Monday, April 16, 2018

Menanti Kepastian Hukum, Videotron Yang Tak Asyik Ditonton


Seorang pemikir hukum lawas asal negeri “Inglitir” alias Inggris, bernama Jeremy Bentham pernah mengatakan “The grand utility of the law is certainty”. Terjemahan bebasnya, kurang lebih seperti ini: “kegunaan terbesar dari hukum adalah kepastian”.

Lantas, apa kaitannya dengan judul “videotron yang tak asyik ditonton” pada bagian bawah judul di atas?. Secara teori hukum “kepastian hukum” Jeremy Bentham, lahir jauh di abad kedelapanbelas. Sedangkan kasus videotron Aceh Tamiang, muncul di era milineal. Jaman now serba android.

Keterhubungan secara langsung memang tidak. Tetapi, dari optik penegakan hukum, bisa dipastikan sangatlah relevan untuk didiskusikan. Masih ingat tulisan dengan tema videotron ini sekitar 2 tahun lalu. Ketika itu, kasus ini masih belum menyerempet ke ranah justicia alias penegakan hukum. Akan tetapi, setelah lebih kurang 2 tahun bergulir, mengapa kasus videotron Aceh Tamiang ini seakan tiada bertepian. Istilahnya mengapa tiada berkepastian?.

Kepastian dalam arti, bilamana tidak ada unsur melawan hukum didalamnya, dapat memberi kepastian kepada pihak-pihak yang diduga melawan hukum, menjadi seorang yang bersih dari anasir pidana. Atau jika terbukti melakukan upaya memperkaya diri sendiri atau orang lain, mbok ya segera diperiksa dan dibuktikan secara materiil dan formil. Seperti ungkapan Bentham diatas, hukum itu gunanya menciptakan kepastian.

Jika hukum ditegakkan, maka rakyat akan percaya kepada Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum. Jika rakyat tidak percaya kepada hukum, bisa gawat. Karena rakyat akan “disorientasi” alias kehilangan arah. Gejalanya mulai tampak dengan banyaknya kasus eigenrechting atau main hakim sendiri. Ujungnya nanti rakyak akan melakukan pembangkangan (disobedience). Jika terus demikian, maka perpecahan (disintegrasi) bangsa ini bakal terjadi.

Melawan Lupa
Pengadaan "si kembar videotron" ini terjadi di tahun 2015 lalu. Satuan kerja perangkat daerah yang empunya proyek adalah Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Aceh Tamiang. Dana pengadaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tamiang tahun anggaran 2015.


Pagu yang disediakan awalnya adalah Rp. 1,2 milyar. Setelah dilelang, pemenangnya adalah CV Artha Kharisma Perkasa, dan harga dua unit videotron plus pajak menjadi Rp. 1.197.570.000. CV Artha Kharisma Perkasa, adalah perusahaan swasta yang beralamat di Jl. T. Hamzah Bendahara No. 89, Kuta Alam, Banda Aceh. Sebagai direktur perusahaan adalah T.M. Ikhsan Saladin, ST.

Aparat penegak hukum seingat penulis juga sudah menghadirkan ahli untuk membuktikan bahwa dugaan telah terjadinya unsur melawan hukum adalah benar adanya. Ahlipun sudah datang ke Tamiang dan memeriksa isi dalam videotron yang disangkakan. 

Salah satu temuan yang menggelikan adalah dalam “perut? videotron ditemukan seperangkat laptop sebagai wahana alias mesin pemutar objek yang ditayangkan di layar videotron.

Jangan tertawa ya.. apalagi laptop tersebut kepanasan, lawbat bahkan raib digondol maling. Hebat sangat yang mendesain videotron di Tamiang ini. Apa memang demikian, atau hanya sekedar akal-akalan untuk meraih fulus dari proyek uang negara ini. Tidak penting ada manfaatnya bagi rakyat, asal bisa memuaskan dahaga birahi uang korupsi.


Lantas jangan dianggap bahwa 2 tahun kita akan lupa dengan nasib videotron ini. Publik pasti akan bertanya-tanya..ada apa dengan videotron ini? Mengapa hukum selalu tajam kebawah tapi tumpul ke atas? Iyalah..apalagi mendengar selentingan, ada terlibat kerabat dekat orang nomor satu di Aceh Tamiang saat ini. Katanya sih seorang AESEN dan juga ponakannya langsung.

 Apa gara-gara hal ini aparat penegak hukum “gentar” mengusut tuntas kasus ini. Semoga tidak ya. Kami rakyat mendukung penegakan hukum yang menjamin kemanfaatan, kepastian dan keadilan di Bumi Tamiang.

Kondisi sang videotron yang dibicarakanpun masih lebih banyak matinya, ketimbang hidupnya. Proyek uang negara hampir 1,2 milyar rupiah inipun, seakan tiada guna. Siang terjemur matahari, malam terkena embun. Lambat laun bakal jadi benda mati. Saksi bisu keserakahan dan ketamakan para pencoleng uang rakyat. Semoga di Aceh Tamiang tiada lagi kasus serupa. Cukup sudah.


Sebagai penutup, tiada salah jika kita berkenalan dengan sosok Jeremy Bentham. Seorang Sarjana Hukum yang telah belajar huruf pada saat balita dan belum pandai bicara. Umur 4 tahun, dia sudah belajar bahasa Yunani dan Latin. Pada umur 12 tahun, yakni tahun 1760  Bentham sudah kuliah di Oxford University, dan meraih gelar Sarjana Hukum diusia 15 tahun. Bentham dikenal sebagai penganut paham Positivisme Hukum. Ungkapannya yang terkenal yaitu "the greatest happiness of the greatest number". Mazhab hukum ala Bentham ini dinamakan Mazhab "utilitarianisme". 















No comments:

Post a Comment