Thursday, November 20, 2008

ATAM (Aceh Tamiang Miskin)?

Banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang pada akhir Desember 2006 lalu telah mengakibatkan 52,93% penduduk tamiang miskin atau 32.204 KK dari 60.843 KK. Bencana alam ini berdampak hancurnya mata pencaharian warga terutama sektor pertanian, perkebunan dan sektor jasa. Daerah yang tergolong parah kerusakan sumber ekonominya meliputi Kecamatan Bandar Pusaka, Sekrak, Tamiang Hulu, Tenggulun, Kejuruan Muda, Kuala Simpang dan Manyak Payed. Hal mana diberitakan oleh harian ini dengan mengutip pernyataan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Aceh Tamiang, Drs. Hayatul Kamal (Serambi Indonesia, Kamis 8 Mei 2008, hal. 14).

Pernyataan bahwa kondisi penduduk Tamiang lebih dari setengah adalah penduduk miskin, dapat diartikan bahwa kehidupan hampir sebagian besar masyarakat masyarakat Tamiang pasca banjir bandang berada dibawah standar kelayakan atau dengan bahasa sederhana banyak masyarakat Tamiang saat ini hidup berkesusahan.

Tentu sangat tidak nyaman jika seseorang atau suatu daerah diberikan predikat dalam kategori miskin. Siapapun didunia ini pasti tidak ada yang bercita-cita sebagai orang miskin. Bukankah miskin lebih dekat dengan kekufuran? Bahkan dalam agama, predikat miskin mempunyai bermacam konsekwensi diantaranya berhak menerima zakat atau pihak yang harus disantuni.

Miskin juga menimbulkan tanggung jawab dari negara untuk memeliharanya. Paling tidak hal tersebut dicantumkan didalam konstitusi negara ini. Memelihara disini bukan dalam arti ”tetap mempertahankan kondisi kemiskinan yang ada” sehingga tetap terpelihara atau bahkan berkembang biak. Tetapi hal terakhir inilah yang secara fakta terjadi, kemiskinan memang dipelihara secara abadi sepanjang sejarah berdirinya negeri ini. Kemiskinan menjadi alat atau komoditi politik.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendebat tentang benar tidaknya angka kemiskinan yang dipaparkan oleh pejabat Aceh Tamiang. Karena definisi kemiskinan sangat tergantung dengan ukuran, indikator serta cara pandang yang digunakan. Tetapi, ingin melihat dari sudut yang lain dalam hal tata kuasa sumber daya alam Tamiang, sehingga bisa menjawab pertanyaan benarkah Aceh Tamiang miskin?


Mengapa Miskin?
Kembali kepada 52,93% penduduk Tamiang miskin tadi, yang menurut Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Aceh Tamiang, bencana banjir bandang yang menjadi faktor penyebabnya. Tetapi, seharusnya dicari lagi penyebab mengapa banjir bandang terjadi. Jawabnya tidak lain karena pengrusakan hutan di daerah hulu (daerah tangkapan air), alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit serta dipicu oleh tingginya curah hujan akibat perubahan iklim yang terjadi.

Mengapa masyarakat melakukan pengrusakan hutan? Jawabnya karena faktor kemiskinan yang dimanfaatkan oleh pemilik modal. Mengapa ada perkebunan yang berasal dari alih fungsi hutan? Jawabnya karena pemerintah memberikan izin atau hak-hal lain seperti Hak Guna Usaha. Mengapa terjadi perubahan iklim? Jawabnya karena banyak pihak yang mencemari udara dengan zat-zat pencemar (polutan) dan makin berkurangnya hutan sebagai penyerap karbon.

Hasil dari pencarian sebab musabab terjadinya banjir bandang di atas pada akhirnya berasal dari prilaku manusia itu sendiri. Baik yang duduk di pemerintahan, pemilik modal, pemilik perkebunan, pemilik pabrik, sampai dengan masyarakat biasa yang karena keadaannya dimanfaatkan oleh pihak lain. Artinya akibat perbuatan segelintir pihak, maka kerugian yang dirasakan jauh lebih besar dari keuntungan yang telah didapat.

Tamiang memang dikenal dengan berbagai potensi daerahnya. Dikabupaten ini terdapat sumber minyak yang sudah sejak 1928 dieksploitasi dan kemudian dikelola oleh Pertamina DOH-Rantau. Rata-rata setiap tahun kontribusi minyak bumi bagi produk domestik regional bruto (PDRB) mencapai sekitar 17 persen. Selanjutnya di kawasan ini juga terdapat banyak perkebunan dengan total luas areal perkebunan mencapai 101.179 hektar yang terbagi dalam perkebunan rakyat 23.392 hektar dan perkebunan swasta 77.787 hektar (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0403/02/otonomi/883110.htm).

Akan tetapi jika kita melihat tata kuasa dari sektor pertambangan dan perkebunan di Tamiang, maka pemilik kedua sektor ini dapat dikatakan bukan milik masyarakat Aceh Tamiang. Pertamina merupakan BUMN yang keuntungannya di bawa ke pusat, dan akan turun kembali ke Tamiang dalam bentuk dana perimbangan hasil minyak dan gas. Perkebunan yang ada, ternyata dari total luas 101.179 hektar, 77,6 % dikuasai oleh swasta atau pemodal besar, bahkan diantaranya bukan masyarakat Tamiang. Sedangkan sisanya 22,4 % merupakan kebun milik rakyat yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang pemilik kebun swasta.

Artinya adalah, bahwa penguasaan sumber daya alam di Tamiang bukan mendatangkan kemakmuran secara langsung kepada masyarakat Tamiang. Keuntungan hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Dan juga praktek penguasaan sumber daya alam yang eksploitatif telah memicu terjadinya bencana banjir yang pada akhirnya turut memberikan andil meningkatnya angka kemiskinan di Aceh Tamiang.


Perang Terhadap Kemiskinan
Kondisi yang terjadi hari ini di Tamiang hendaknya bisa menjadi pencerahan bagi para pemimpin di kabupaten Tamiang untuk menyatakan perang terhadap kemiskinan. Perang ini sedianya diwujudkan dengan perspektif bahwa memerangi pengrusakan sumber daya alam Tamiang adalah sama dengan memerangi kemiskinan.

Karena, kerusakan sumber daya alam yang berdampak datangnya bencana ekologis, telah menimbulkan beban pekerjaan yang jauh lebih mahal biaya pemulihannya. Kalau mau berandai-andai, kira-kira berapa dana yang dibutuhkan untuk memulihkan 30.204 keluarga di Tamiang yang miskin? Jika dana untuk pemberdayaan masing-masing diberikan minimal Rp. 1 juta per keluarga, maka dibutuhkan biaya paling sedikit Rp. 30 milyar untuk dana program pemberdayaan ekonomi. Tentu saja ini baru perhitungan minimal, dan semakin besar biaya pemulihan ekonomi, semakin besar pula anggaran daerah yang bakal dihabiskan. Biaya lain yang belum diperhitungkan adalah mengganti rumah, sarana ibadah, sarana pendidikan, infrastruktur jalan, jembatan, perbaikan sawah, perbaikan tambak, dan kerugian lainnya akibat bencana yang telah ditimbulkan.

Sudah cukup puluhan tahun sumber daya alam Tamiang dikuasai dan dinikmati oleh segelintar pemilik modal. Sudah waktunya, kelimpahan sumber daya alam Tamiang dapat dikelola oleh masyarakat Tamiang sendiri, sehingga kemiskinan yang saat ini mencapai angka lebih setengah dari total penduduk dapat dikurangi.

Saat ini yang diperlukan oleh masyarakat Tamiang adalah pemimpin yang dapat menyelesaikan beragam krisis yang terjadi di masyarakat. Ada masyarakat Tamiang yang puluhan tahun hidup menghirup polusi debu dan polusi bau limbah pabrik kelapa sawit. Ada masyarakat Tamiang yang kehilangan lahan dan mata pencaharian akibat sumber kehidupannya di rampas perusahaan perkebunan serta dicemari limbah pabrik pengolahan kelapa sawit. Ada masyarakat yang masih belum mendapat hak nya sebagai korban bencana yang terjadi.

Daftar masalah ini semakin panjang jika diurai satu persatu. Yang utama adalah keberpihakan Pemerintah Kabupaten Tamiang untuk menyelesaikan persoalan rakyatnya. Keberanian ini yang kita tunggu dan diharapkan mesti terjadi, dan harus juga didukung oleh aparat legislatif yang katanya mewakili rakyat, termasuk anggota DPRA asal Tamiang di level provinsi.

Dengan jumlah APBD sebesar Rp. 472 milyar tahun 2008 ini, tentunya banyak hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tamiang untuk mengatasi kemelut kemiskinan yang terjadi. Tetapi, uang publik sebesar Rp. 472 milyar tetap tidak akan berarti jika implementasi dilapangan jauh panggang dari api apalagi sampai dikorupsi.

Banda Aceh, 15 Mei 2008

No comments:

Post a Comment