Thursday, January 28, 2016

Pusaran Elit Kekuasaan

C. Wright Mills, seorang sosiolog asal Amerika, melakukan penelitian tentang adanya suatu kelompok elit penguasa, yang ternyata, terjadi dinegaranya.  Amerika Serikat yang digadang-gadang sebagai negara pelopor nilai-nilai kebebasan demokrasi, apa dinyana, secara “tidak sengaja” telah melahirkan kelompok ini.
 
Penelitian Mills membuktikan, meskipun dilakukan pemilihan umum yang demokratis, ternyata kelompok elit penguasa, selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini, yang merupakan kelompok elit di daerah tersebut, menguasai jabatan negara, jabatan militer dan posisi-posisi kunci dalam perekonomian. Kelompok ini berasal dari keluarga-keluarga kaya di daerah itu, yang mengirimkan anak-anak-mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama, yang kemudian berkarir didunia politik, ekonomi dan militer. Semua ini teriadi secara alamiah, tidak ada yang mengaturnya secara terencana.
 
Tidak saja di Amerika, berkaca kepada Indonesia, pusaran elit kekuasaan ini dapat terlihat secara kasat mata. Dalam dunia perekonomian, beberapa tokoh kunci yang saat ini menguasai jalur bisnis produksi dan jasa, adalah mereka-mereka yang berasal dari keluarga atau kelompok yang sama. Dunia politik pun demikian adanya. Dapat ditarik secara garis keturunan, beberapa elit politik berasal dari keturunan yang telah menguasai atau tampil sebagai penguasa, baik dimasa lalu atau saat sekarang. Bagaimana dengan militer? Terjadi juga hal yang serupa.
 
Buktinya? Lihat saja bagaimana kelompok bisnis keluarga Kalla, Bakrie, atau Paloh atau Hari Tanu atau keturunan Soeharto. Politik? Bisa dilihat tampilnya keturunan Soekarno, mulai dari Megawati hingga Puan Maharani. Atau SBY yang estafetnya di Demokrat diteruskan oleh Ibas Yudhoyono. Bisa dilacak juga anggota legislatif yang nota bene adalah keturunan dari penguasa atau pebisnis nasional atau daerah. Militer? Meşki jenjang karier di militer termasuk kepolisian ada proses didalamnya, dapat dilacak, jabatan elit di kemiliteran dan kepolisian akan lebih mulus jika yang tampil sebagai top leader, berasal dari kelompok elit penguasa. Bahkan tokoh-tokoh kunci yang menguasai ekonomi, berupaya juga menguasai politik. Mereka yang telah berkuasa secara politik, menempatkan kelompok mereka pada jabatan strategis di militer.
  
Desentralisasi Elit Kekuasaan
Pusaran elit kekuasaan tidak hanya terjadi pada level nasional. Turun satu tangga ke wilayah provinsi, fenomena pusaran elit kekuasaan telah dibuktikan keberadaannya. Tentu masih ingat Gubernur Banten, Ratu Atut. Selain terkenal karena perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, Ratu Atut dikenal sukses membangun pusaran elit kekuasaan di Provinsi Banten. Pada wilayah dibawahnya, yaitu kabupaten/kota, beberapa wilayah kabupaten/kota dalam Provinsi Banten dikuasai oleh keluarga besar Ratu Atut. Jika saja tidak keburu ditangkap KPK, diyakini pusaran elit kekuasaan Ratu Atut akan meluas diseluruh Provinsi Banten.
 
Bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia? Apakah fenomena pusaran elit kekuasaan ini terjadi juga? Untuk menjawab secara ilmiah, tentu diperlukan riset khusus mengenai hal tersebut. Menarik, jika melihat seorang Zumi Zola, mantan Bupati Tanjung Jabung Timur, sebuah kabupaten di Provinsi Jambi, yang kemudian terpilih menjadi Gubernur Jambi pada pilkada 9 Desember 2015 lalu. Selain mantan pemain sinetron dan kegantengannya, ternyata Zumi adalah putra dari mantan Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin dua periode (1999-2004 dan 2005-2010). Apa yang terjadi di Jambi dan Banten, paling tidak, secara sederhana dapat dikatakan,  pusaran elit kekuasaan, tidak hanya terpusat di Jakarta, tetapi ibarat “desentralisasi”, juga terjadi di daerah.

Elit Kekuasaan di Aceh Tamiang  
Mengutip hasil penelitian Mills mengenai elit kekuasaan, yaitu jabatan elit pada bidang ekonomi, politik dan militer yang berasal dari kelompok yang sama, maka dalam konteks Aceh Tamiang sebagai kabupaten yang baru menginjak usia ke-14 (empat belas) ditahun 2016 ini, terhadap elit kekuasaan yang terafiliasi pada militer akan sulit terlacak. Lain halnya jika berbicara pada bidang ekonomi dan politik, maka pusaran elit kekuasaan tersebut, sedikit demi sedikit mulai menampakkan eksistensinya.
 
Sebut saja beberapa pengusaha dibidang perkebunan, perdagangan dan jasa, atau yang terafiliasi secara kepentingan bisnis atau berdasarkan hubungan keluarga, berhasil mendudukkan anggota kelompoknya sebagai Bupati dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang. Jika menggunakan “Teori Elit Kekuasaan” yang dikemukakan  oleh C. Wright Mills, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa tokoh-tokoh kunci pada elit ekonomi dan elit kekuasaan di Aceh Tamiang, berasal dari kelompok yang sama, yakni kelompok yang memang menguasai perekonomian di Aceh Tamiang.
 
Kelompok-kelompok ini secara fisik masih terkotak-kotak. Tetapi meminjam istilah “kelas” dari Teori Kelas-nya Karl Marx, berasal dari kelas yang sama, yakni “Pemilik Modal”. Secara kuantitas jumlahnya sedikit, tetapi mengontrol “Kelas Pekerja” yang mayoritas.  Jika kelompok ini kemudian bersatu, dan mengorganisir dirinya seperti apa yang dilakukan oleh Ratu Atut di Banten, maka dipastikan menjadi kekuatan yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik di Aceh Tamiang.
 
Tetapi, konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan RI di Aceh, yang kemudian melahirkan Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA), memunculkan satu kelompok lain yang menambah dinamika dalam pusaran elit kekuasaan di Aceh, termasuk Aceh Tamiang. Jika dulunya pemain hanya mereka yang berada dikelompok elit ekonomi dan politik, untuk konteks Aceh Tamiang, KPA dan PA merupakan kelompok yang mesti diperhitungkan.
 
Hal ini akan terlihat pada pemilhan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang pada 2017 yang akan datang. Apalagi dinamika pada Pilkada Aceh Tamiang sebelumnya, KPA dan PA ternyata telah “membuat repot” kelompok elit ekonomi dan politik. Tentu, keberhasilan yang tertunda dari kelompok ini akan menjadikan ajang Pilkada 2017 sebagai penebus rasa penasaran dan pengembalian marwah, bahwa mereka mampu merebut kekuasaan di Aceh Tamiang. Demikian juga dengan pusaran elit kekuasaan saat ini, baik di Jakarta maupun di Aceh Tamiang sendiri. Elit kekuasaan politik di Jakarta, akan mendorong kadernya untuk maju. Demikian juga petahana yang merupakan reprensentatif elit ekonomi di Aceh Tamiang, tentu akan mempertahankan pusaran kekuasaannya dengan alasan konsistensi terhadap keberlanjutan program pembangunan.
 
Pusaran Elit Kekuasaan oleh satu kelompok saja, akan menyebabkan perselingkuhan yang melahirkan keuntungan bagi kepentingan kelompok tersebut saja. Seperti yang dikatakan oleh C. Wright Mills ”Apabila negara selalu dikuasai oleh orang-orang yang datang dari satu kelompok yang sama, sangat mungkin negara akan cenderung melayani kepentingan kelompok tersebut”. Jadi, tujuan awal bernegara untuk mensejahterakan rakyat, akan berubah menjadi “mensejahterakan kelompoknya saja”.
 
Bagaimana dengan birokrasi pemerintahan di Aceh Tamiang? Apakah pusaran elit kekuasaan juga telah menghasilkan suatu kelompok elit birokrasi yang berasal dari kelompok yang sama? ini hal menarik untuk didiskusikan dilain kesempatan.
 
 

No comments:

Post a Comment