Monday, March 29, 2010

Mengamankan Jeda Tebang Hutan Aceh

Kurang lebih 3 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 6 Juni 2007, Gubernur Aceh telah mendeklakarasikan kebijakan jeda tebang (moratorium logging) terhadap hutan Aceh, yang dituangkan melalui Instruksi Gubernur No. 5/INSTR/2007. Dasar dikeluarkannya kebijakan ini diantaranya adalah pertimbangan frekwensi bencana ekologis yang kerap terjadi di Aceh seperti banjir dan longsor.

Ada sejumlah pertanyaan yang menggelitik terkait dengan tindak lanjut pasca pemberlakuan kebijakan jeda tebang hutan Aceh. Diantaranya adalah mengenai rencana strategis termasuk didalamnya konsep atau skenario seperti apa yang akan dijalankan? Bagaimana dengan pemenuhan kayu lokal untuk jangka pendek dan jangka panjang? Sampai kapan jeda tebang ini akan berlaku? Dan jika kesemua hal itu telah terkonsep dengan baik, bagaimana dengan sosialisasi dan rencana pelaksanaannya?

Karena, dari beberapa fakta dilapangan menunjukan meski kebijakan jeda tebang telah berjalan selama 3 bulan, beberapa aktifitas pembalakan masih terjadi. Dari beberapa liputan media saja tergambarkan masih marak terjadinya pembalakan, seperti kasus terbaru yakni 200 ton kayu hasil pembalakan liar disita kepolisian Lhokseumawe di sebuah kilang kayu di Desa Ule Nyeu, Kecamatan Banda Baru (kecamatan hasil pemekaran Nisam) Aceh Utara (situs: aceh kita.comSabtu, 22 September 2007, 17:40 WIB).

Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menujukkan masih terjadinya pembalakan adalah dengan terjadinya konflik antara satwa (gajah dan harimau) dengan masyarakat. Menurut catatan WALHI Aceh dan monitoring media, sampai dengan bulan Agustus 2007, sudah terjadi 24 kasus, dengan korban 6 orang luka/meninggal. Lokasi kejadian meliputi Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Selatan, Pidie dan Aceh Singkil.

Sedianya, kebijakan jeda tebang hutan Aceh ini harus diamankan, disusun skenario yang baik, dilaksanakan, dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan melibatkan multi pihak, sehingga tujuan akhir dari pemberlakukan kebijakan ini dapat tercapai.


Masalah Klasik
Kebijakan jeda tebang merupakan respon terhadap tata produksi dan tata konsumsi kayu yang sarat masalah. Sudah dari dulu kita mengetahui ada kesenjangan antara industri kayu dengan ketersediaan bahan baku. Akibatnya, kebutuhan akan bahan baku untuk industri kayu yang tidak terpenuhi melalui kapasitas produksi legal dipenuhi melalui aktifitas ilegal.

Kondisi ini diperburuk lagi dengan penegakan hukum disektor kehutanan, termasuk kegiatan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh instansi terkait dalam hal ini Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian dan Aparat Penegak Hukum. Seringkali alasan “pemaaf” yang diungkapkan adalah keterbatasan aparat dilapangan, kurangnya koordinasi, sampai keterbatasan dana untuk melakukan operasi pengamanan. Persoalan lain berkaitan dengan biaya adalah pengamanan dan pengangkutan barang bukti (kayu sitaan), dimana diperlukan juga biaya yang tidak sedikit.

Aneh juga melihat begitu banyak dana yang ada di Aceh, termasuk juga dana pengamanan hutan yang dikelola oleh NGO, kita masih kesulitan untuk membiayai penegakan hukum disektor kehutanan. Apakah tidak bisa disepakati oleh aparat yang bermain di ranah hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) untuk bersepakat bahwa hasil penindakan berupa kayu sitaan, dilakukan pelelangan dengan cara yang cepat, dan dari hasil pelelangan ini ada kompensasi yang dapat dibebankan untuk mengganti biaya pengamanan dan pengangkutan kayu yang diberikan kepada aparat penegak hukum atau masyarakat yang berani melaporkan atau menyerahkan kayu ilegal kepada aparat?

Masalah klasik lainnya berkenaan dengan mandulnya penegakan hukum disetor kehutanan dan bukan rahasia juga jika ada aparat kehutanan dan aparat keamanan yang bermain dan mengamankan praktek pembalakan kayu ini.


Solusi alternatif
Ada beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan untuk mengamankan kebijakan jeda tebang hutan Aceh saat ini, diataranya adalah:

• Melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan kebijakan jeda tebang hutan Aceh secepatnya dengan melibatkan multi pihak dari masyarakat, LSM, Pemerintah Kabupaten/kota, Dinas/Badan/Lembaga yang diamanahkan langsung untuk melaksanakan kebijakan. Perlu juga dievaluasi sampai sejauh mana hasil beserta indikator yang telah dicapai. Hal penting yang harus dilakukan dalam evaluasi ini adalah memberikan reward kepada pihak yang benar-benar melaksanakan kebijakan jeda tebang hutan Aceh dan memberikan sanksi kepada pihak yang lalai melaksanakan kewajibannya;

• Pengawasan dan penegakan hukum dapat dimulai dengan melakukan hal sederhana dan bisa dilakukan dengan biaya murah dan melibatkan lintas lembaga (dinas perindustrian, dinas kehutanan, Polri/POM TNI), yakni dengan membuat pos pemeriksaan titik-titik keluarnya kayu dari Aceh. Paling tidak ada 4 titik yang perlu dijaga yakni perbatasan Tamiang, Subussalam, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil.

• Redesign pengelolaan hutan hendaknya menitik beratkan juga kepada penyediaan base line data akan kebutuhan kayu lokal per kabupaten/kota dan propinsi setiap tahunnya. Selain itu diperlukan juga data mengenai industri kayu yang ada saat ini serta berapa kapasitas terpasang dari ketersediaan kayu yang bersumber dari hutan milik masyarakat dan luasan hutan produksi yang ada. Seharusnya perizinan untuk industri dan pemenuhan bahan baku kayu dikeluarkan berdasarkan hitungan tersebut. Kaitannya dengan hal ini adalah, untuk mencegah ketimpangan antara industri kayu dengan ketersediaan bahan baku.

• Dalam hal pemberian izin industri kayu dan pemanfaatan hutan oleh dinas perindustrian dan dinas kehutanan, harus ada jaminan akses publik untuk informasi perizinan yang dikeluarkan. Kedua dinas ini harus mempublikasikan izin yang dikeluarkan sehingga bisa diawasi oleh siapa saja dan akhirnya dapat mengontrol tata produksi perkayuan di Aceh.

• Yang terakhir adalah bagaimana kita membangun kesadaran kritis dari kita semua untuk berpikir dan memperbaiki tata konsumsi kita, khususnya kepada bahan yang berasal dari kayu. Sudah waktunya kita memikirkan kembali penggunaan sedikit mungkin bahan-bahan/material kayu, memakai konsep daur ulang, atau kepada sikap kritis kita pada saat akan menggunakan kayu dengan pertanyaan “apakah kayu ini legal atau tidak?”

Penutup
Tentunya kita tidak ingin inisiatif positif dari Gubernur Aceh yang telah menelurkan kebijakan jeda tebang ini akan menjadi tidak bermakna. Apalagi jika tidak diikuti dengan langkah konkrit oleh kita semua, atau akan tidak lebih bermakna juga jika nanti akan lahir kebijakan lain yang kontra produktif seperti melakukan konversi hutan untuk areal perkebunan.

Kebijakan jeda tebang memang bukan solusi final memperbaiki kondisi hutan Aceh dan pengelolaannya. Tetapi, dia akan lebih nyata jika konsep dan strategi pelaksanaanya bisa dengan cepat disusun, didesiminasikan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama. Semoga.

Jakarta, 25 September 2007

Catatan: Tulisan ini telah dimuat di Aceh Magazine, Edisi November 2007

1 comment:

  1. mantap banget bro. .mudah2an hutan aceh selamat dari gangguan.

    ReplyDelete