang pemilihan kepala daerah atau pemilihan wakil rakyat, berubah menjadi ajang "pesta bagi-bagi uang".

Kalau dua level diatas sudah terjadi, maka level akhir adalah timbulnya "disintegrasi" atau perpecahan bagi bangsa ini. Jika kondisi ini yang terjadi, maka bagi pihak manapun yang ingin "menghancurkan", pintu sudah terbuka lebar.

Beberapa gejala "disintegrasi" ini sudah muncul tanda-tandanya. Masyarakat sangat mudah diprovokasi melalui isu tertentu untuk melakukan perilaku yang dulunya sangat-sangat jarang terjadi. Perkelahian antar kampung atau antar warga karena hal-hal sepele, adalah salah satunya. Demikian juga dengan munculnya pengikut kelompok atau organisasi dengan ajaran atau kepercayaan yang aneh-aneh, mendapat tempat di hati masyarakat.

Jika ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka tidak tertutup kemungkinan, riwayat negara ini akan tamat. Tetapi, sebelum terlambat, daya rusak "politik kemunafikan" ini masih bisa dicarikan obat penawarnya. Tinggal pertanyaannya, saya, anda, dan kita semua, mau atau tidak melakukannya?

Stop Politik Kemunafikan
Menghentikan agar praktek politik kemunafikan ini stop total, sebenarnya gampang. Yaitu, "berhentilah menjadi orang munafik. Berhentilah berdusta, ingkar janji dan berkhianat. Jadilah pribadi yang jujur, amanah dan setia".

Jika anda saat ini adalah kepala daerah  atau anggota legislatif, "buatlah seperti yang anda cakap dulu, pada saat kampanye". Jika anda berposisi sebagai rakyat, jadilah rakyat dan warga yang baik. Jangan memilih pemimpin atau wakil anda, yang masuk kedalam golongan orang munafik. Jika anda pengelola partai politik, tanamkan sifat-sifat jujur, amanah dan setia kepada kader. Usunglah calon pemimpin dan calon legislatif yang bukan termasuk kaum munafik.

Bagi anda yang saat ini masuk atau menjadi aktor politik kemunafikan, segeralah bertobat dan meminta maaf kepada korban kebohongan, penipuan dan penghianatan anda. Rubahlah cara hidup, bermasyarakat, berpolitik, berbangsa dan bernegara, menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan setia.

Terakhir, jika anda bukan termasuk kedalam golongan atau pendukung setia "politik kemunafikan", pertahankan dan tularkanlah "semangat anti politik kemunafikan" ini, kepada teman, kolega, kerabat, keluarga dan masyarakat secara luas. Ingat, perilaku "politik kemunafikan", sudah terjadi dengan "terstruktur, tersistem dan massif". Sehingga, untuk melawannya, diperlukan juga pendekatan yang sama, dan tentunya harus berkesinambungan.

No comments:

Post a Comment