Saturday, October 11, 2014

Membumikan PANCASILA

Membumikan Pancasila. Memangnya Pancasila tidak membumi lagi? Tulisan ini beranjak dari print out presentasi Dr. L.M Hayyan Ul Haqq, Pengajar di Universitas Utrecht, Belanda, yang berjudul "Institusionalising Pancasila- Based Autonomous Counsiuosness Towards Ideal State of Social Order" yang kuterima dari Dr. Mirza Nasution, dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara, pada saat mengikuti perkuliahan Program Magister Hukum di UMSU. 

Hayyan Ul Haqq, dalam presentasinya menggambarkan salah satu kekacauan penegakan hukum di Indonesia, dengan mengambil sampel penegakan hukum pemberantasan korupsi disertai pemetaan dan analisis akar masalahnya. Selanjutnya ia memaparkan tentang gambaran dari desain melembagakan/membadankan (embodying) Pancasila yang seutuhnya guna menuju konsep negara yang ideal dalam tatanan sosial yang mumpuni, dan diakhiri dengan membumikan Pancasila dalam teori dan praktek penegakan hukum.

Memori akan bahan kuliah di atas muncul kembali tak kala Pak Razuardi, Sekdakab Aceh Tamiang bercerita tentang prilaku negatif berupa hobby merpergunjingkan, memfitnah, menghina, atau bahasa gaulnya bergossip negatif yang saat ini lebih digandrungi oleh sebagian besar masyarakat hingga aparat birokrasi pemerintahan.

Prilaku berpikir negatif tersebut, jika terus-menerus dibiarkan tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat, ibarat virus kanker, lambat laun namun pasti, akan menggerogoti sistem manapun yang sudah berjalan dengan baik. 

Kembali kepada Pancasila, sebagai Staatfundamental (Norma Paling Dasar) didalam kehidupan bernegara dan berbangsa, sepatutnya prilaku negatif tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Prilaku tersebut juga menggambarkan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila tidak dipraktekkan lagi didalam tata kehidupan masyarakat. Pancasila dianggap ajaran rezim Soeharto, peninggalan Orde Baru, dan dibenak sebagian orang, hanya retorika dan formalitas pajangan saja.

Padahal, secara tidak sadar, prilaku sakit dan menyimpang yang diceritakan di atas, bermuasal dari tidak di "amalkannya" nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Lantas, bagaimana membumikan lagi Pancasila didalam kehidupan masyarakat? 

Jokowi pernah menggagas Ide "Revolusi Mental". Kata Revolusi bermakna perubahan massif, dilakukan secara total untuk ke arah yang lebih baik. Sedangkan Mental, lebih dekat dengan padanan pola pikir yang diwujudkan dengan prilaku. 

Menurutku, tidak perlu revolusi-revolusi-an, cukup kembali kepada Pancasila, sesuai ide Hayyan Ul Haqq di atas, bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang besar,  dimana keadilan sosial akan terwujud melalui sistem demokrasi rakyat melalui perwakilan, dengan tetap menjaga keutuhan NKRI sebagai persatuan bangsa ini, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian (HAM) yang adil dan beradab, yang dipayungi oleh nilai-nilai ketuhanan.

Membumikan Pancasila dapat dimulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, pemerintahan, atau melalui sistem hukum. Yang diperlukan saat ini adalah kesepahaman bahwa seluruh elemen bangsa sepakat, bahwa Pancasila yang telah ditetapkan sebagai Staatfundamentalnorm bangsa ini, perlu dibumikan kembali didalam seluruh sistem hukum, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan kemasyarakatan. Jika tidak, maka semua prilaku bernegara, berbangsa dan bermasyarakat akan kehilangan orientasi, dan perlahan namun pasti akan berujung pada disintegrasi bangsa ini.

Symptom yang menunjukan bahwa bangsa ini sedang sakit dapat dilihat secara kasat mata. Cerita Pak Razu di atas salah satunya. Konflik horizontal berbungkus SARA gampang terjadi dimana-mana. Pemberantasan korupsi ibarat telenovela televisi yang ratingnya makin tidak berkesudahan. Jadi, apakah kita mau menunda-nunda lagi? 

No comments:

Post a Comment