Friday, October 24, 2014

Implikasi Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun2014 Tentang Desa

A.​Latar Belakang
Pada tanggal 15 Januari 2014, Pemerintah telah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014). Landasan filosofis lahirnya Undang-undang tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD 1945.

Secara yuridis, UU No. 6/2014 lahir berdasarkan amanah Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Indonesia terbentuk. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyebutkan bahwa “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, lahirnya UU No. 6/2014 merupakan bentuk pengakuan dan jaminan keberlangsungan Desa oleh Negara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu subtansi yang diatur dalam UU No. 6/2014 adalah mengenai keuangan Desa. Pasal 1 angka 10 UU No. 6/2014 memberikan definisi keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah semua yang menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan Desa.

UU No. 6/2014 menegaskan Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas: 1)  Pendapatan asli Desa; 2) Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; 3) Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima Kabupaten/Kota; 4) Alokasi anggaran dari APBN; 5) Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupeten/Kota; serta 6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Kewenangan pengelolaan keuangan Desa dilaksanakan oleh Kepala Desa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, yang menyebutkan “Kepala Desa berwenang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan Aset Desa”.

Adanya UU No. 6/2014 yang memberikan kewenangan dibidang pengelolaan keuangan bagi Desa disatu sisi layak disyukuri sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat di Desa, akan tetapi disisi lain akan berdampak kepada implikasi yuridis terkait pengelolaan keuangan Desa itu sendiri. 

Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa profil Desa di seluruh Indonesia yang beragam bentuknya, apalagi pengertian desa dalam UU No. 6/2014 menyamakan antara desa (definitif) dan desa adat, yang tentu saja kemampuan aparatur Pemerintahan Desa tersebut berbeda tingkatannya dalam pengelolaan keuangan Desa.

​Konsekwensi bagi aparatur Pemeritahan Desa termasuk Kepala Desa dan perangkat Desa lainnya adalah diwajibkan untuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa secara rigid mengikuti Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur pengelolaan keuangan. Apabila Pemerintahan Desa tidak mengikuti Peraturan Perundang-Undangan tersebut, maka akan menimbulkan sejumlah implikasi yuridis bagi mereka.

​Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Penulis bermaksud menuangkannya dalam bentuk tulisan yang berjudul “Implikasi Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa  Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa”.
B.​Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1. ​Bagaimanakah konsep otonomi desa?
2.​ Bagaimanakah konsep keuangan desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa?
3. ​Bagaimanakah implikasi yuridis pengelolaan keuangan desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa?

  
C. Otonomi Desa
​​Istilah otonomi atau autonomy secara etimologi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri dan kata “nomous” yang berarti hukum atau pengaturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body its actual independence. Jadi ada dua ciri hakekat dari otonomi, yaitu legal self suffiencery dan actual independence.

​​Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan kenegaraan (staatrectelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan kenegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.

​​Bhenyamin Hoessein dalam Lukman Hakim, mengartikan Otonomi hampir pararel dengan pengertian demokrasi, yaitu pemeritahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada diluar pemerintah pusat. Bahkan otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan (medebewind, coadministration), sebab baik otonomi maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik asas mapun cara menjalankan, sedangkan pada tugas pembantuan, kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan.

​​Secara etimologi kata “desa” berasal dari bahas Sansekerta yakni “deca”  yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan desa adalah 1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampong; 2) udik atau dusun (dalam arti darerah pedalaman sebagai lawan kota); dan 3) tempat;  tanah; atau daerah.

​​H.A. Widjaja menyatakan bahwa desa adalah:
​​“Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

​​Pengertian desa berdasarkan UU No. 6/2016, yakni pada Pasal 1 angka 1 disebutkan: “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
​​Pengertian desa yang dikemukakan oleh Widjaja dan UU No. 6/2014 di atas menunjukkan bahwa pengertian desa saat ini tidak hanya sebagai self-governing community (komunitas yang mengatur dirinya sendiri) saja, akan tetapi juga merupakan local self government (pemerintahan lokal).

​​Penyamaan antara desa dan desa adat didasarkan kepada pertimbangan bahwa pada dasarnya  desa dan desa adat  melakukan tugas yang hampir sama. Perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, tertutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Desa adat juga memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa, pembangunan desa serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota.
​​
Pasal 18 UU No. 6/2014 menyebutkan kewenangan desa meliputi kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan adat istiadat desa.
​​
Menurut Widjaja, otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari Pemerintah. Sebaliknya Pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.
​​
Penjelasan Umum UU No. 6/2014 menyebutkan tujuan ditetapkannya pengaturan tentang Desa dalam undang-undang tersebut  adalah:
1)​Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)​Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3) ​Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4)​Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5) ​Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6) ​Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
7)​Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8)​Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
9)​Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
​​
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep otonomi desa “berbeda” dengan otonomi pada umumnya, dimana pada konsep otonomi terdapat “penyerahan penyerahan urusan” dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau pemerintahan dilevel bawahnya. Sedangkan otonomi desa merupakan bentuk pengakuan dan kewajiban pemerintah yang menghormati otonomi asli yang  telah dimilki desa, jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia. Otonomi desa dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-asul dan nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut.
D. Keuangan Desa
Pasal 1 angka 10 dan Pasal 71 ayat (1) UU No. 6/2014 menyebutkan: “Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa”.

Definisi keuangan desa di atas apabila dibandingkan dengan definisi keuangan negara dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, maka secara gramatikal, hanya kata negara dalam definisi keuangan negara yang diganti menjadi kata desa. Berikut definisi keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka 1, yakni: “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Pada Pasal 71 ayat (2) UU No. 6/2014 disebutkan: “Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan​pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa”

Sumber pendapatan Desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 ayat (2) diatas terdiri dari:
1).​Pendapatan asli Desa;
2).​Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
3).​Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota;
4).​Alokasi anggaran dari APBN;
5).​Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota;
6).​Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.

Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa.
Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan. Bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa.

Pasal 26 ayat (2) huruf c jo. Pasal 75 ayat (1) UU No. 6/2014 menegaskan bahwa Kepala Desa memilki kewenangan sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan asset desa. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk, demikian ditegaskan juga dalam Pasal 72 ayat (5) jo. Pasal 75 ayat (2) UU No. 6/2014.

Pengelolaan keuangan Desa dilakukan dengan mekanisme penganggaran ditingkat desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa. Sesuai hasil musyawarah tersebut, maka Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Pengawasan pengelolaan keuangan desa dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, pengawasan pengelolaan keuangan Desa dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa. Secara eksternal pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 huruf g UU No. 6/2014.

Pengaturan pengelolaan keuangan desa dalam UU No.6/2014 menyisakan sejumlah pertanyaan kritis mengenai tata cara proses penyusunan, pembahasan, pengesahan, pelaksanaan, pengawasan serta pertanggungjawaban terkait pengelolaan keuangan desa. Hal ini disebabkan pelaksanaan ketentuan mengenai pengelolaan keuangan desa yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sampai saat ini belum diterbitkan.
E. ​Implikasi Yuridis Pengelolaan Keuangan Desa
Pelaksanaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan desa menuntut tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Subtansi pengelolaan keuangan Desa dalam UU No. 6/2014 yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa, menimbulkan konsekwensi hukum bagi Kepala Desa dan aparaturnya selaku pelaksana keuangan desa.

Kepala Desa dituntut memiliki kemampuan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahunnya untuk diajukan kepada Badan Persmusyawaratan Desa. Setelah dimusyawarahkan dengan Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa membuat Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Selain itu, Kepala Desa selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Desa, dituntut juga memiliki kemampuan mekanisme pengadaan barang dan jasa milik Pemerintah terhadap kegiatan pembangunan yang dananya bersumber dari anggaran negara (APBN/APBD).

Kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh Kepala Desa sehingga pengelolaan keuangan Desa tidak sesuai dengan Peraturan-Perundang-undangan yang berlaku, maka akan menimbulkan konsekwensi hukum baik sanksi hukum administrasi maupun sanksi hukum pidana.

Demikian juga bagi anggota masyarakat desa yang menjadi Badan  Badan Persmusyawaratan Desa, dituntut untuk memiliki kemampuan memeriksa rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diajukan oleh Kepala Desa serta melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa oleh Kepala Desa.

UU No. 6/2014 belum mengatur mekanisme pembahasan, pengesahan, pengawasan serta pertanggungjawaban pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sehingga belum dapat dilakukan analisis apakah mekanismenya menyerupai pengajuan, pembahasan, pengesahan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban keuangan seperti pada APBD Provinsi atau APBD Kabupaten/Kota.

Beberapa hal penting menurut Penulis yang patut dijadikan perhatian diantaranya mengenai fungsi Badan Permusyawaratan Desa dalam pengesahan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Karena didalam Pasal 73 ayat (2) menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa hanya dimusyawarahkan antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Seharusnya tidak cukup dimusyawarahkan, tetapi ditambahkan dengan persetujuan oleh  Badan Permusyawaratan Desa.

Demikian juga dengan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. UU No. 6/2014 belum mengatur mekanisme pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa oleh  Kepala Desa. Idealnya Kepala Desa memberikan laporan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala desa ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan akuntabiitas penyelenggaraan pemerintahan desa serta sebagai upaya dalam perwujudan transparansi terhadap masyarakat.

Implikasi yuridis dengan adanya mekanisme keuangan desa seperti diatur dalam UU No. 1/2014 menimbulkan kewajiban bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan sejumlah dana bagi desa yang ada dalam wilayahnya. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa, maka Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Kewajiban lainnya adalah Pemerintah Kabupaten/Kota dituntut untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa.
F. Kesimpulan
1. Otonomi desa adalah hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal-asul dan nilai sosial budaya yang ada sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia dan merupakan bentuk pengakuan dan jaminan keberlangsungan desa oleh Pemerintah.
2. Konsep keuangan desa hampir sama dengan konsep keuangan negara, dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang didalamnya terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan desa, yang dilaksanakan oleh Kepala Desa dan aparatnya yang dimusyawarahkan secara bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa.
3. Pengelolaan keuangan desa menimbulkan implikasi yuridis bagi Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk mampu menyusun, mengesahkan, melaksanakan, mengawasi dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa. Jika terjadi kealpaan atau kesengajaan, maka menimbulkan pertanggungjawaban baik secara administratif maupun pidana. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran bagi keuangan desa, serta melakukan pembinaan dan pengawasan.
G. Saran
1. Diperlukan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai mekanisme penyusunan, pembahasan, pengesahan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan desa.
2. Diperlukan pembinaan kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa agar memiliki kemampuan dalam pengelolaan keuangan desa.
3. Hendaknya fungsi Badan Permusyawaratan Desa diperkuat dengan memberikan persetujuan  Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan menerima laporan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.


BAHAN BACAAN
Atmadja, Arifin P. Soeria, 2013, Keuangan Publik dalam Perpektif Hukum, Teori, Praktik dan Kritik, Edisi Keiga, Rajawali Pers, Jakarta.
Busrizalti, H.M, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total media, Yogyakarta.
Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah Perspektif Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan, Setara Pers, Malang.

Manan, Bagir, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Yogyakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta.
Widjaja, H.A.W, 2003, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta.
​Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

​Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

​Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.​

Catatan: Silahkan mengutip seluruh atau sebagian artikel ini, sepanjang menyebut sumbernya. 

No comments:

Post a Comment